Monday, October 8, 2007

Suara Hening di Puncak Horeb

Elia Pendengar Sabda dalam Keheningan

1. Pendahuluan: Elia inspirator hidup mistik

Sekitar awal abad 13 sekelompok peziarah Kristen dari Eropa datang ke Gunung Karmel. Mereka yang kemudian menjadi perintis Ordo Karmel ini, menetap dan bertapa di sana, mengikuti jejak Elia. Sang nabi hidup kurang lebih 20 abad sebelumnya, tetapi tradisi mengenai dia sebagai inspirator hidup mistik tetap bertahan sebagai sebuah tradisi yang hidup. Menarik pula bahwa tradisi ini hidup baik dalam tradisi Judaisme, Kristen maupun Islam.[1]

Dibanding dengan nabi-nabi lain, sumber Kitab Suci tentang Elia dapat dikatakan amat pendek. Sumber utama kita adalah 1 Raj 17-19 yang disebut para ahli sebagai “lingkaran Elia”.[2] Teks yang kira-kira berkaitan dengan tradisi mistik adalah 1Raj 17, 1-7 (Bersembunyi di Kerit) dan 1 Raj 19,9-13 (Teofani di Horeb). Namun bagaimana sumber yang begitu singkat ini bisa membentuk suatu tradisi yang kuat dan panjang mengenai Elia dalam tradisi mistik? Di sini kita akan mencoba mendalami teks pendek dalam kisah Elia di Gunung Horeb (1 Raj 19,9-13), terlebih ungkapan terkenal “angin sepoi-sepoi basah” yang cukup misterius itu.

2. “Suara Hening” di Puncak Horeb

Teks 1 Raj 19,9-13 adalah sebuah teks tentang teofani, yakni peristiwa penting Tuhan menyatakan diri. Dalam ayat 11-12 kita baca demikian:

11Lalu firman-Nya: "Keluarlah dan berdiri di atas gunung itu di hadapan TUHAN!" Maka TUHAN lalu! Angin besar dan kuat, yang membelah gunung-gunung dan memecahkan bukit-bukit batu, mendahului TUHAN. Tetapi tidak ada TUHAN dalam angin itu. Dan sesudah angin itu datanglah gempa. Tetapi tidak ada TUHAN dalam gempa itu. 12Dan sesudah gempa itu datanglah api. Tetapi tidak ada TUHAN dalam api itu. Dan sesudah api itu datanglah bunyi angin sepoi-sepoi basa.

Dalam Perjanjian Lama, angin besar, gempa dan api adalah gejala alam yang sering menyertai teofani ilahi. Hal yang baru dan mengagetkan dalam teks kita ini adalah rumusan pendek yang cukup misterius, dalam bahasa ibraninya qol demama daqqa, dan biasanya diterjemahkan dalam bahasa kita “bunyi angin sepoi-sepoi basa“.

Kata ibrani qol secara luas menunjuk pada sesuatu yang bisa ditangkap oleh telinga. Jadi qol bisa berarti: suara, bunyi, getaran, teriakan atau keributan. Sedangkan kata sifat daqqa berarti “lembut” atau “halus”. Persoalan yang kita miliki adalah berkaitan dengan kata demama yang di sini merupakan kata keterangan bagi qol (suara). Ungkapan qol demama dalam Kitab Suci hanya muncul satu kali dan hanya di sini. Kemungkinan di sini demama berasal dari kata kerja damam, yang berarti: “tenang”, “hening”, “diam”, “menjadi diam“, “berhenti“, atau “tak bergerak“.[3] Namun demikian, banyak terjemahan menterjemahkan demama di sini dengan “angin”. Barangkali para penterjemah memiliki alasan bahwa nampaknya kurang atau bahkan tidak masuk akal dalam satu frase menyatukan dua unsur yang saling bertentangan: “suara, bunyi, getaran, teriakan, keributan” dengan “tenang” atau “hening”. Jadi menurut mereka “suara angin” nampak lebih bisa diterima daripada “suara dari sebuah keheningan“. Namun di sini kami memilih terjemahan “suara sebuah keheningan“ yang nampak juga amat beralasan. Kita akan membahasnya di sini.

Di tempat lain dalam Perjanjian Lama demama muncul antara lain dalam Kel 15,16; Yos 10,13 dan Mzm 107,29.[4] Di sini terjemahan “diam” nampaknya juga lebih tepat. Di sini kita bisa menterjemahkan qol demama daqqa dengan “suara sebuah keheningan yang lembut”. Beberapa terjemahan modern juga mengusulkan terjemahan ini.[5] Dari teks kuno, Targum misalnya menterjemahkannya dengan qol di-mesabhin ba-hasay, ”suara mereka yang memuji Tuhan dalam keheningan.” Pada hakekatnya Targum adalah sebuah terjemahan agak bebas teks kitab Suci Ibrani ke dalam bahasa Aram. Namun bisa jadi Targum menangkap dengan tepat ungkapan yang ada dalam teks ibrani yang unik ini dengan memilih kata “keheningan”. Bisa jadi penulis kitab Raja-raja dengan sengaja memilih dua kata yang kontras ini, yakni “suara” dan “keheningan” untuk mengungkapkan sesuatu yang dalam. Terjemahan “angin” kiranya kurang menampakkan bobot makna dan kekayaan yang terkandung di dalamnya. Di sini penulis suci sedang berbicara mengenai sebuah suara yang didengar oleh sang nabi, tetapi bukan semacam suara dari suatu gejala alam seperti angin besar, gempa, atau api (atau bahkan suara angin sepoi-sepoi), melainkan sebuah suara dari “sebuah keheningan”.

Menarik bahwa pada awal dikisahkan munculnya tiga gejala alam: angin badai, gempa dan api, tetapi setiap kali diakhiri dengan refren: “tidak ada Tuhan dalam ….”. Secara logis kemudian kita menantikan sebuah rumusan yang serupa dengan subyek sesuatu dari fenomena alam,[6] tetapi dengan mengharapkan refren berganti dengan: “dan Tuhan ada di situ”. Tetapi teks memberi kejutan. Yang dikatakan kemudian adalah qol demama daqqa, “suara keheningan yang lembut”. Pada awal ada 3 gejala alam yang dahsyat: angin besar, gempa dan api. Tetapi yang terakhir (keempat) muncul sesuatu yang amat berbeda, sesuatu yang ‘biasa’, yakni suara keheningan. Gaya demikian (3+1) tidaklah asing dalam Kitab Suci untuk menggarisbawahi pentingnya hal yang terakhir itu. Teks selanjutnya juga tidak mengatakan bahwa “Tuhan ada di situ”. Yang dikatakan adalah: “Ketika (terjemahan LAI: “Segera sesudah”) Elia mendengarnya, ia menyelubungi mukanya dengan jubahnya, lalu pergi ke luar dan berdiri di pintu gua itu” (ay.13). Ungkapan ini adalah sebuah cara berkata yang halus namun mendalam bagaimana penulis suci melukiskan bagaimana yang Ilahi hadir.

Menarik untuk mencatat bagaimana reaksi Elia. Ia menyelubungi mukanya ketika mendengar suara itu. Ungkapan “ketika mendengar” adalah penting. Ia menutup muka sebagai reaksi atas “mendengar” (suara) itu dan bukan karena ‘terkena’ angin sepoi-sepoi sebagaimana sering ditafsirkan.[7] “Menyelubungi muka” biasanya adalah suatu pertanda penting adanya kehadiran ilahi. Allah adalah Maha dahsyat dan tak ada manusia yang mampu bertahan hidup jika melihat wajahNya (Kel 34,20). Karena itu Elia menutup wajahnya. Musa pun menutup mukanya di hadapan kehadiran Ilahi (bdk. Kel 3,6; 33,22-23).[8] Menarik bahwa Elia menutupi wajahnya ketika yang ada justru keheningan dan bukan ketika ada angin badai, gempa atau api. Kehadiran ilahi itu ia baca, ia ketahui dan ia dengarkan justru dalam keheningan itu. Ia mendengar “suara” justru dalam keheningan itu dan bukan ketika ada suara fisik yang kuat. Suara yang ia dengar itu tidak berwujud dalam suara-suara fisik yang biasa bisa kita dengarkan, seperti suara deru angin, suara halilintar atau suara yang lain, melainkan “suara sebuah keheningan”. Keheningan pada waktu itu bagi dia tidak kosong, sebaliknya keheningan itu bersuara/berbicara. Keheningan itu menyatakan kehadiran Allah. Jika kita menengok teks-teks sebelumnya dalam Kitab Suci ini adalah sebuah cara kehadiran/teofani yang tidak atau belum lazim.

Barangkali inilah yang menjadi dasar bagi tradisi mengapa Elia menjadi inspirator pagi hidup mistik/kontemplatif. Sang nabi dikenang karena ia menjadi penyaksi Sabda dalam keheningan. Beberapa penafsir toh melihat teks ini bukan sebagai sebuah teks yang berbicara tentang mistik. Menarik memang untuk dicatat bahwa peristiwa teofani yang dipaparkan dalam ayat 11-12 diapit oleh dialog antara antara Tuhan dan Elia. Dialog diulangi dua kali, kata demi kata dalam ay. 9-10.13b-14.

13bMaka datanglah suara kepadanya yang berbunyi: "Apakah kerjamu di sini, hai Elia?" 14Jawabnya: "Aku bekerja segiat-giatnya bagi TUHAN, Allah semesta alam, karena orang Israel meninggalkan perjanjian-Mu, meruntuhkan mezbah-mezbah-Mu dan membunuh nabi-nabi-Mu dengan pedang; hanya aku seorang dirilah yang masih hidup, dan mereka ingin mencabut nyawaku."
Dalam dialog yang kedua ternyata Elia kembali mengeluh kepada Tuhan, sambil mengaku bahwa ia tak punya kekuatan lagi. Jadi menurut pendapat para penafsir itu, di situ tidak terjadi perubahan apa-apa dalam diri sang nabi.[9] Namun kiranya kita tidak bisa menarik kesimpulan demikian. Sebab, dalam keluhan yang kedua ini dapat juga dibaca sebuah nuansa lain. Kata-kata keluhan yang sama persis ini dapat menyatakan makna yang berbeda. Dalam keluhan bisa ada sebuah iman yang mendalam. Pengalaman mistik tidaklah berarti segalanya beres. Hal itu berlaku juga bagi sang nabi. Terlebih lagi, tidak jarang tujuan sebuah doa yang mendalam adalah mengeluh, menceritakan penderitaan karena orang terpisah dari Allahnya. Elia sekarang seorang diri. Sang nabi sekarang dengan terus terang menyatakan ketidakberdayaanya dan menyatakan imannya bahwa pertolongannya hanya datang dari Tuhan saja.

3. Di Horeb Elia mendengar Suara

Dalam kisah terkenal ‘Yesus menampakkan kemuliaanNya di Tabor’, hadir Musa dan Elia (bdk. Mt 17,1-7; Mrk 9,2-13; Lk 9,28-36). Musa adalah tokoh yang dapat ditunjuk “merangkum” Perjanjian Lama. Sedangkan Elia, tokoh yang dinantikan akan datang lagi pada pada jaman Mesianis. Jadi, keduanya memiliki peranan mendasar dalam perjalanan iman Israel, masa lampau dan mendatang. Namun penting pula melihat kedua tokoh ini dalam kaitan dengan teofani. Musa dan Elia besar karena kehadiran mereka dalam teofani dan kini mereka berdua hadir dalam peristiwa tranfigurasi Anak Manusia.

a. Teofani dan Kehadiran Tuhan

Kita tak meragukan bahwa teks Elia ini adalah sebuah teks tentang teofani. Hal itu kiranya jelas, seperti juga dalam teofani pada Musa, dalam peristiwa yang dialami Elia di Horeb hadir angin badai dan halilintar. Seperti telah dikatakan di atas, angin badai dan halilintar mengambil peranan penting dalam kisah-kisah teofani bukan saja dalam Perjanjian Lama, melainkan juga dalam kisah-kisah Timur Tengah Kuno (misalnya, dalam tradisi Ugarit dan Sumeria). Pertama, angin badai dan halilintar adalah bahasa yang dipilih untuk mengungkapkan madah kemengangan atas musuh. Bagaikan angin badai, Tuhan memporak-porandakan musuh-musuh Israel.[10] Kedua, angin badai dan halilintar juga menjadi tanda berkat bagi Israel, karena angin membawa mendung dan mendung membawa hujan, dan hujan pada gilirannya membawa kesuburan bagi tanah. Bangsa Israel tahu persis apa artinya hujan bagi kelangsungan hidup mereka, karena tahu pula apa artinya “Allah angin badai” (bdk. Kel 15:27; Mzm 68:9–10. 10–11; Ul 33:28). Jadi teofani dalam angin badai menyatakan kehadiran Allah dalam peristiwa-peristiwa mendasar hidup manusia, yakni dalam peperangan dan dalam kehidupan sehari-hari. Keduanya berkaitan langsung dengan persoalan hidup dan mati mereka. Maka dapat dimengerti bahwa hadirnya ibadah kepada Baal yang merupakan konsekwensi dari perkawinan Ahab denga Izebel – menjadi ancaman bagi ibadah pada Yahweh. Baal, yang merupakan allah bangsa Ugarit dan Fenisia ini terkenel juga dewa angin badai dan halilintar. Di Karmel, Yahweh telah menyatakan bahwa Ia pun Tuhan atas angin badai, Tuhan atas kehidupan dan lebih unggul atas Baal.

Jika kita membaca kisah teofani dalam kisah Elia dalam latar belakang ini, pembaca Israel mesti terkejut. Angin badai, gempa dan api adalah gejala yang biasanya menyertai teofani, dalam kisah Elia justru dinegasi dengan 3 kali refren: “Dan Tuhan tidak ada di situ”. Yang ada sekarang adalah (suara dari sebuah) keheningan, qol demama daqqa. Cara rumusan yang amat pendek dan misterius mengingatkan kita pada pernyataan diri Allah yang memperkenalkan namanya kepada Musa dalam semak berapi: ehyeh asher ehyeh, “Aku adalah Aku” (Kel 3,14). Bagi Israel, nama mengacu pada sebuah kehadiran. Sekarang Allah menghadirkan diri dalam qol demama daqqa. Keheningan ini – sekarang dipilih oleh Yahweh sendiri untuk menyatakan dan menghadirkan diri.

Membandingkan apa yang terjadi di Sinai dan di Horeb, banyak ahli kemudian melihat adanya sebuah paralelisme antara Musa dan Elia. Pertama, Tuhan menyatakan diri kepada mereka di tempat yang sama. Horeb tidak lain adalah Sinai, karena keduanya menunjuk gunung yang sama. Sinai selalu memiliki peranan penting dalam perjalanan iman Israel selanjutnya. [11] Kedua, teofani itu terjadi dalam/dekat dengan gua (Kel 33,22; 1 Raja 19,9). Dalam pemikiran religius, gua selalu bersifat sakral, berkaitan dengan kehadiran yang Ilahi. Ketiga, keduanya tinggal di atas (Elia: dalam perjalananan menuju) gunung itu selama 40 hari, sebuah angka yang menyimbolkan sesuatu yang panjang dan menuntut kesabaran. Keempat, kedua teofani menampilkan skema yang sama, yakni suatu dialog dan kemudian perintah Tuhan (bdk. Kel 3,6; 1 Raja 19,13). Dialog dan perintah merupakan unsur mendasar sebuah teofani. Namun demikian, selain keempat parallelisme ini, Elia juga dilihat sebagai antitesis atas Musa. Pertama, teofani kepada Musa terjadi pada awal perjalanan, sementara pada Elia terjadi pada akhir perjalanannya. Kedua, Musa bersama umat Israel, sedangkan Elia berdiri sendirian. Ketiga, pada teofani kepada Musa, kehadiran Tuhan dinyatakan pertama-tama dalam guruh kilat dan awan pekat, sementara dalam teofani pada Elia, kehadiran itu dinyatakan dalam keheningan.

Beberapa penafsir melihat bahwa teofani Elia menambahkan beberapa dimensi baru pada pengalaman religius Israel. Peristiwa di Horeb itu diawali dengan sebuah perjalanan panjang Elia dan berakhir dengan pertemuan. Kiranya tradisi ini menggarisbawahi dimensi personal, pencarian dan perjalanan pribadi sang nabi berangkat dari situasinya yang sulit dan keputusasaannya. Setelah perjalanan panjang, ia sendiri berdiri dihadapan Allah. Di pusat pertemuan itu yang ada adalah hening. Namun justru di situ nabi “bertemu” dengan Yahweh. Ia mendengar suaraNya, bukan lewat suara yang menggelegar, melainkan keheningan. Barangkali ini adalah bahasa lain dari suatu keintiman dan kedekatan, pertemuan pribadi antara dua sahabat yang amat dekat.[12] Pertemuan dua pribadi dalam tarafnya yang paling dalam memang tidak bisa terwujud kecuali dalam keheningan.

b. Teofani dan peristiwa Sabda.

Teofani adalah pengalaman mendasar dan sentral bagi iman Israel. Teofani adalah tahap yang amat menentukan dalam sejarah mereka sebagai umat dan bangsa, karena teofani merevelasikan kehadiran Tuhan yang menyelamatkan (Exodus 3; 19; 33). Namun dalam teofani di Sinai, kita perlu melihat “angin badai” pertama-tama sebagai ‘latar belakang’ dan bukan sebagai inti revelasi. Sebab, apa yang muncul kemudian adalah “Tuhan yang bersabda”. Guruh-kilat dan awan pekat, api dan asap itu diikuti turunnya 10 Perintah Allah. Itulah puncak teofani, yakni peristiwa Sabda. Kehadiran Allah telah menyelamatkan Israel dari Mesir, dan kemudian Sabda inilah yang akan memimpin Israel dalam perjalanan selanjutnya. Seluruh kumpulan hukum Israel kemudian juga dinyatakan sebagai hukum yang diberikan Tuhan kepada Musa di Sinai. Atas dasar itulah hukum memiliki otoritas bagi Israel dan seluruh keturunan, karena “disabdakan” oleh Tuhan di Sinai. Jadi, di pusat teofani itu ada peristiwa Sabda.

Memang, sangat mendasar bagi iman Israel adalah iman akan Tuhan yang berbicara. Allah Israel adalah Allah yang berbicara dan bahkan bukan saja Allah yang dapat berbicara, melainkan Tuhan yang telah berbicara. Allah Israel bukanlah Allah yang bisu. Maka bisa kita mengerti jika kita temukan teks-teks yang memberi sindiran keras pada berhala-berhala asing: “Mempunyai mulut tetapi tidak dapat berbicara“ (bdk. Mzm 115,5; 135,16; Jer 10,5). Karena itu, panggilan utama Israel pun adalah mendengar Tuhan yang bersabda dan memberikan kesaksian bahwa Tuhan senantiasa berbicara dengan dunia. Dapat dimengerti pula, jika “Shema Israel” (“Dengarkanlah Israel”) menjadi salah satu ungkapan judaisme yang paling terkenal. Doa ini diucapkan oleh setiap orang Israel dua kali sehari, yakni setiap kali bangun dan menjelang tidur; diajarkan kepada setiap anak dan diucapkan oleh setiap dari mereka menjelang ajal. Mendengarkan suara/Sabda Tuhan adalah jantung kehidupan Israel.

Demikian, dalam injil Mateus, tranfigurasi di atas gunung itu diakhiri dengan suara dari langit: “Dengarkanlah Dia!” (Mat 17,5). Peristiwa di puncak gunung itu menegaskan kuasa Yesus untuk mengajar. Lewat pengajaranNya Tuhan sendiri sedang bersabda (bdk. 7,29). Dan Yesus meneruskan dalam kelanjutan revelasi Tuhan dalam perjanjian Lama yang disimbolkan/diwakili oleh Musa dan Elia. Maka dari sudut ini menarik bahwa kepada Elia, Tuhan merevelasikan diri dalam qol demama, “suara hening”. Semakin jelas bahwa kita bisa teofani di Horeb dalam “keheningan” itupun juga merupakan peristiwa Sabda. Kata qol, “suara” di situ menjadi kata kunci. Teks kita tidak berbicara hanya tentang keheningan, tetapi juga tentang suara. Dalam peristiwa sebelumnya (kemunculan angin besar, gempa dan api) tidak dikatakan tentang ‘suara’ ini. Tetapi ketika yang muncul keheningan, teks kita berbicara tentang “suara” dan nabi mendengarnya. Mengapa justru dalam keheningan ada suara? Inilah inti teofani di Horeb. Suara Allah justru terdengar dalam keheningan, dan hanya dalam keheningan suara itu terdengar. Maka kunci dari teofani di Horeb juga pertama-tama adalah soal “mendengar”. Nabi mampu mendengar “suara” itu. Tidak diterangkan ia mendengar suara apa dan apa yang dikatakan. Namun jelas suara itu mewujudkan kehadiran Allah, karena itu sang nabi menutup mukanya. Di situ mendengar suara/Sabda menjadi peristiwa sakral dan agung, karena manusia berdiri di hadapan Allah. Tidak dikatakan bagaimana sang nabi mampu mendengar suara itu, tetapi kiranya atas dasar itulah tradisi panjang menafsirkan Elia sebagai inspirator mistik. Dalam keheningan ada suara, yakni suara Allah. Keheningan adalah sesuatu yang paling lembut, sesuatu yang paling datar dan paling biasa, tidak menampakkan sesuatu dan tidak dan memperdengarkan apa-apa. [13] Hanya mistikus - orang yang yang terbiasa bergulat dengan sesuatu yang paling biasa, datar dan sederhana - yang mampu mendengarnya.


4. Makna Baru: Israel setelah Pembuangan

Dari seluruh teks Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, teks kita termasuk teks yang amat unik. Pertama, sulit menemukan di tempat lain dalam Perjanjian Lama teks yang berbicara tentang hal serupa. Jika benar sudah berasal dari abad VII S.M., teks ini dapat merupakan (minimal dalam dunia kitab Suci) salah satu “teks mistik” tertua.[14] Kedua, sebagai sebuah teks yang berbicara tentang teofani, teks ini menghadirkan sebuah kejutan lewat rumusan pendek qol demama daqqa. Yang ada dipuncak Horeb adalah “suara sebuah keheningan yang lembut”.

Iman Israel berdiri di atas keyakinan akan kehadiran yang ilahi. Tuhan itu hadir. Namun Israel setelah pembuangan tidak menjumpai lagi ‘pengalaman primordial’ sebagaimana dialami oleh nenek moyang mereka bersama Musa dalam masa pembentukan di pada gurun. Setelah pembuangan, monoteisme menuju kematangannya. Tantangan bukan lagi pertama-tama persaingan antara Yahweh dan Baal. Namun di manakah umat mencari Tuhan, rupanya tetap menjadi persoalan mendasar. Pada konteks itulah rupanya redaksi deuteronomis ‘menyisipkan’ kisah Elia dalam dalam Kitab Raja-raja.[15] Kisah Elia itu tetap aktual, dan kisah pendek tentang teofani itu terasa memiliki bobot yang istimewa.

Setelah kembali dari pembuangan (+ 538 S.M.), Israel belajar kembali membangun iman mereka akan Yahweh. Mereka harus belajar sesuatu yang lebih dalam, dan lebih dewasa pula dalam hidup spiritual. Tak mereka jumpai lagi teofani Tuhan dalam “badai, gempa dan api”. Kini mereka harus belajar menemui Tuhan yang dirayakan dalam ibadat dan mereka meditasikan dalam keheningan. Tuhan mereka kenal dan mereka abdi dalam lewat pembacaan dan lewat ketaatan pada Taurat. Tuhan mereka jumpai lewat hidup doa dan kesatuan mistik. Setelah Pembuangan tradisi tentang Sabat juga semakin kuat. Hari itu Israel berhenti dari aktivitas keseharian mereka dan mengkhususkannya untuk merenungkan hukum Tuhan dalam keheningan. Sabda dan keheningan menjadi pusat. Itulah gairah baru kehidupan iman Israel setelah pembuangan. Mereka belajar mengenal Yahwe sebagai Tuhan atas kehidupan, pertama-tama bukan dalam sesuatu yang dahsyat, angin badai dan halilintar, melainkan lewat Sabda dan keheningan.

Kiranya dalam konteks itulah kisah teofani Elia dapat dibaca dengan lebih baik. Teks ini memberi dimensi penting seiringan dengan pembaharuan dalam kehidupan religius Israel itu. Pertemuan umat Israel dengan Yahweh di Sinai adalah peristiwa primordial/mendasar bagi Israel. Peristiwa itu adalah pertemuan pertama yang membuat mereka “jatuh cinta” kepada Yahweh. Maka, Sinai adalah kata penuh daya dan menggetarkan bagi mereka. Peristiwa itu adalah sebuah pengalaman yang selalu diingat dan diimpikan. Teofani pada Elia di Horeb kemudian dapat dikatakan sebuah teks yang memberikan dimensi baru pada peristiwa Sinai Musa. Teks ini mungkin menyatakan suatu jalan mistik yang terbuka bagi semua orang, bagi banyak generasi selanjutnya. Bukan saja Musa dan Israel di padang gurun, dan bukan saja Elia, tetapi kini siapa saja bisa menjumpai Allah. Sebab, lewat Elia Allah telah menyatakan diriNya dalam keheningan dan keheningan hadir kapan saja dan di mana saja. Perjalanan mistik setiap orang, pertama-tama adalah pergulatan pribadi. Di situ manusia seorang diri bergulat dengan Allahnya. Mencapai taraf kedalaman hubungan pribadi. Di situ Yahweh hadir, di situ Ia bersabda. Di situ umat dapat menjumpai dan bertemu denganNya.

5. Penutup: Di manakah orang Modern mencari Tuhan?

Tradisi panjang mengenang Elia, karena pelajaran penting yang diberikannya. Keheningan bagi sang nabi tidaklah berarti ‘kosong dan tidak ada apa-apa’. Sebaliknya, dalam keheningan ada sesuatu yang amat berharga yakni suara Tuhan, suara yang Mahaagung dan dahsyat. Karena itulah ia menjadi inspirator bagi tak terhitung orang yang mencari Allah dan ingin bertemu Allah.

Dalam lubuk hati terdalam, kapanpun manusia memiliki hasrat mencari Tuhan. Pertanyaan kita adalah: “Di manakah kita mencari Tuhan?”[16] Rupanya ini adalah persoalan abadi manusia. Di tengah dunia penuh dengan hiruk pikuk dan yang semakin menawarkan spiritualitas yang instant dan superfisial, manusia perlu belajar sesuatu yang lebih dalam. Elia telah memberikan kesaksian bahwa ia mendengar suara Yahwe justru dalam, sesuatu yang paling lembut dan paling biasa, yakni keheningan. Ini adalah sebuah jalan mistik. Para mistikus telah belajar bagaimana jalan ini tidak pernah merupakan sebuah jalan yang mudah. Hal itu dilukiskan oleh pengalaman Musa, Yesus dan Elia dengan dengan perjalanan/tinggal 40 hari di padang gurun atau puncak gunung. Jalan mistik adalah jalan yang panjang, jalan yang menantang harapan orang dan menuntut kesabaran.

Ketika para karmelit pertama meminta pedoman hidup, Albertus, Patriark Yerusalem waktu itu dengan tepat sekali menulis “merenungkan hukum Tuhan siang dan malam” sebagai tiang bagi kehidupan mereka. Mereka belajar bagaimana melihat sabda dan keheningan itu bagaikan mutiara yang amat berharga. Tradisi Lectio divina kemudian mewujudkan secara lebih konkret Sabda dan keheningan itu dalam hidup sehari-hari. Di situ Sabda dan keheningan menjadi satu. Sabda hadir dalam keheningan, karena keheningan itu memperdengarkan Sabda. Dalam keheningan manusia mendengarkan, mengunyah Sabda berdoa dan menkontemplasikannya. Sabda kemudian pada gilirannya mengantar manusia – lewat usaha terus menerus - bertemu dengan Allah.

Roma, Juni 2004
Ignasius Budiono O.Carm.



BIBLIOGRAFI

Brown, F. – Driver. S.R. – Briggs. C.A., A Hebrew and English Lexicon of the Old Testament (Oxford 1952).
Cogan, M., 1Kings. A New Translation with Introduction and Commentary, AnB10 (New York 2000).
Devries, S.J., 1Kings , WBC 12 (Dallas, Texas 1995).
Go, P., “Daya Tarik Jakarta”, BK 330 (Juli 2005) 24-38.
Lust, J., “Elijah and the Theophany on Mount Horeb”, BETL 41 (1976) 91-98.
Masson, M., Elia L’Appello del Silenzio (Bologna 1993).
Seybold, K., “Elia am Gottesberg”, EvT 33 (1973) 13-17.


[1] Dalam Judaisme post biblis Elia tampil sebagi figur terpenting dan inspirator hidup mistik. Dalam tradisi Islam sebagai Nabi Ilyas (‘al Khadir’), sang penolong sekaligus simbol transformasi.
[2] Di luar 1 Raj, sumber lain tentang Elia antara lain: Mal 3,23-24; 1Kro 21,4-19; 2 Raj 9,39; 10,10.17; Sir 48,1-11.

[3] Barangkali dapat ditelusuri asal kata ”diam“ dalam bahasa Indonesia yang kemungkinan berakar dari bahasa Semit.
[4] “mereka kaku seperti batu” (Kel 15,16); “Maka berhentilah matahari” (Josh 10,13); “dibuat-Nyalah badai itu diam, sehingga gelombang-gelombangnya tenang” (Mzm 107,29).
[5] J. Gray, misalnya menterjemahkan: “a sound of a thin silence”; M. Cogan: “the sound of sheer silence”, juga NRSV: ”a sound of sheer silence”.
[6] Sebagaimana misalnya dipikirkan oleh J. Lust. Secara amat berbeda ia menterjemahkan qol demama daqqa dengan “suara yang menderu dan sambar-menyambar”. Jadi ada semacam eskalasi, dari angin besar, gempa, api dan puncaknya suara yang menderu dan sambar menyambar. Ia juga cenderung menterjemahkan “dan tidak ada Tuhan dalam ...” dengan “dan Tuhan belum ada dalam ...”. Bdk. J. Lust, “Elijah and the Theophany on Mount Horeb”, BETL 41 (1976) 91-100.
[7] Sementara orang menafsirkan bahwa angin besar, gempa dan api menakutkan Elia membuat ia tetap di dalam. Sedang angin sepoi-sepoi mengundang ia keluar.
[8] Dapat kita kita bandingkan juga dengan reaksi Gideon (Hak 6,22) dan Manoah (Hak 13,20-22).
[9] Bdk. Misalnya S.J. Devries, 1Kings, WBC 12 (Dallas, Texas 1995) 237.
[10] Bahasa ini nampak dalam teks-teks di mana Tuhan menyatakan diriNya. Bdk. Kel 15:7–10; Ul 33:2–3, 26–29; Hak 5:4–5; Hab 3:3–15; Mzm 68:7–8, 31–34. 68:8–9, 32–35. bdk. Kel 15:7–10; Ul 33:2–3, 26–29; Hak 5:4–5; Hab 3:3–15; Mzm 68:7–8, 31–34. 68:8–9, 32–35.
[11] Nama “Sinai” berasal dari tradisi Yahwis (J) dan Imam (P), sedangkan “Horeb” berasal dari tradisi Elohis (E) dan Deuteronomis (D).
[12] Lebih jauh Michael Masson berpendapat bahwa rumusan qol demama daqqa mengungkapkan bukan pertama-tama suatu fenomen alam (meteorologis, “angin”), melainkan terlebih sebuah pengalaman mistik batiniah. Bdk. M. Masson, Elia L’Appello del Silenzio (Bologna 1993), 18-19.
[13] Dalam teofani pada Elia dapat kita baca kesatuan antara Sabda dan keheningan. Keduanya sebenarnya berbicara tentang Allah. Sebab, pada hakekatnya Sabda keluar dari keheningan absolut Allah, dan Sabda mewujudkan dalam bahasa kehadiran Allah yang adalah Roh (keheningan). Dalam sebuah kementar Talmud tentang Sabat, dikisahkan komentar dari 3 orang rabbi. Yang pertama mengatakan bahwa umat Israel di Sinai mendengar hanya tiga kata pertama: “Aku adalah Tuhan”. Menurut Rabi kedua, umat mendengar hanya dua kata pertama: “Aku adalah”. Dan menurut rabbi ketiga, umat hanya mendengar huruf pertama (dalam bahasa Ibrani) alef, yang pada dasarnya tidak berbunyi: jadi yang ada adalah “hening”! Kisah ini hanya mau mengatakan bahwa Sabda itu sebenarnya muncul dari keheningan Allah dan tidak akan dapat mengatakan semua misteri yang ada dalam keheningan Allah.
[14] Bdk. M. Masson, Elia, 109.
[15] Redaktor Deuteronomis hidup sekitar jaman pembuangan Israel di Babilonia (586- SM).
[16] Menarik untuk kita renungkan pertanyaan penting yang diajukan oleh Rm. Piet Go beberapa waktu lalu dalam BERITA KARMEL: “Dimanakah umat mencari Tuhan: lebih dalam hal-hal ajaib, aneh-aneh, luar biasa bahkan paranormal, ataukah – seperti diajarkan Gereja – dalam Sabda dan Sakramen, dalam sesama dan semesta alam, dalam hidup sehari-hari yang serba biasa?” (Bdk. Rm. P.Go, “Daya Tarik Jakarta BK 330 (Juli 2005) 34.

Biji yang jatuh dan menghasilkan buah melimpah

Mengenang Yohanes Paulus II

“Jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah” (Yoh 12,24). Betapa kata-kata Yesus ini terasa sungguh kebenarannya, menyaksikan apa yang terjadi di Roma pada bulan april 2005 ini. Para wartawan di Roma menyebut hari-hari itu sebagai ‘hari-hari paling cemerlang kepausan Yohanes Paulus II’. Selama 26 tahun lebih tak pernah lelah ia mewartakan Injil. Dengan sakitnya ia juga tetap berusaha ‘berbicara’, lewat ‘penderitaanya’. Dan sekarang dengan kematiannya ternyata ia tetap memberi kesaksian, bahkan seolah-olah mampu “berbicara” jauh lebih kuat kepada dunia. Tak seorang-pun menduga sebelumnya, bahwa kematiannya mampu memanggil dan menyatukan begitu banyak orang. Terasa benar Sabda Yesus bahwa biji gandum yang jatuh dan mati - menghasilkan banyak buah.




Doa khusuk: “doakanlah kami yang berdosa ini sekarang dan waktu kami mati”
Anak-anak tahu Paus begitu mencintai mereka, dan mereka juga mencintai Paus
.

Kamis sore, 31 Maret tersebar berita bahwa keadaan Bapa Suci semakin gawat. TV-TV Italia dari saat itu melaporkan berita terakhir dari menit-ke menit. Puluhan stasiun TV dari banyak negara dalam sekejap telah siap dengan segala peralatan. Beberapa stasiun TV Itali bahkan hampir membatalkan semua programnya dan menyiarkan program khusus peristiwa-peristiwa sekitar Paus. Sore hari umat mulai mengalir ke lapangan Santo Petrus dengan lilin dan Rosario di tangan untuk berdoa. Jumat, 1 April tengah hari, Joaqin Navarro Valls, juru bicara Vatikan memberikan keterangan pers tentang keadaan terakhir Sri Paus. Dikatakan bahwa beliau dalam keadaan sadar penuh. Beliau ingat hari itu hari jumat, dan meminta doa jalan salib, praktek yang tak pernah lupakan semenjak imam muda. Beliau juga meminta asistennya membacakan bacaan dari Kitab Suci. Sore hari lapangan padat dengan umat, tua muda, dengan lilin dan Rosario di tangan, berdoa untuk dan bersama sang bapak. Berdoa secara pribadi, dan kelompok-kelompok kecil dan kemudian juga Rosario bersama. Doa Rosario, inilah yang rupanya satu-satunya diminta Paus pada mereka yang datang untuk menemani dia pada saat-saat sakrat maut. Terasa kemudian betapa doa sederhana itu punya makna yang dalam ‘lebih dari biasanya’ dan menyentuh. “Doakanlah kami yang berdosa ini sekarang dan waktu kami mati”.

Umat menyertai saat-saat terakhir Bapa Suci dengan Rosario


Maria memang punya tempat istimewa bagi hidup Paus ini. “Totus Tuus ego sum”, semboyan ke-pausannya, “diriku (semuanya) milik/untukmu.” “A man of Rosary”, manusia Rosario, tulis majalah TIME mendifinisikan Paus ini ketika mereka memilihnya sebagai Man of the Year pada tahun 1994. “Paus Maria”, tulis banyak wartawan Itali, melukiskan kedekatan Paus yang telah ditinggal ibunya sejak kecil ini dengan Maria”. Kita bisa mengingat secara khusus Paus mempersembahkan sebuah ensiklik Redemptoris Mater pada tahun 1987, lalu menulis Surat Apostolik Rosarium Virginis Mariae, menambahkan “Peristiwa Cahaya” dalam tradisi doa kita itu dan menyatakan Okt 2002-Okt 2003 sebagai tahun Rosario. Tak dapat disangkal kedekatannya dengan Maria dibentuk oleh pengalaman hidupnya, antara lain sejak kecil telah ditinggal ibunya, dan oleh tradisi religius Polandia yang kuat. Secara istimewa ia merasa dilindungi oleh Maria dalam usaha pembunuhan yang dialaminya pada tgl 13 Mei 1981 itu. Tentang peristiwa itu, dalam surat wasiatnya ia menulis, bahwa hidupnya diperpanjang oleh Allah, dan secara istimewa rahmat hidup diberikan lagi kepadanya. “Manusia pendoa,” tulis majalah TIME juga tentang dia. “Dia membuat keputusan-keputusannya di atas lututnya”, artinya dengan dan di dalam doa. Sungguh mengesan bahwa di tengah kesibukannya yang luar biasa itu, setiap hari Paus ini mampu menyediakan waktunya 4 jam untuk berdoa. Jika malam-malam, sekitar jam 11 kita melawati lapangan st. Petrus, ada satu jendela di atas sana sedang menyala. Itu adalah jendela kapel pribadi sri Paus dan di sana ia sedang berdoa setiap malam selama 45 menit.

Sore itu juga (1 April) di Basilika St. Yohanes Lateran diselenggarakan Misa bagi paus, dipimpin Kardinal Camilo Ruini, Vicaris Sri Paus untuk Keuskupan Roma. Misa dihadiri Presiden Italia, ribuan umat, terutama kaum muda. “Sahabat kaum muda” adalah difinisi yang diberikan oleh kaum muda sendiri pada Paus ini. Mereka ingat persis bagaimana ia ikut menyanyi dan bergerak bersama mereka, memainkan tongkatnya, ketika ia sudah mulai sakit dan kesulitan berjalan. Maka tak mengherankan ribuan anak muda menyerbu lapangan dan tidak sedikit dari mereka yang menunggu sampai pagi. Berdoa dan menyanyi, sambil melawan dinginnya malam. Beberapa kata-kata terakhir Paus yang “diterjemahkan” oleh Navarro Valls nampaknya juga ditujukan pertama-tama untuk kaum muda yang memenuhi lapangan St. Petrus: “Saya menunggu kalian dan kalian datang pada saya, untuk itu saya berterimakasih pada kalian.”

Sabtu sore lapangan kembali penuh dengan umat, dengan lilin, dalam keheningan dan dalam doa khusuk. Rosario sedang berlangsung. Pada saat itulah Bapa Suci di panggil Bapa Surgawi. Pk. 21.53 uskup agung Mgr. Sandri memberikan pengumuman kepada khalayak: “Pada pk. 21.37. telah berpulang ke rumah Bapa, Bapa Suci Yohanes Paulus II”. Keheningan besar meliputi lapangan. Namun kemudian tepuk tangan panjang membahana, 5 menit tanpa henti. Perjungannya telah usai. Lonceng Basilika Vatikan bertalu panjang, diikuti seluruh gereja di Roma, dan mungkin juga seluruh Italia. Umat menangis. Mereka menangisi bapak yang meraka kasihi. Tetapi juga dalam iman mereka bersyukur atas rahmat Tuhan dalam diri pribadi istimewa ini. Beberapa menit kemudian Carlo Azeglio Ciampi presiden Italia memberikan sambutan. Tak lama kemudian juga Presiden George Bush. Italia menyatakan hari berkabung selama 6 hari, juga Polandia tempat kelahirannya. Yang tak terduga, Kuba, negara yang kita kenal sebagai negara komunis menyatakan hari berkabung nasional selama 3 hari. Tak dapat disangkal rasa kehilangan yang mendalam dirasakan oleh semua. Di Roma terpampang di mana-mana Poster besar Paus dengan tulisan GRAZIE (“terimakasih”): “Roma piange e saluta il suo papa” (Roma menangis dan memberi salam kepada paus-nya). Sebutan untuk Paus dalam bahasa Itali adalah “Papa”, sebutan akrab untuk bapak, tetapi dengan aksen berbeda dan dengan artikel “Il” ‘si’ atau ‘sang’. Sang Bapak, Bapak bagi semua.



Kemudian, menurut informasi para asisten yang mendampinginya, sebelum menghembuskan nafas terakhir malam itu, Paus menjulurkan tangan ke arah jendela, tempat di mana selama 26 tahun ia berdiri dan memberikan berkat pada umat. Kali ini adalah untuk terakhir kalinya, dan kemudian menutup dengan “Amen”. “Kehilangan” adalah kata yang merangkum perasaan banyak, bukan saja orang katolik, tetapi bagi banyak yang tidak katolik. Banyak orang telah merasakan bahwa hidup orang ini telah menjadi berkat bagi mereka. Bahkan Mehmet Ahli Agca, yang pada 13 Mei 1981 menembak Paus, dari penjara di Turki menyatakan kesedihan yang mendalam dan ingin hadir untuk pemakaman. “Saya kehilangan saudara rohani saya”, kata Agca.

Yang paling menyentuh adalah wawancara-wawancara terhadap orang-orang tua, anak-anak kecil, orang-orang sakit dan cacat dan orang-orang tahanan di penjara. Wartawan TV Itali RAI Uno, menyebut mereka “Il popolo di Woytila”: masyarakat (milik) Woytila. Tak dapat disangkal, merekalah yang mendapat perhatian paling istimewa dari Paus ini. Betapa mereka merasa kehilangan seorang bapak dan teman, bahkan tak sedikit mengatakan “bagian dari keluarga mereka”. Terlebih pada tahun-tahun terakhir Paus, mereka merasa sungguh bahwa ia hadir sebagai teman dalam penderitaan. Di tengah polemik mengapa Yohanes Paulus tidak mundur ketika ia sakit, tak sedikit yang memberi kesaksian bahwa justru dalam kelemahannya, ia mampu memberi kesaksian lebih kuat. Dan merekalah yang paling merasakan. Nampak benar pula, ketika beliau semakin lanjut, nampak semakin dicintai, terutama oleh orang muda. Pernah saya jumpai sorang ibu sedang mencari poster paus. Nampak ia tertarik dengan satu poster bergambar Paus dengan ibu Teresa, tetapi kemudian berkata: “Ah, ini Bapa Suci masih terlalu muda”.

Tangis menjadi doa
Tua dan muda merasa kehilangan

Senin sore, 4 April jenazah sri paus dipindahkan dengan sebuah prosesi dari kapela Leoniana ke Basilika San Pietro, untuk memberi kesempatan umat untuk memberikan penghormatan terakhir. Di hadapan ratusan ribu umat, jenasah sri paus angkat oleh 10 petugas diikuti para barisan kardinal. Prosesi melewati lorong-lorong istana kepausan dan lalu melewati lapangan St. Petrus untuk kemudian jenasah semayamkan di Basílika, di depan altar utama.

Ciao Karol. Selamat jalan Bapa Suci.

Walaupun pemerintah kota Roma telah memberi peringatan agar tidak semua berduyun-duyun ke Roma, toh gelombang peziarah yang datang tak terbendung juga. Diperkirakan 3 sampai 4 juta orang hadir hari-hari itu. Penduduk Roma hari-hari itu menjadi dobel. Praktis mulai sore itu sampai hari Kamis, 24 jam penuh antrian panjang umat tak pernah putus. Kebetulan collegio, San Alberto tempat saya tinggal, ada di sekitar daerah Vatikan, sehingga saya bisa menyaksikan dari dekat apa yang terjadi hari-hari itu. Dimana-mana jalan sekitar Vatikan macet karena lautan manusia. Dalam Misa arwah di collegio kami (karmel) san Alberto romo prior mengatakan: semoga kita mampu merasakan peristiwa sebagai peristiwa penuh rahmat, menyaksikan peristiwa yang sedang terjadi hari-hari itu, menyaksikan bagaimana umat-umat sederhana memberikan kesaksian iman. Tak sedikit mereka dari tempat-tempat yang jauh, yang tak jarang dengan banyak kesulitan pengorbanan. Sungguh bagi mereka merupakan sebuah ziarah. Berjajar dalam doa, dengan kesabaran luar biasa. Bergerak pelan-pelan, dalam keheningan, berjam-jam tanpa ada yang mengeluh, menahan lelah dan kantuk - hanya untuk dapat memberikan penghormatan terakhir kepada Bapa Suci mereka 2 atau 3 detik saja. Tak sedikit mereka berdoa dalam kelompok-kelompok kecil. Setiap kali anak-anak muda menyanyi bersama atau meneriakkan yel-yel nama sri Paus dalam bahasa Itali: “Giovanni Paulo! Giovanni Paulo!”. Mereka yang berbahasa Spanyol tak kalah menyahut: “Juan Pablo Segundo! Juan Pablo Segundo!”.

Vatikan di suatu pagi. Barisan panjang, 4 hari - siang malam tanpa henti

Amat menarik mencatat bagaimana orang memberikan komentar mereka atas paus dan mengapa mereka datang. Seorang Ibu cacat kaki dengan “kruk” ikut berbaris, dan dengan tersenyum mengatakan: “Di rumah, biasanya jalan 100 meter saja saya sudah nggak kuat. Lihat, sudah 7 jam saya saya ikut berbaris dan saya sudah sampai di sini. Ternyata saya masih kuat”. Walaupun hampir setiap minggu siang, saya hadir dalam doa angelus dan jadi berkali-kali telah melihat paus kita ini, saya akhirnya memutuskan untuk ikut menggabungkan diri dalam antrian para peziarah itu, ingin merasakan apa yang mereka rasakan. Rabu Sore jam, setelah melihat Berita , jam 21.30 saya mulai masuk barisan panjang entah berapa kilo meter jauhnya dari pintu masuk Basilika. Berjalan setapak-demi setapak. Jam 2 malam ‘gerombolan’ saya melewati jembatan Vittorio Emanuele. Jembatan yang lebar dan kokoh itu rasanya ‘bergoyang-goyang’ karena kantuk mulai datang. Syukur pada Tuhan saya “berhasil” masuk basilika pagi harinya, hari Kamis jam 8 pagi. Sepuluh setengah jam! Namun itu masih kalah dengan beberapa anak muda yang menurut catatan wartawan “memecahkan rekor” antrian terlama: 20 jam.

Ada ratusan stasiun TV dan sekitar 3500 wartawan meliput peristiwa hari-hari itu, 20 ribu relawan dari seluruh Italia dan entah berapa ribu petugas keamanan. Ada lebih dari 4 juta botol aqua dibagikan secara gratis oleh pemerintah kota Roma. Puluhan tenda untuk layanan kesehatan dan ribuan tenda untuk tempat tidur peziarah. Kali ini Roma dan Itali mendapat pujian atas sambutan dan pelayanan mereka yang luar biasa.

Berjalan setapak demi setapak, berjam-jam dalam doa.

Upacara pemakaman berlangsug hari Jumat jam 10 pagi. Disebut-sebut sebagai salah satu upacara pemakaman terbesar dalam sejarah. Upacara dihadiri kurang lebih 200 pemimpin dunia, dan mampu “mempertemukan” di tempat yang sama mereka-mereka yang nampaknya hampir tidak mungkin bertemu. Mulai dari Bush presiden AS sampai Khatami, Presiden Iran. Dari presiden Suria sampai presiden Israel. Tak sedikit wartawan yang mengatakan: “Yohanes Paulus sedang melakukan mukjizatnya yang pertama. Mukjizat perdamaian.”

Lapangan St. Petrus dan Via Conciliazione, praktis hanya bisa menampung sebagaian kecil dari jutaan peziarah itu. Maka pemerintah Roma menyediakan 27 TV layar besar disebar di 11 piazza (lapangan) di kota Roma. Kota Roma hari itu disebut menjadi “grandissimo santuario” (tempat ziarah) besar. Ribuan umat mengikuti upacara dengan khusuk dari Piazza Risorgimento, Cavour, del Popolo, Navona, Spagna, Maria Maggiore, Basilika San Paulo, Basilika Yohanes Lateran, Colloseo, dan Tor Vergata.

Angin bertiup kencang ketika upacara berlangsung, sampai-sampai menutup Kitab Suci yang dibuka di atas peti jenazah. Wartawan berkomentar: “Roh Kudus menutup ‘buku kehidupan’ Yohanes Paulus. Hidup dan perjuangannya telah usai. Peti jenazahnya amat sederhana, tiada bunga dan tiada dekorasi lain - kontras dengan besarnya upacara hari itu. Kontras pula antara “keheningan besar” dengan “lautan manusia” itu. Roma hari itu “berhenti”. Tunduk berdoa dan bersyukur bersama atas orang besar ini. Namun pertama-tama Tuhanlah yang besar. Ialah yang berkarya lewat Karol Woytila, manusia yang sederhana ini untuk menggembalakan umat dan membawa berkat bagi dunia.

Bukan kematian, melainkan “merayakan kehidupan”.


Upacara pemakaman itu secara pas dilukiskan oleh Washington Post pada halaman pertamanya: “Life of Pope John Paul II celebrated”, hidup Paus Yohanes Paulus II dirayakan. Benar, bukanlah pertama-tama kematian, melainkan kehidupannyalah yang dirayakan. Menyaksikan upacara itu, rasanya kita sedang merayakan sebuah kehidupan. Yohanes Paulus II bukanlah manusia sempurna, tetapi ia telah menujukkan sebuah kehidupan, bagai roti Ekaristi, yang telah “dibagikan” bagi banyak orang. Hal itulah yang telah dirasakan oleh bayak orang. “Adesso tocca a noi”, “Sekarang giliran kami” begitulah tulis banyak anak-anak muda di banyak di banyak sudut di lapangan di jalan-jalan sekitar Vatikan. Mereka sadar penuh bahwa Gereja sekarang ini mengahadapi saat-saat yang tidak mudah. Tetapi semangat, keberanian dan penderitaan bapak mereka ini telah menabur semngat dalam hati mereka. Biji gandum jatuh dan mati, tetapi tumbuh kembali menghasilkan buah yang melimpah. Semoga.

dari Roma April 2005: Ig.Budiono, O.Carm.

Saturday, October 6, 2007

Tuhan dan Sejarah

Pemikiran Semit dan Asia: antara Pertautan dan Persilangan

Pengantar
Asia biasanya dihubungkan dengan “harmoni”, sebaliknya Semit (agama-agama monoteis), terlebih dengan menggilanya terorisme dalam satu dasawasa terakhir ini, semakin kuat diasosiasikan dengan fundamentalisme.[1] Persoalan ini memang bersifat mondial, tetapi di Asia Selatan dan Tenggara (terlebih Indonesia) fundamentalisme terasa amat krusial. Asia dan Semit adalah dua warisan kultural yang secara mendalam telah membentuk jiwa dan sejarah bangsa ini, bagaikan dua katup dalam jantung kita. Di satu katup kita menghidupi dari spiritualitas dan pemikiran Asia dan di katup lain agama dan dogma semitis (Islam dan Judaisme-Kristiani) mendominasi kehidupan formal. Hal ini bisa merupakan suatu kekayaan, tetapi di lain pihak bisa pula menumbuhkan unsur-unsur yang bertentangan dalam kepribadian kita.[2]
Lebih dari waktu-waktu yang lampau, saat ini dialog dan studi tentang pemikiran Semit dan Asia terasa sangat mendesak. Tantangan dunia modern menuntut bahwa studi dan dialog semacam ini tidak bisa tidak harus merupakan sebuah studi dan dialog kritis. Ini adalah sebuah tugas berat dan barangkali membutuhkan waktu panjang. Karena keterbatasan kompetensi, dalam tulisan ini kami hanya membatasi diri pada tiga pemikiran fundamental Perjanjian Lama yakni: monoteisme, nabi-revelasi-Kitab Suci, dan pemikiran tentang waktu (eskatologi), sambil melihat secara sekilas parallelnya dalam pemikiran Asia.[3] Tanpa mengingkari perbedaan-perbedaan penting yang ada di dalamnya, tiga hal ini nampaknya juga menjadi jantung pemikiran Kristen dan Islam. Kita akan berusaha melihat kontek sejarahnya untuk membaca lebih baik pemikiran- pemikiran ini, dan (tanpa mengingkari perbedaan besar yang ada) melihat kedekataannya dengan jiwa Asia.

1. Monoteisme

Biasanya secara spontan istilah Semit langsung dihubungkan dengan agama-agama monoteis. Iman akan satu Tuhan memang datang dari Judaisme, Kristen dan Islam dan segera yang membedakaanya dengan Asia. Agama-agama ini telah membentuk pemikiran dunia, sehingga iman akan satu Tuhan nampaknya telah diterima sebagai “sebuah kelaziman”. Namun akhir-akhir ini, terlebih dengan meledaknya terorisme, tidak sedikit orang, baik ahli maupun awam, beriman dan tidak beriman mulai mempertanyakan kembali iman ini. Monoteisme kemudian dipandang sebagai sumber yang melahirkan radikalisme dan fundamentalisme. Pada taraf yang paling jauh, beberapa pemikir kristen bahkan mulai berpendapat bahwa iman akan satu Tuhan sebetulnya tidak dapat diterima di tengah dunia yang pluralis.

1.1. Tuhan: Satu atau Banyak?
Kiranya kita perlu hati-hati membedakan secara hitam putih “Semit monoteis” dan “Hindu polyteis”. Sebab, pemikiran hindu mencakup sebuah periode yang panjang, terangkum dalam teks-teks suci dan praktek masyarakat yang tak dapat dikatakan “satu pandangan”. Teks-teks Veda (1.100-600 SM) memang dengan jelas menampilkan sebuah pemahaman Hindu tentang dunia diperintah oleh kuasa di atas manusia, yakni dewa-dewa di kahyangan (di atas) dan asura (di bawah). Mereka masing-masing mewujudkan kekuatan terang dan kegelapan, yang tak jarang bisa saling berlawanan. Menurut tradisi Hindu sebenarnya ada 33 dewa, tetapi dalam perkembangan kemudian tiga dewa yang paling dominan, yakni Brahma sebagai pencipta, Wisnu sebagai pemelihara, dan Shiwa sebagai perusak. Sampai di sini, Hinduisme nampak sebagai politeis. Namun kemudian, di lain pihak, pemikiran spekulatif Hindu yang mencapai puncaknya pada Uphanisad menunjukkan juga sebuah pandangan yang berbeda yang oleh sementara ahli disebut monisme.[4] Uphanishad tidak lagi berbicara pertama-tama tentang dewa-dewa, tetapi tentang individu (atman) dan tentang yang absolut (brahman). Setiap individu adalah bagian dari yang absolut. Namun, hidup manusia pada dasarnya buram karena ketidaktahuan, terpisah dari sumber abadinya, gelap karena hasrat yang terlekat pada dunia. Karena itu hal yang perlu adalah kesadaran yang mengantar individu menyatu dengan brahman. Dalam konteks ini dewa-dewi, kuasa dan manifestasi ilahi, kemudian diserap dibawah “Yang Satu”, “brahman”, prinsip yang memeluk segalanya.[5] Mereka adalah “yang lain” (other), tetapi tidak seluruhnya yang lain.
Dari pemahaman ini, rupanya dalam sejarah Hindu pemahaman tentang politeis ataupun monisme nampaknya tidaklah sederhana dan pandangan-pandangan itu tidak begitu saja dapat disatukan. Monisme nampak terlebih dalam wawasan dogmatis, dan unsur-unsur politeis tetap hadir terlebih dalam kehidupan nyata, yakni dalam kehidupan sehari-hari masyarakat biasa, dalam bhakti, di mana ada banyak kelompok dengan dewa/dewi utama yang berbeda.[6] Namun yang perlu dicatat, rupanya hal itu tidak menjadi sumber pertentangan. Iman akan satu Tuhan dalam monoteisme Semit, sebaliknya tidak jarang dihadirkan tanpa kompromi. Iman monoteis ini memang muncul dalam sejarah dan konteks yang berbeda. Karena itu, sangat penting untuk menelusuri konteks dan sejarah kelahirannya. Jika tidak, pesan mendasar kemunculannya bisa luput kita pahami.

2.2. Sejarah: Dari Monolatri ke Monteisme
Kebanyakan pembaca Kitab Suci Ibrani/Perjanjian Lama biasanya berpikir bahwa Israel sudah sejak awal mula telah memiliki iman monoteis. Namun studi studi literer dan arkeologi, serta dokumen Timur Tengah kuno membantu kita mengerti bahwa akan satu Tuhan ini terbentuk secara perlahan lewat periode yang amat panjang. Banyak ahli dewasa ini mendukung hipotese bahwa monoteisme dalam bentuk kematangannya baru muncul dengan periode pembuangan. Memang jika melihat latar belakang religius, budaya dan politik Timur Tengah pada waktu itu, sebuah kepercayaan hanya kepada satu Tuhan tanpa mengakui keberadaan allah-allah lain, nampaknya belum mungkin pada periode sebelumnya. Israel pada masa kerajaan paling jauh bersifat monolatri. Adalah sebuah kelaziman pada jaman itu, setiap bangsa memiliki allah mereka sendiri, tanpa mengesampingkan kenyataan bahwa bangsa lain memiliki allah mereka sendiri pula.
Studi arkeologis dalam satu setengah abad terakhir ini membantu kita memahami lebih baik bagaimana kurang lebih struktur masyarakat Timur Tengah kuno, termasuk Israel sebelum terbentuk sebagai sebuah bangsa. Masyarakat Timur Tengah kuno biasanya terbentuk dalam suku-suku, suku-suku terdiri dari klan-klan dan klan terdiri dari keluarga-keluarga besar yang lazim disebut ”rumah bapa” (beth ‘ab). Setiap keluarga ini biasanya memiliki allah mereka sendiri (family god), yang diwariskan turun-temurun dari bapak kepada anak-anak. Pada awal pendudukan/masuknya orang-orang Ibrani ke tanah Kanaan dibawah Yosua, nampaknya Yahweh belum menjadi allah seluruh kelompok yang kemudian membentuk Israel. Pada awalnya ia adalah allah dari kelompok tertentu saja. Lalu dari manakah datangnya Yahwe ini?
Beberapa teks Perjanian Lama memberi indikasi bahwa rupanya Yahweh allah yang datang dari selatan Palestina dari Sinai, Seir, Paran, atau Teman (bdk. Kel 33,2; Hak 5,4-5; Ab 3,3-7; Mzm 68,8-9). Jadi Ia datang dari daerah sekitar padang gurun Sinai, datang dari gunung. Yahweh inilah allah yang menyatakan diri kepada Musa di Sinai dan memintanya untuk maju ke hadapan Firaun (bdk. Kel 3,18). [7] Peristiwa ini menjadi awal bagi pembebasan orang-orang Ibrani dari perbudakan Mesir, peristiwa yang kemudian membuat kelompok ini mengakui bahwa “Yahweh lebih besar dari segala allah“ (bdk. Kel 18,10-11). Teks-teks ini memberi indikasi bahwa iman Israel pada awal pembentukan mereka bersifat monolatri. Mereka tidak menyangkal keberadaan allah-allah lain, namun mereka hanya menyembah Yahweh sebagai allah mereka dan memiliki hubungan khusus denganNya. Hubungan itu menemukan bentuk ekpresinya yang lebih penuh dalam konsep perjanjian: “Aku menjadi Allahmu dan kamu menjadi umatKu“ (bdk. Kel 6,6).
Tentang proses masuknya Israel ke Kanaan dan terbentuknya menjadi satu bangsa mamang ada banyak teori yang muncul. Namun hampir semua ahli sejarah Israel kuno sepakat bahwa sebenarnya kelompok yang keluar dari Mesir hanyalah bagian kecil dari suku-suku yang kemudian membentuk bangsa Israel sebagai sebuah kerajaan. Maka penting di sini mengamati proses intern yang dilakukan untuk menyatukan suku-suku ke dalam satu bangsa. Yang terjadi adalah usaha menyatukan suku-suku itu di bawah satu allah. Politik integrasi ini nampak misalnya dalam penyatuan berbagai bentuk ibadah kepada El dengan ibadah kepada Yahweh. Di kebanyakan suku palestina pada waktu itu El telah dikenal sebagai allah tertinggi, pencipta, abadi, penyembuh dan sumber kebijaksanaan. Yang terjadi kemudian adalah proses atribusi. Karakter-karakter yang dimiliki oleh El pelan-pelan dikenakan kepada Yahweh. Yahweh misalnya kemudian disebut ’El Elyon’, Tuhan yang mahatinggi (bdk. Gen 14,18-20), “El Elyon, pencipta langit dan bumi“ (Mzm 7,18; 9,3; 21,8; dsb.) yang sebelumnya adalah atribut milik El. Proses atribusi ini, perlu kita catat, terjadi amat pelan dan dalam waktu yang lama, dan alam politeis dunia sekitar Israel sedikit banyak mempengaruhi bagaimana Israel menghadirkan yang ilahi. Kita bisa mengutip beberapa teks yang memberikan indikasi kenyataan ini. Dalam Mzm 82 misalnya dikatakan “Allah berdiri dalam sidang ilahi, di antara para allah Ia menghakimi“ (ay.1; lih juga Mzm 89,6-8; Ayub 1,6). Teks-teks ini menghadirkan Yahweh, Allah Israel, sebagai bagian dari para allah, semacam panteon, tentu saja dengan menggarisbawahi bahwa Ia menempati posisi tertinggi.
Teks-teks Perjanjian Lama juga memberi indikasi bahwa setiap bangsa memiliki allah mereka sendiri-sendiri, “allah nasional“ (bdk. Kel 32,8; Mi 4,5; dst.). Stela (tugu) dari Moab dari pertengahan abad IX S.M, misalnya memberikan informasi lumayan jelas bahwa Israel memiliki Yahweh sebagai allah nasional mereka, sedangkan Moab memiliki Kamosh. Karena itu monolatri di Israel juga merupakan proses yang juga tidak mudah. Hal ini disebabkan pertama-tama karena Israel hidup ditengah bangsa-bangsa sekitarnya yang juga memiliki allah-allah yang berbeda. Dalam konteks itu para nabi Israel memiliki peranan besar dalam menjaga perjanjian. Sebuah contoh penting adalah “pertarungan” antara Yahweh dengan Baal dalam lingkaran Elia dalam kitab Raja-raja (1Raj 17-21). Pernikahan antara Ahab dengan Izebel, anak Itobaal, Raja Sidon membawa konsekuensi bahwa Israel harus memberi tempat pada ibadah kepada Baal, allah nasional Sidon. Persoalan menjadi sulit justru karena baik Baal maupun Yahweh sama-sama dikenal sebagai allah badai dan hujan. Kita ketahui hujan begitu vital bagi Israel dan bangsa-bangsa sekitarnya dengan tanah mereka yang tandus. Ibadah kepada Baal tentu saja kemudian menjadi godaan dan ancaman bagi ibadah pada Yahweh. Jadi tantangan Elia di gunung Karmel pada umat Israel, masih dalam konteks monoltri ini dan tidak lain bertujuan untuk menunjukkan ’siapa sebenarnya allah Israel’ (bdk. 1Raj 18,36.39).
Pembaharuan yang dilakukan oleh beberapa raja Yehuda, antara lain yang Yehezkia (727-699 SM) dan Yosia (SM) juga dalam konteks itu masih dalam konteks itu. Yehezkia, misalnya memperkuat kesatuan ibadah kepada Yahweh di bait Allah di Yerusalem, antara lain lewat ziarah ke Yerusalem (bdk. Yes 2,2-3). Dengan cara itu ia berusaha menyatukan seluruh bangsa dengan memperkuat identitas mereka sebagai “umat Yahweh“.
Peristiwa pembuangan ke Babilonia adalah peristiwa fundamental dalam sejarah Israel. Pada tahun 598 SM Yerusalem dikepung, dan sebagian penduduknya, terutama orang-orang penting dan kaum intelektual mengalami pembuangan. Sekitar 10 tahun kemudian (587-586 SM) dalam pengepungan kedua, Yerusalem dibakar dan Bait Allah dihancurkan, serta diikuti pembuangan kedua. Secara resmi Yehuda sebagai sebuah kerajaan berakhir. Israel sebagai bangsa mengalami krisis yang paling dalam. Namun justru dalam titik terendah itu, Israel secara paradoksal mengalami sebuah “pencapaian tertinggi“ dalam sejarah mereka. Sebab, di pembuanganlah Israel sampai pada pemahaman akan monoteisme. Bagaimana hal ini dapat dijelaskan?
Tradisi yang lebih tua dari imperium-imperium Timur Tengah kuno pada masa itu rupanya sudah mulai mengenal allah-allah sebagai “penguasa universal“. Mesir, misalnya mengenal Aton, Amun-Re atau Seth, Assiria memiliki Ninurta dan Ashur, sementara Babilonia Marduk. Nampaknya penguasa-penguasa universal ini pertama-tama adalah sebuah ekspresi dari kekaisaran-kekaisaran ekspansionis.[8] Sebab, kemenangan sebuah negara atas negara atas negara lain diartikan pula sebagai kemenangan allah mereka atas allah bangsa itu. Maka semakin luas daerah kekuasaan sebuah imperium, menunjukkan semakin besarnya kuasa allah mereka. Apa yang terjadi di tengah-tengah bangsa Israel di pembungan adalah sangat paradoksal. Di tengah kekalahan bangsa mereka itu, nabi-nabi dan para penulis Israel menemukan sebuah iman yang amat berbeda. Para jenius Israel ini membaca tercabutnya mereka dari tanah terjanji bukan sebagai akhir dari semuanya. Sebaliknya, sambil menyerukan pertobatan, para nabi Israel ini melihat harapan bagi Israel dalam situasi krisis yang dalam itu. Yahweh tetap setia pada mereka. Sebab, walau mereka ada di tanah pembuangan, Yahwe tetap hadir di situ bersama mereka. Hal itu menunjukkan bahwa Ia memiliki kuasa juga luar batas-batas Israel. Mereka tidak membaca peristiwa pembuangan sebagai kekalahan Yahweh atas allah-allah Babilonia, sebaliknya mereka justru menemukan Yahweh allah yang mampu hadir di mana-mana.
Jadi secara paradoksal dalam situasi krisis itu, dengan meminjam gambaran mengenai imperium-imperium raksasa tersebut, Israel mengenal kuasa universal Yahweh. Israel membaca ulang sejarah, terutama Exodus dan menemukan Yahweh dengan cara yang amat berbeda. Ia tidak lagi hanya milik mereka, bangsa lain juga perlu mengenal dia sebagai satu-satunya “Tuhan yang benar”, yakni Tuhan sebagai pembebas. Ungkapan-ungkapan yang paling jelas akan keyakinan baru ini dapat kita ketemukan dalam Deutero-Yesaya yang kemungkinan besar ditulis di tanah pembuangan. “Sebelum Aku tidak ada Allah dibentuk, dan sesudah Aku tidak akan ada lagi” Aku, Akulah Tuhan dan tidak ada juruselamat selain dari pada-Ku” (Yes 43,10-11; bdk. 44,6.8; 45,18). Dan Tuhan yang satu ini memiliki kuasa universal, seperti ditegaskannya: “Akulah Tuhan dan tidak ada yang lain; kecuali Aku tidak ada Allah. Aku telah mempersenjatai engkau, sekalipun engkau tidak mengenal Aku, supaya orang tahu dari terbitnya matahari sampai terbenamnya, bahwa tidak ada yang lain di luar Aku. Akulah Tuhan dan tidak ada yang lain” (Yes 45,5,6.lih. 45,12. 21-22).

1.3. Refleksi: Tuhan dan Pembebasan
Ada banyak hal yang bisa dibahasa tentang politeisme Asia dan monoteisme Semit dan tak dapat disangkal ada perbedaan penting antara pemikiran Asia dan Semit tentang yang ilahi. Namun demikian, dengan cara yang berbeda pada titik terdalam baik Asia maupun monoteis, sama-sama berbicara tentang “kesatuan” (oneness). Dalam Hinduisme, hal itu mungkin paling jelas terungkap dalam pemikiran monis Upanishad ketika berbicara tentang kesatuan segala sesuatu pada Brahman. Bahkan dalam konteks politeisme-pun tetap ada gagasan tentang kesatuan. Sebab, para dewa dalam keyakinan Hindu adalah imanen, dekat dan dalam harmoni dengan manusia dan alam.
Nampak ironis bahwa tak jarang monoteisme lebih menjadi sumber yang memisahkan daripada menyatukan. Untuk itu mungkin orang perlu menyadari kembali bahwa teks-teks monoteis Israel pertama-tama merupakan teks-teks yang bertujuan “ke dalam”. Teks-teks ini bertujuan pertama-tama meneguhkan pada Israel ketika iman mereka akan Yahweh mengalami ujian yang amat berat. Teks-teks tersebut bukanlah pertama-tama “senjata untuk penaklukkan atau pemaksakan”. Jika iman ini pun kemudian diwartakan, hal itu harus dilakukan dengan mengikuti logika yang sama, yakni dengan cara bagaimana Yahweh memperkenalkan diri kepada Israel, yakni sebagai Tuhan yang membebaskan. Inilah konteks lahir monoteisme, yang dapat dikatakan ketika pertama kali muncul sebagai sebuah “monoteisme dari bawah”. Iman itu lahir sebagai keyakinan sebuah bangsa yang tertindas. Yahweh, penguasa universal bukanlah pertama-tama dikaitkan dengan dimensi politik-militer, melainkan dengan keadilan moral, Tuhan pembebas dan bukan Tuhan penakluk.[9] Ia adalah Tuhan orang miskin, Allah orang tertindas, Tuhan dari sebuah tradisi panjang sebuah bangsa yang dibebaskan dari Mesir. Maka monoteisme dalam arti sessungguhnya sama sekali jauh dari domansi imperialistik dan ekspansif, melainkan pada inti terdalam adalah belaskasih bagi semua.

2. Nabi, Revelasi dan Kitab Suci

“Menurut Kitab Suci” atau “menurut Sabda Tuhan” adalah ungkapan yang paling dipakai sebagai dasar kaum fundamentalis dari ketiga agama semit untuk membenarkan segala tindakan mereka. Asia juga memiliki Kitab Suci mereka, tetapi pernyataan semacam ini kiranya tidak kita temukan. Apa artinya Kitab Suci? Apa artinya “Sabda Tuhan”? Dan mengapa mereka memiliki otoritas begitu mutlak dalam pemikiran Semit?

2.1. Kitab Suci: Sabda Tuhan atau kata-kata manusia?
Kenabian pernah sering dianggap sebagai salah satu unsur asli bangsa Israel kuno, sebagaimana diungkapkan Renan sampai akhir abad 19: “Ciri khusus Israel mulai dengan para nabi…. Dengan para nabi Israel menduduki suatu tempat tertentu dalam sejarah dunia”. Tetapi penemuan-penemuan teks-tesks kuno, terutama dari Mari membuat para ahli melihat kenabian di Israel bukan lagi sebagai fenomen terpisah, melainkan sebagai fenomen umum dunia Timur Tengah kuno, yakni bahwa ada orang-orang tertentu (terinspirasi) yang menyampaikan sabda atas nama allah mereka. Memang ada kesamaan mendasar kenabian di Mari dengan teks-teks biblis, misalnya menyangkut rumusan “Tuhan mengutus saya untuk …”. Hal itu menunjukkan kesadaran nabi-nabi tersebut sebagai utusan Tuhan (bdk. Kel 7,16; Yes 6,8; Yer 16,12).[10] Seperti telah dikatakan di atas, allah masing-masing bangsa/suku/klan dalam dunia Timur Tengah kuno memang memiliki peranan sentral. Jadi bisa dipahami, jika apa yang dikatakan sebagai “sabda allah”, akan memiliki otoritas besar, bahkan semacam memiliki daya tertentu. Hal ini juga berlaku bagi Israel. Musa dalam kitab Ulangan, misalnya mengingatkan umat agar jangan berpikir bahwa Sabda Yahweh adalah kosong (bdk. Ul 32,47). Ketika kata-kata kenabian itu ditulis dan dibukukan, tulisan-tulisan itu dipandang memiliki daya ikat mutlak, karena merupakan Sabda (inspirasi) Tuhan. Di sinilah Semit dan Asia rupanya amat berbeda.
Buku-buku kuno bangsa Cina misalnya tidak pernah dinyatakan sebagai suatu inspirasi sebagaimana dalam pengertian agama-agama Semit. Sejarawan, sastrawan, dan yang lain menulis buku-buku itu sebagaimana mereka digerakkan dalam akal mereka. Benar bahwa mereka mempunyai kesamaan semangat untuk membaharui manusia dan membaharui dunia, dilandasi kebenaran dan juga didasari oleh kesadaran akan misi tertentu. Namun penulis-penulis seperti Konfusius, Mencius, dan Mo-tzu misalnya, mereka tidak dicirikan sebagaimana para nabi Israel, dalam arti sadar akan inspirasi ilahi, untuk membawakan apa yang telah diwahyukan Tuhan pada mereka.[11]
Kebanyakan agama India memang mengakui beberapa tulisan suci sebagai autoritatif, yang diyakini diyakini bukan sekedar karya manusia, melainkan berasal dari sumber ‘dari atas’. Namun, mereka tidak pernah mengklaim adanya revelasi pada suatu peristiwa dan saat partikular dalam sejarah dalam mana yang ilahi menyatakan dirinya pada orang tertentu.[12] Teofani yang dilukiskan dalam Baghawat Gita, misalnya tidak perlu dipahami sebagai sesuatu yang memang terjadi dalam sejarah,[13] sebagai tradisi Israel memahami revelasi Yahweh di Sinai atau tradisi Islam mengerti laylatul qadar, pewahyuan Qur’an pada Muhammad.
Jadi Semit dan Asia nampaknya memandang Kitab Suci mereka masing-masing dengan cara yang berbeda. Dalam tradisi Semit, di satu pihak, karena diyakini Sabda Tuhan, Kitab Suci memang memiliki otoritas besar, tetapi dilainkan pihak memiliki bahaya besar untuk disalahgunakan dan melahirkan fundamentalisme. Hal yang sering dilupakan, berbeda dengan kitab-kitab Asia, dalam kitab-kitab suci Semit justru karena dimensi “historis”[14] merupakan karakter mendasarnya, studi kritis (literer dan historis) adalah tuntutan esensial pula.

2.2. Sejarah: Bagaimana (Mengapa) Kitab Suci Lahir?
“Bagaimana Kitab Suci lahir” adalah sebuah pertanyaan yang krusial, tetapi merupakan persoalan penting yang harus digarap secara kiritis untuk memahami Kitab Suci dengan lebih tepat.[15] Torah misalnya, biasanya dipercaya begitu saja bahwa Kitab-Kitab ini ditulis oleh Musa dan diturunkan kepadanya di Sinai. Tetapi kekompleks-an yang ada di dalamnya tidak bisa tidak membuat kita menyetujui bahwa ini adalah kumpulan buku dan tidak mungkin berasal hanya dari satu tangan saja. Ia mengandaikan bahwa kumpulan buku ini terbentuk dalam masa yang panjang dan dengan proses yang kompleks pula. Masa pembuangan Babilonia, yang merupakan periode vital dalam sejarah Israel, rupanya juga merupakan masa krusial berkaitan dengan “lahirnya” Kitab Suci Ibrani. Tentunya tradisi-tradisi tertulis baik hukum, bagian-bagian fundamental dari Torah, kronik kerajaan, maupun tulisan kebijaksaan kuno telah ada sebelum masa pembuangan.[16] Namun para ahli kebanyakan ahli sepakat bahwa kiranya kita tidak bisa berbicara tentang sebuah “Torah lengkap” pada masa itu. Torah dalam bentuk utuhnya kemungkinan baru terjadi pada jaman sekitar Pembuangan. Usaha mengumpulan, menyatukan dan meredaksi tradisi-tradisi tersebar ini lahir dari usaha mendifinisikan kembali dasar-dasar identitas mereka. Israel di pembuangan sadar membaca diri mereka tidak bisa lagi sebagai realitas politis, tetapi terlebih sebagai komunitas etnis dan religius.[17]
Dalam konteks inilah Torah dan tulisan-tulisan suci itu muncul dalam bentuknya yang semakin utuh.[18] Jadi Torah kemudian menjadi portable homeland, “identitas” yang bisa dibawa ke mana-mana, karena dapat dibaca dan dilakukan baik mereka yang tetap tinggal di tanah Palestina maupun keturunan mereka yang di diaspora. Jadi, krisis akibat pembuangan di Babilonia itu tidak mengakhiri keberadaan mereka, sebaliknya secara paradoksal justru melahirkan judaisme dengan Taurat sebagai identitas mereka. Kumpulan-kumpulan kebijaksaan kuno memiliki makna yang baru dan tulisan-tulisan para nabi yang sebelumnya tidak banyak mendapat tempat, kemudian menunjukkan otoritas yang semakin menentukan.

2.3. Refleksi: membangun relasi dan membawa berkat
Kenabian kemudian tak dapat disangkal menjadi salah sumbangan terpenting dunia Semit (Judaisme, kristen dan Islam) dalam dunia modern. Tak dapat dibantah, Kitab-Kitab Suci Semit adalah buku memiliki otoritas paling besar dalam sejarah manusia sampai sekarang ini. Namun keyakinan bahwa Kitab Suci adalah Sabda Tuhan tak jarang juga membawa unsur pemaksaan. Karenanya penting melihat kembali apa makna sebenarnya fenomen kenabian. Jika kita telusuri dengan baik, nabi-nabi Perjanjian Lama nampaknya berpusat pada tradisi yahwis umat. Pertama-tama mereka adalah jurubicara Allah, penyampai sabda, berbicara tentang masa depan, tetapi juga pendoa bagi umat dan penyampai warta pertobatan. Dengan itu nabi membantu umat untuk setia dan membangun hubungan yang benar dengan Yahweh sesuai perjanjian. Perjanjian ini adalah kunci untuk menafsirkan sejarah mereka, juga sejarah “post-biblis”. Maka ketika kata-kata kenabian itu menjadi tulisan, jantung Kitab Suci tetaplah sama, yakni bertujuan membangun relasi, memperteguh perjanjian. Dan perjanjian bertujuan tidak lain untuk membawa berkat bagi dunia.
Karena cirinya yang berbeda dari Kitab-kitab Suci Semit, Kitab-Kitab keagamaan Asia, rupanya kurang menjadi “sumber problem”, misalnya menjadi alasan untuk melakukan teror. Kitab-Kitab Suci, Semit secara mendasar terkait dengan dimensi historis. Sabda Tuhan jatuh lewat pribadi, peristiwa, jaman dan konteks tertentu. Namun ketika menjadi tulisan, Sabda itu menjadi independen, artinya mampu menjangkau bukan saja orang-orang penerima langsung, tetapi siapa saja dari generasi yang jauh kemudian dan di tempat-tempat yang berbeda.[19] Tentu daya ini menjadi berkat besar bagi manusia, karena warta kebaikan bisa menjangkau segala bangsa dan segala zaman. Namun, ke-indipenden-an ini, tak jarang juga mengandung bahaya, karena Kitab Suci lalu bisa “dikuasi” oleh pembaca, ditafsirkan menurut kecondongan mereka. Maka studi kritis adalah sebuah keharusan. Ini tidaklah berarti menyangkal validitas revelasi, tetapi menyadari bahwa rivelasi Tuhan itu terjadi dalam sejarah, dalam peristiwa manusia; Allah berbicara lewat mitos, cerita, puisi, kritik kenabian, kronik sejarah, dan bahkan kata-kata kebijaksanaan manusia dalam konteks sejarah dan dunia tertentu. Semuanya harus dibaca secara cermat untuk menemukan pesan yang sebenarnya. Semit memang telah menyumbang bagaimana membaca Kitab Suci dengan keseriusan, tetapi membutuhkan pula kekritisan, pemahaman yang lebih tepat tentang hakekat Kitab Suci dan kekompleks-an yang ada di dalamnya.

3. Sejarah dan Eskatologi

Problem fundamental ketiga dalam pertemuan Semit dan Asia adalah pandangan tentang waktu/sejarah. Secara hitam putih biasanya dikatakan bahwa Asia memandang waktu sebagai sirkular, sementara Semit linear. Pandangan Semit tentang waktu tak dapat disangkal telah merevolusi kehidupan manusia/dunia, tetapi di lain pihak, seperti yang akan kita lihat - melahirkan problem-problem yang amat besar pula.

3.1. Waktu: Sirkular atau Linear?
Mengapa sirkular dan linear? Pemikiran sirkular Asia rupanya lahir pertama-tama dari pembacaan terhadap ritme alam. Pergantian siang dan malam, musim panas dan dingin dan proses alam yang lain mengajarkan bahwa tidak ada awal dan tidak ada akhir dalam dunia, bahwa setiap kehancuran selalu diikui pula oleh suatu permulaan baru. Karena itu waktu dalam pemikiran Hindu adalah sirkular, berputar tiada henti, tidak ada awal dan akhir. Dalam level filosofis, setiap umur kosmis (kalpa) dipikirkan bertautan dengan rentang hidup dari penciptaan sampai desolusi, yang sama panjangnya dengan “satu hari Brahma”. Setelah disolusi besar, dunia disatukan dengan Brahma lewat involusi (malam Brahma) sampai kelahiran kembali. Demikian proses ini (karma) melahirkan suatu rangkaian kelahiran kembali dan sejarah menjadi sebuah “roda penderitaan” – yang menyebabkan manusia harus berusaha mencapai imortalitas dan keabadian. Maka “eskatologi” bagi setiap individu berarti pembebasan dari lingkaran penderitaaan, roda kematian dan kelahiran kembali yang tak pernah berakhir itu. Hal itu dirumuskan dalam istilah moksa dalam Hinduisme dan nirvana dalam pemikiran Buddhisme.
Judeo-kristen (dan Islam) memandang waktu sebaliknya sebagai linear, sebagai sebuah sejarah dengan awal dan akhir. Secara mendasar, gagasan ini memang berkaitan dengan pandangan Semit tentang Tuhan. Yang pertama, Tuhan Israel adalah “allah pribadi” dan yang kedua adalah “Allah yang menyejarah”. Tentang kedua ciri mendasar ini, Heschel mengutip Paschal, menjelaskannya dengan mengatakan: “Istilah Tuhan Abraham, Ishak, dan Yakob (Tuhan Israel) tidak bisa dimengerti seperti Tuhan-nya Kant, Hegel atau Schelling.” Israel mewarisi Yahweh, Tuhan Abraham, Ishak dan Yakub bukan sebagi prinsip-prinsip untuk dipahami, melainkan Tuhan pribadi yang hidup, bergulat dalam keseharian dan bahkan dan membuat perjanjian dengan mereka masuk di dalam waktu. “Time is eternity broken in space” kata Heschel.[20] Waktu (sejarah) adalah keabadian yang memecah dalam ruang, sehingga dunia ini berasal dari keabadian dan dalam perjalanan yang pasti untuk kembali keabadian. Tuhan menciptakan dunia dan menyatakan dirinya dalam suatu sejarah yang tak terulang. Setiap peristiwa adalah unik karena terjadi sekali, dan semua berjalan menuju kepenuhannya di akhir jaman.
Hans Küng dengan tak ragu memandang hal ini sebagai salah satu point yang paling membedakan antara keyakinan India dengan iman Judaisme, Kristen dan Islam.[21] Namun, lanjut Küng, berkaitan dengan pandangan waktu linear ini, agama-agama semit menjadi fanatik terutama ketika berkaitan dengan akhir dunia.[22] Küng sangat beralasan, sebab, dalam pandangan waktu linear ini - gagasan tentang yang baik dan jahat serta tentang retribusi (pembalasan) memainkan peranan sentral. Pada akhir jaman, sejarah akan direkapitulasi dan Tuhan akan hadir sebagai hakim pada hari kebangkitan (kiamat) untuk mengadili kebaikan dan kejahatan. Di timur, sebaliknya gagasan tentang “jahat” tidak pernah memainkan peranan sentral di dalamnya. Yang ada adalah antara baik dan kurang baik.[23] Jika ada gagasan mengenai restribusipun hal itu rupanya lebih sebagai cara pendidikan moral.[24] Suatu polaritas yang tajam antara baik dan jahat rupanya tidak pernah terjadi dalam pemikiran India, karena itu tidak begitu melahirkan fanatisme. Polarisme ini sebaliknya itu amat jelas dalam pemikiran Semit. Karena hidup hanya satu kali, agama-agama Semit – merasa memiliki misi kuat untuk menghancurkan kejahatan dan menyelamatkan manusia, dan tak jarang dengan mengorbankan prinsip harmoni dan cinta kasih. Lalu, dapatkah kemudian Semit dan Asia bertemu?

3.2. Sejarah: Penderitaan dan Apokaliptik
Problem apakah sudah sejak awal Israel kuno sadar akan sebuah sejarah yang linear telah menjadi bahan studi panjang para ahli. Kebanyakan berkeyakinan bahwa pandangan orang Israel kuno tentang waktu pertama-tama juga sirkular. Pandangan waktu linear rupanya juga terbentuk lewat proses yang panjang. Hal itu dapat dilacak dalam teks-teks awali tentang gagasan mengenai retribusi yang nampaknya lumayan yang dominan. Berkah akan diberikan pada orang benar dan hukuman pada orang jahat. Namun berkah dan hukuman itu terutama dihubungan dengan hidup di dunia ini (bdk Keb 3,5-8; 20,2f; 22-25; Yes 10,1-4.18-31; Hos 6,1-6; Mik 2,1-13; dsb.).[25] Hidup sesudah mati kebanyakan masih merupakan misteri bagi Israel kuno dan paling jauh adalah pandangan tentang sheol (bdk. Pkh 9,10; Mzm 6,5; 115,17; Yes 38,18; dsb). Gagasan mengenai akhir jaman dan paham tentang kebangkitan badan nampaknya “masih di atas awan”. Gagasan ini baru muncul lebih kemudian secara perlahan-lahan lewat pelbagai peristiwa penting dalam sejarah Israel, dan terutama dalam konteks penderitaan yang ekstrim.
Kata “kiamat” yang kita miliki berasal dari tradisi Islam (bahasa Arab) “yaum qiyamah”. “Yaum” berarti “hari” (Ibrani: Yom) dan “Qiyamah” berarti “kebangkitan” (Ibrani: kata kerja qum= bangkit). Ungkapan ini dipakai untuk mengungkapkan gagasan tentang Tuhan yang bangkit di akhir jaman, sebagai hakim untuk mengadili dunia. Pemikiran tentang Tuhan bangkit sebagai hakim barangkali dirintis oleh para nabi dalam konteks penindasan dan penghukuman. Menraik bahwa mereka berangkat dari gagasan tentang “Hari Tuhan” yang bagi orang Israel kuno sebenarnya adalah hari-hari festa, dan merupakan saat-saat yang dinantikan. Namun Amos menggunakan ungkapan itu dengan maksud yang berbeda, bahkan dapat dikatakan berlawanan. Sang nabi menggunakan ungkapan ini dalam konteks penghukuman, ketika ia menyaksikan ketidakadilan dan penindasan yang luarbiasa terhadap orang kecil. Sang nabi berseru bahwa hari Yahwe akan menjadi bagi para penindas itu bukan lagi hari festa, melainkan hari penghakiman bagi mereka (bdk. Amos 5,18-27).
Gagasan akan Tuhan sebagai hakim yang adil nampak semakin kuat dalam kitab-kitab Kebijaksanaan (misalnya Mazmur, Deutero-Yesaya, Ayub) dan tulisan-tulisan apokaliptis awal, dipicu oleh problem besar “orang benar yang menderita”. Tulisan-tulisan apokaliptis paling awal dari Joel (sekitar abad V-IV SM), misalnya mengangkat kembali gagasan tentang “hari Tuhan” pertama-tama untuk mewartakan pertobatan (Joel 1,15; 2,1.11; 3,1-5; 4,13-17.18.21) dan berita pembalasan atas musuh-musuh Israel. Namun perlu dicatat, walau menghadapi penderitaan, semua Kitab-Kitab ini menyatakan bahwa hukuman atas kejahatan selalu di tangan Tuhan.
Gagasan tentang akhir jaman tak dapat disangkal semakin matang dengan lahirnya kitab/teks-teks apokaliptis dalam periode Hellenisme. Keadaan politik Palestina yang lumayan tenang dibawah dinasti Tolomeus (323-200 SM) berubah besar ketika kekuasaan jatuh ke tangan Seleukus (200-175 SM) dan terlebih Antiokus Epifanes (175-163). Penderitaan luarbiasa orang-orang Yahudi dapat kita baca paling jelas dalam Kitab Makabe. Dalam konteks penderitaan yang amat berat itulah teks-teks apokaliptis seperti Yes 34-35; 62,1-6; 24-27; Yeh 38-39; Zak 9-14 dan Kitab Daniel lahir. Maksud penulis apokaliptis itu hanya memiliki satu tujuan yakni menguatkan saudara-saudara mereka agar harapan mereka tetap hidup, harapan akan kesetiaan Tuhan pada ciptaanNya di tengah-tengah teror dan penderitaan yang amat berat. Mereka meneguhkan iman agar mampu menanggung penderitaan itu dengan penuh kesabaran, sambil berharap akan kebangkitan.

3.3. Refleksi: harapan akan pemenuhan
Pandangan mengenai sirkular atau linear barangkali tidak dapat secara sederhana dipersatukan. Pandangan sirkular Asia rupanya lahir pertama-tama dari pengamatan terhadap alam, sementara pandangan linear Semit nampaknya lebih terbentuk dari pergulatan dengan peristiwa. Namun pada titik terdalam sekali lagi keduanya menyentuh hal yang sama dan problem terdalam manusia, yakni penderitaan. Di Asia, orang bergulat dengan waktu sebagai perputaran penderitaan dan melahirkan pandangan tentang moksa dan nirvana, sementara pengalaman Semit akan peristiwa ektrim penderitaan/sejarah pahit penindasan melahirkan dalam bumi mereka harapan akan akhir jaman. Jadi iman akan kebangkitan dalam dunia Semit pertama-tama lahir dari konteks itu; lahir dari harapan akan Tuhan yang adil yang di akhir jaman akan bangkit menghakimi akan menjadi hakim bagi segala mahkluk. Maka, sebenarnya iman ini lahir dari visi yang kuat akan keadilan, yang tidak membiarkan orang jahat dan orang benar mengalami nasib yang sama. Maka ironis jika pandangan tentang eskatologi ini, akhir-akhir ini justru menjadi sumber teror. Jelas terorisme ini tidak lahir dari pandangan eskatologis biblis (Semit) yang lahir pengalaman akan penderitaan dan kelaparan. Sebaliknya terorisme itu rupanya justru berasal dari kawasan yang kaya di Timur Tengah. Aksi-aksi itu lahir dari sebuah penafsiran akan akhir jaman yang sama sekali tidak dapat dipertanggungjawabkan, yang lahir ketidaksabaran dan berbuah kekerasan. Iman eskatologis biblis sebaliknya melahirkan ketahanan dan pengharapan di tengah situasi penderitaan dan kejahatan di dunia, berjuang sekuat tenaga demi kebaikan menuju kepenuhannya. Dalam iman ini, penghakiman ini tidaklah pernah ada di tangan manusia, melainkan di tangan Tuhan yang Mahaadil pada akhir jaman nanti.

Penutup
Arnold Toynbee pernah berkata bahwa agama-agama India sekalipun kurang heroik, tetapi tidak terlampau kejam ketimbang agama-agama yang berasal dari kawasan budaya Semitik (seperti Yudaisme, Kristen dan Islam) yang telah membantu mengembangkan fanatisme.[26] Pendapat Toynbee ini barangkali dapat dibenarkan. Namun pembacaan kritis sebetulnya akan membuat kita mengenal tradisi Semit dalam wajah sebenarnya yang jauh lebih ramah. Dari sini, Semit dan Asia sebetulnya bertautan sangat kuat, karena menyentuh problem dasar manusia dengan cara dan sumbangannya masing-masing. Daerah subur dan hijau mungkin telah telah membantu melahirkan di Asia pandangan yang kuat tentang harmoni, sementara padang gurun yang keras dan tandus telah menamkan pada jiwa Semit pandangan-pandangan yang radikal. Kita tidak hendak menilai manakah yang lebih baik. Mungkin manusia membutuhkan keduanya, bagaikan dua katup pada jantung. Semit mungkin menyumbang pada manusia bagaimana menghayati hidup dengan pilihan-pilihan radikal. Asia di lain pihak, menyumbang bagaimana menghayati hidup dalam harmoni dengan orang lain dengan penghormatan yang tinggi. Keduanya dapat saling belajar saling membantu mengenal dengan lebih baik kekayaaan tradisinya masing-masing bagi kemajuan kemanusiaan. Indonesia bersama beberapa negara Asia selatan-tenggara bisa menjadi tempat pertempuran “dua kubu” ini, tetapi juga bisa menjadi tempat sintesis, kedua katup jantung ini bekerja bersama secara harmonis.

Ignasius Budiono, O.Carm.



BIBLIOGRAFI

Becking, B. - Dijkstra, M., et al., Only One God? Monotheism in Ancient Israel and the Veneration of the Goddess Asherah (Sheffield 2001).
Baccari, L., La rivelazione nelle religioni (Roma 1996).
Bottéro, J., The birth of God. The Bible and the historian (University Park, PA 2000).
Coggins, R. – Phillips, A. – Knibb, M., eds., Israel's prophetic tradition. Essays in honour of Peter R. Ackroyd (Cambridge 1982).
Coward, H., (ed.), Experiencing Scripture in World Religions (Maryknoll, NY 2000).
Dhavamony, M., World Religions in the History of Salvation (Quincy, IL 2004).
Elliade, M., The Myth of Eternal Return. Or, Cosmos and History (Princeton, NJ 1974).
Gnuse, R.K., No other Gods. Emergent monotheism in Israel (Sheffield 1997).
Heschel, A.J., Man is not Alone (New York 121999).
Küng, H., Christianity and the world religions. Paths of dialogue with Islam, Hinduism, and Buddhism (London 1987).
________, Christianesimo. Essenza e storia (Milano 1997).
Lemaire, A., La nascita del monoteismo (Brescia 2005).
__________, Le scuole e la formazione della Bibbia nell’Israele antico (Brescia 1981).
Nardoni, E., Rise Up, O Judge (Peabody, MA 2004).
Pierre, B., “La redazione della Bibbia in epoca persiana”, Il Mondo della Bibbia 66/1 (2003) 15-17.
von Rad, G., Old Testament Theology, vol. 2 (London 71998).
Römer, T., “L’esilio a Babilonia. Crogiolo del monoteismo”, Il Mondo della Bibbia 47/2 (1999) 33-35.
Toynbee, A., Christianity among the Religions of the World (Oxford 1957).
Rowley, H.H., Prophecy and religion in Ancient China and Israel (London 1956).
Zwiwerblowsky, R.J., “Polytheism”, The Encyclopedia of Religion, Vol 11, M. Eliade (ed.) 435-439.
















[1] Istilah “Semit” dikenalkan A.C. Schlözer baru pada tahun 1781 dan diambil dari salah satu nama anak Abraham: Ham, Sem dan Yafet. Istilah ini sebenarnya lebih mengacu pada rumpun bahasa, yakni Ibrani, Aram, Arab dan bahasa-bahas semit lain. Walaupun secara geografis Negara-negara asal budaya Semit termasuk wilayah benua Asia, namun dalam pemikiran umum biasanya dibedakan dengan Asia Selatan dan Timur yang melahirkan spiritualitas/pemikiran Timur (Hinduisme, Budhisme, Konfusianisme, dsb.).
[2] Dalam satu dekade terakhir ini sudah tak terhitung kekerasan yang muncul di negara-negara Asia karena motif agama. Tak jarang lalu muncul pertanyaaan: Bagaimana orang suka damai berubah menjadi brutal dan tidak toleran?
[3] Penilaian yang lebih seimbang mungkin dapat dilakukan oleh mereka yang memiliki latar belakang ilmu tentang perbandingan agama.
[4] Suatu pandangan yang memandang segala sesuatu sebagai kesatuan.
[5] Bdk. R.J. Zwiwerblowsky, “Polytheism”.436.
[6] Bdk. R.J. Zwiwerblowsky, “Polytheism”, 439.
[7] Beberapa ahli berpendapat bahwa adoposi Yahweh sebagai allah mereka merupakan akibat dari pernikahan Musa dengan anak peremupuan dari seorang imam Median (Yitro)
[8] Bdk. R.K. Gnuse, No other Gods, 260
[9] Bdk. R.K. Gnuse, No other Gods, 260.
[10] Kata-kata kenabian itu diawali dengan rumusan: “demikian sabda …allah ini atau allah itu”. Bdk. A. Lemaire, La nascita del monoteismo, 82.
[11] Bdk. H.H. Rowley, Prophecy and religion in Ancient China and Israel, 5, 121ff, 142f.
[12] Revelasi dalam keyakinan India: lebih merupakan “what is latent in man”, tidak terikat pada waktu dan tidak terbatas pada orang tertentu dalam sejarah.
[13] Tulisan suci ini biasanya disebut sruti, artinya: apa yang terdengar. Karena itu, walaupun pemahaman dan penafsiran bukan tidak penting, menarik bahwa tekanan pertama-tama adalah pada pengucapan yang tepat. Bdk. Anantanand Rambachan, “Hinduism”, dalam H. Coward (ed.), Experiencing Scripture in World Religions, 102.
[14] Dengan historis di sini tidak dimaksudkan bahwa apa saja yang tertulis dalam Kitab suci terjadi seperti apa yang tertulis, melainkan pertama-tama bahwa teks-teks dalam Kitab Suci lahir dalam dalam konteks sejarah tertentu.
[15] Tak bisa disangkal proses pembentuakan Kitab Suci Ibrani, Perjanjian Baru dan Al Quran tentu berbeda, tetapi studi kritis kiranya merupakan tuntutan.
[16] Bdk. Misalnya pandangan umum para ahli mengenai 3 kumpulan hukum Israel kuno yang dianggap sebagai bahan dasar dari apa yang kemudian menjadi Torah, yakni: “Kodeks Perjanjian” (Kel 20,22-23,33); “Kitab Hukum Kekudusan” (Im 17-26) dan “Kodeks Ulangan (Ul 12,1-26,15).
[17] Bdk. B. di Pierre, “La redazione della Bibbia in epoca persiana”, 16.
[18] Dalam proses itu perla dicatat peranan besar sekelompok orang yang disebut para ahli sebagai “sekolah Deuteronomis”. Mereka membaca kembali teks-teks kuno yang mereka, sambil merefleksikan kembali ketidaksetiaan mereka akan Yahweh, dan menyusun bahan-bahan itu kembali dalam kesatuan dengan seluruh sejarah Israel. Karya sekolah deuteronomis ini mempersiapkan perjalanan mereka menuju “agama Kitab”. Kitab Ulangan 6,9 misalnya mengundang setiap keluarga Israel untuk menulis kalimat-kalimat Torah di atas pintu-pintu rumah mereka, yang sebelumnya praktek semacam ini hanya dilakukan pada tempat ibadah. Demikian, setelah hancurnya Bait Allah, setiap rumah bisa menjadi “Bait” tempat umat mendengarkan Sabda. Bdk. Bagaimana kaum muslim sejak awal menyebut orang-orang Yahudi sebagai “Kaum Kitab”.
[19] Penemuan tulisan dapat tidak dapat disangkal salah satu peristiwa terpenting dalam sejarah umat manusia. Tulisan telah menciptakan dunia baru. Berangkat dari abad 8 SM tersebarnya pemakaian tulisan melahirkan munculnya kitab-kitab kenabian (bdk. Nabi-nabi awal: Amos, Hosea, Yesaya dan Yeremia).
[20] Kata Heschel, keabadian (eternity) adalah kata lain dari kesatuan (unity). Maka, eskatologi dan monotesme adalah satu hal. Bdk. A.J. Heschel, Man is not Alone, 112.
[21] H. Küng, Christianity and the world religions, 196.
[22] Bdk. H. Küng, Christianesimo. Essenza e storia, 636.
[23] H. Küng, Christianity and the world religions, 183. Dalam pemikiran politeis kehadiran keburukan dalam arti tertentu “dapat dimengerti”, karena keburukan dapat diatribusikan pada para dewa. Karena ada banyak dewa terjadinya konflik kepentingan adalah sangat mungkin. Bdk. R.K. Gnuse, No other Gods, 246.
[24] Bdk. Karma dalam pandangan Hindu.
[25] Dalam keyakinan ini nampak kemudian pentingnya kekayaan, umur panjang dan anak dalam teks-teks yang lebih tua dalam Perjanjian Lama. Kekayaan dan umur panjang adalah tanda berkah dari hidup benar, sedangkan anak selain berkah adalah juga penerus kehidupan/generasi.
[26] Toynbee, A., Christianity among the Religions of the World, 17.