Saturday, September 6, 2008

Beriman dengan "Santai"


Minggu, 7 September 2008 | 03:00 WIB

ilham khoiri

Pada mulanya agama muncul sebagai ideologi yang membebaskan manusia dari berbagai persoalan hidup. Namun, setelah lama bergumul dengan sejarah kekuasaan sosial-politik-ekonomi, agama kerap menjelma sebagai rangkaian doktrin kaku, membelenggu, bahkan menakutkan. Bagaimana cara menyerap spirit awal agama yang membebaskan itu?

Cobalah beriman secara santai. Lampauilah formalitas agama, dan reguklah energi keimanan yang mencerahkan. Dengan begitu, nilai-nilai religius itu bakal menawarkan pengalaman pribadi yang menyentuh, terbuka, mengasah akal budi, sekaligus menumbuhkan gairah hidup yang lebih kreatif.

Seruan untuk ”beriman secara santai” semacam itu terasa saat membaca Pergulatan Iman (Nalar, Juli 2008). Buku setebal 216 halaman ini memang tak secara telak mengumbar kiat menemukan dimensi pembebasan. Namun, pengalaman keagamaan berbagai kalangan yang dirangkum buku ini bisa merangsang kita menelusuri ruang-ruang penghayatan yang lebih menggugah.

Pergulatan Iman adalah kumpulan wawancara dengan 29 tokoh seputar pengalaman keimanan. Mereka berasal dari aktivis perempuan, praktisi media, budaya, hukum, dan hak asasi manusia (HAM), politisi, pengamat ekonomi, politik, dan sosial. Mereka, antara lain, Munir (almarhum), Ahmad ”Dewa” Dhani, Dee Lestari, Ayu Utami, Wardah Hafidz, Gadis Arivia, Garin Nugroho, Andi Mallarangeng, Daoed Joesoef, Faisal Basri, dan Arief Budiman.

Menurut penyunting buku ini, Nong Darol Mahmada, semua wawancara itu hasil transkrip talk show program Jaringan Islam Liberal (JIL) yang dilakukan tahun 2002-2005. Wawancara tersebut disiarkan Kantor Berita Radio 68 H.

Santai

Bagaimana buku ini menawarkan cara beriman secara ”santai”? Meski diungkapkan dengan istilah berbeda-beda, sebagian besar pengalaman di sini menolak pendekatan agama yang legalistik (fiqhiyah), terlalu mementingkan ritual (syar’iyah), dan mau benar sendiri. Pemahaman formalistik itu dikhawatirkan mengentalkan sikap eksklusif, tak mampu menampung kenyataan hidup yang dinamis dan kompleks, dan akhirnya mengancam siapa pun yang berbeda pandangan.

Ambil contoh pengalaman aktivis HAM Munir. Lelaki yang meninggal di pesawat menuju Belanda tahun 2004 itu pernah menjadi Muslim radikal yang meyakini hanya kelompoknya yang paling benar, dan yang lain—termasuk fraksi lain seagama—sesat. Doktrin itu membuat dia selalu merasa terancam sehingga ke mana-mana harus membawa senjata tajam, siap terlibat konflik. Setelah bersentuhan dengan paham yang lebih moderat, Munir pun tersadar.

”Ekstremitas agama bisa menghancurkan peradaban manusia. Intoleransi, apa pun bentuknya, akan menghancurkan peradaban. Banyak orang beranggapan, mereka sedang membangun... tetapi, yang mereka bangun justru simbol-simbol yang menghancurkan peradaban,” papar Munir.

Aktivis Urban Poor Consortium (UPC), Wardah Hafidz, mencemaskan penafsiran agama yang sangat ritualistis. Katanya, ”Kalau orang menaruh tasbih di mobil lalu naik haji—walau merampas hak rakyat miskin, korupsi, dan membunuh—tetap dikatakan sebagai orang saleh. Di sinilah letak kemunduran masyarakat kita... sangat potensial jadi munafik.”

Dengan pengalaman berlainan, kritik serupa diungkapkan Gadis Arivia, Arief Budiman, Ahmad Dhani, aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM), Lies Marcoes-Natsir, pengamat politik, Eep Saifulloh Fatah, dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI periode 1978-1983 Daoed Joesoef. Bagi Daoed, agama yang diajarkan kepada dia sewaktu kecil adalah agama yang menakutkan.

”Kita tak boleh melakukan ini-itu dengan ancaman hukuman keras di neraka. Ketika saya bertanya, kenapa Tuhan begitu sadis, tangan saya dipukul dengan rotan yang ujungnya dibelah-belah,” papar dia.

Hampir semua narasumber mencemaskan penerimaan agama sebagai kewajiban sosial ketimbang penghayatan spiritual. Untuk kembali menyerap spirit agama yang mencerahkan, mereka berusaha menyemai nilai keagamaan secara pribadi, tanpa terjebak dalam aspek formalitas, langkah yang oleh Luthfi Assyaukanie diidentifikasi sebagai sikap kaum fideis. Lalu, apa yang mereka temukan setelah bersikap demikian?

Sejarawan dan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asvi Warman Adam, merasakan agama sebagai medium pembebasan. Aktivis hukum Bambang Widjojanto berharap agama bisa berdampak sosial lebih positif dan konkret, misalnya, untuk memberantas korupsi. Pengamat sosial Imam B Prasodjo menghargai Islam yang rahmatan lilalamin, mengasihi sesama, bukan menciptakan sekat-sekat yang memicu permusuhan.

Bagi Garin Nugroho, Islam ditantang untuk mewujudkan dirinya dalam keseharian. ”Seluruh pengalaman transendental ketuhanan diwujudkan dalam bentuk kehidupan sehari-hari, dalam bentuk cerita, puisi, dan sebagainya. Inilah yang menjadi nuansa paling indah dan menghiasi peradaban masa sekarang,” ungkap Garin.

Di luar itu buku ini juga menawarkan sisi-sisi unik yang jarang muncul dalam perbincangan seputar agama. Pengalaman keagamaan itu kerap begitu manusiawi, sekaligus juga mengejutkan: pelajaran mengaji yang kelewat ketat saat kecil, pemberontakan saat remaja, atau pilihan-pilihan rasional saat dewasa. Di sinilah ketegangan antara agama sebagai ajaran normatif yang berhadapan dan agama sebagai fakta historis kerap dibajak banyak kepentingan.

Buku ini semakin lengkap karena juga menyajikan pengalaman pemeluk agama lain di luar Islam. Ada Dee Lestari (yang waktu itu) memeluk Kristen lalu menemukan kesamaan semangat agama-agama secara makrifat. Ayu Utami yang Katolik terpesona kepada Tuhan, tetapi masih sulit mendamaikannya dengan kesenangan duniawi.

Relevan

Pergulatan Iman memperkaya literatur seputar pengalaman keagamaan yang personal, jujur, dan terbuka. Buku ini mengingatkan kita pada Pergolakan Pemikiran Islam, Catatan Harian Ahmad Wahib (Jakarta, LP3ES, 1981), yang membongkar pemahaman Islam dan Tuhan secara kritis.

Dalam konteks berbeda, feminis asal Kanada, Irsyad Manji, melancarkan gugatan terhadap formalisme agama lewat The Trouble with Islam Today (diterjemahkan dengan judul Beriman Tanpa Rasa Takut, April 2008, Nun Publisher).

Wacana keagamaan yang inklusif, membumi, toleran, dan bersemangat kekinian semacam itu selalu relevan bagi kehidupan masyarakat Indonesia yang plural. Wacana itu juga penting untuk mencairkan gejala puritanisme yang makin menguat belakangan ini.

Pengalaman pribadi dari berbagai kalangan dalam buku ini juga menyuguhkan alternatif di tengah dominasi otoritas tafsir oleh elite agama, katakanlah seperti kiai, pendeta, pastor, biksu, atau sarjana agama.

Lewat diskusi terbuka, pemaknaan agama bisa dilakukan secara lebih rileks. Sejauh dilandasi sikap rendah hati dan tidak memutlakkan kebenaran, perbincangan ini patut diteruskan untuk mendewasakan cara beragama kita yang masih kerap kekanak-kanakan.

Wednesday, August 20, 2008

Hans Urs von Balthasar

by Joel Garver

He was said, by Henri de Lubac, to be "perhaps the most cultured man of our time." Karl Rahner described his achievements as "really breathtaking." His works include over a thousand books and articles. At one point he was able to give away his stereo and records since, he said, he had all the works of Mozart memorized anyway. And it is my guess that history may well find him to be one of the most important theologians of the 20th century

Hans Urs von Balthasar was born in Lucerne, Switzerland on 12 August 1905. He grew up in the faith, with a pious mother who, he writes, "day by day went to Mass down the steep path from our house." He fondly remembered "quiet, deeply moving early Masses on my own in the choir of the Franciscan church in Lucerne"

Balthasar was educated in Benedictine and Jesuit secondary schools and went on to study in Vienna, Berlin, Zurich. On 27 October 1928 he underwent his doctoral examination at the (Liberal Protestant) University of Zurich having completed a dissertation on the History of the Eschatological Problem in Modern German Literature—and, of course, he passed summa cum laude

While completing his dissertation, in the summer of 1927, Balthasar attended a 30-day retreat near Basel about which he writes:

Even now, thirty years later, I could still go to that remote path in the Black Forest…and find again the tree beneath which I was struck as by lightning…And yet it was neither theology nor the priesthood which then came into my mind in a flash. It was simply this: you have nothing to choose, you have been called…All I needed to do was to stand there and wait and see what I would be needed for.

And so, on 18 November 1928 he entered the Jesuit novitiate for two years—-after which he spent two years studying Scholastic philosophy with a Jesuit faculty near Munich, followed by four years of theology—again in the scholastic vein—near Lyon. Thus he was a licentiate in both philosophy and theology, though his doctorate remained only in literature.

While the influence of Scholasticism upon his work is clear, it is far from determinative—he makes reference to "languishing in the desert of neo-scholasticism." Nevertheless Balthasar’s thought may be placed within a broadly Thomistic tradition

He was also drawn to other students who were similarly dissatisfied with the scholastic hegemony—budding scholars such as Jean Danielou and Henri Bouillard. It was at this time that Balthasar met the philosopher-theologian Erich Przywara who knew scholasticism but also interacted with Hegel, Scheler, and Heidegger. He also met Henri de Lubac, nine years his senior, who "showed us the way beyond the scholastic stuff to the Fathers of the Church…"

On 26 July 1936 Balthasar was ordained to the priesthood and at his first Mass he preached sermon on the text "Benedixit, fregit, deditque [He blessed it, broke it, and gave it]"—bringing out the theme "Because he blessed, he broke, and because he broke you, he could give you."

In 1937 he declined an offer to be a professor at the Gregorian in Rome to establish a institute for ecumenical theology, instead returning to Basel as a student chaplain. At this time it was still constitutionally prohibited in Switzerland for Jesuits to establish houses, schools, churches or any other institutional presence, so Balthasar could not work "officially" as Jesuit chaplain. Nor was there much official oversight by the Society of Jesus due to the war. In fact the Swiss Jesuits were considered part of the south German province of the Society. In addition to his pastoral duties Balthasar worked mostly as an editor and translator, lecturing, and the establishment of a Studentische Schulungsgemeinschaft to conduct courses and conferences (with the likes of K. Rahner, de Lubac, Martin Buber, and Yves Congar)

At this time Balthasar also encountered an eminent member of Basel’s theological faculty—the Reformed Protestant neo-orthodox theologian Karl Barth—and found that they shared a common passion in Mozart and with whom he soon became friends. About the same time Balthasar first met a local physician, Adrienne von Speyr, who after the death of her first husband became estranged from God, but eventually came to join the Catholic Church under the care of Balthasar who became her confessor, spiritual director, and associate. With her Balthasar expanded his foundation for lay people to serve in the Church—the Johannes Gemeinschaft or Community of St. John. But between this foundation, von Speyr’s miracles and visions, and other problems, difficult times were in store.

While the war was coming to and end, troubles were only beginning for Balthasar. His father, who had been quite ill for some time, died in June 1946. His godmother, with whom he was very much the closest among family members, suffered a stroke and was left paralyzed. Earlier in May Balthasar’s close friend and student at Basel, Robert Rast, died of a lung disease. At this time Balthasar’s mentor Przywara was also quite ill and Balthasar was attempting to gain him an entrance visa into Switzerland

In the midst of all these difficulties it came time for the yearly renewal of Jesuit vows. However, prior to this Balthasar was informed by Society of Jesus that the order was unwilling to take responsibility for either the Community, its publishing house, or the reports of von Speyr’s visions. Balthasar decided at this time to postpone his vows until Adrienne’s experiences could be examined by the Church—but had little success in this endeavor.

If these burdens were not already enough Balthasar and the nouvelle theologie as a whole were coming under fire, first in the August issue of the Revue Thomiste by the Dominican Labourdette and then, with far less restraint, in the December issue of the Angelicum by another Dominican, Garrigou-Lagrange. While Balthasar himself was never a direct target, his friends and like-minded associates, de Lubac and Boulliard, soon came under investigation by the Vatican (the irony, of course, being that these theologians are now considered the "conservatives").

The next two years, 1947 and 48, again saw the refusal of the Church to recognize von Speyr’s experiences as genuine or the willingness of the Society to endorse the Johannes Gemeinschaft, the Father General directed Balthasar to make a retreat to think through what direction he should take. By the end of his retreat he had reached the decision to leave the Jesuit order if it were not willing to test what he saw as his mission. And so Balthasar left the Jesuits on 11 February 1950. He writes:

I took this step, for both sides a very grave one, after a long testing of the certainty I had reached through prayer that I was being called by God to certain definite tasks in the Church…So, for me, the step taken means an application of Christian obedience to God, who at any time has the right to call a man not only out of his physical home…but also from his chosen spiritual home in a religious order, so that he can use him for purposes within the Church.

Leaving the Society, of course, meant that Balthasar was left without a position, a pastorate, a place to live, or an income. He eventually found an ecclesiastical home in the diocese of Chur under its sympathetic bishop and was able to maintain an income by a grueling schedule of lecture tours. Though he was offered various teaching chairs he did not accept any of them and, besides, would not have been able to since the Catholic Congregation for Seminaries and University had imposed a teaching ban upon him since he had left a religious order.

Von Speyr’s health was on the decline in the early 1950’s due to heart trouble, with various compounding problems, bringing her close to death several times. Balthasar’s own health was deteriorating during his busy lecturing, eventually leaving him nearly homebound for six months in 1957. The next year saw a bought of phlebitis, serious illness bringing him near death, and a paralysis later diagnosed as a symptom of leukemia.

Nevertheless, during this period and into the early 1960’s his theological output grew and drew much attention in Europe, and, even though he had not been invited to participate in the Second Vatican Council, he later received a number of honorary doctorates in theology and the Golden Cross of Mount Athos. During this period he was placing the finishing touches on his theological Aesthetics, working next door to Adrienne von Speyr who was nearly bedridden—she had gone blind and in 1967 she developed cancer of the bowel which slowly drained away her life in painful agony until she died 17 September 1967. After her death Balthasar began to publish her works, revealing an Adrienne of which not even her closest friends had been aware.

In the 1970’s and 80’s Balthasar gained ever greater stature on the theological scene, not only through his writings, but also through the publishing house of the Johannes Gemeinschaft and the international Catholic journal Communio, eventually receiving from the Vatican the Paul VI Prize in theology. In 1988 von Balthasar was appointed by John Paul II to become a cardinal, an honor he had before refused. This time he accepted out of obedience to the Pope and out of his friendship with him

However, on 26 June 1988, two days before his elevation as a cardinal, while he was preparing to celebrate morning Mass, Hans Urs von Balthasar died.

Source: www.lasalle.edu/~garver/bio.htm

JOHN SOBRINO

BBC WORLD SERVICE
Broadcast on Monday 29th November 1999

My name is John Sobrino. I was born in the Basque country, nearly 60 years ago. At the age of 18, I became a Jesuit And a year after that, I was sent to El Salvador, in 1958. And since then I have practically lived my whole life here. The best thing that has happened to me in life is to have known Archbishop Romero. I was a close friend of his. And also I lived with a community of Jesuits who were assassinated ten years ago. I was away. I became first a Jesuit and then a priest - very simply, because I felt a call from God. It has given me an opportunity to serve others, especially to serve those very, very poor people here in El Salvador. At the age of 27, I studied theology. I was in Frankfurt, Germany. When I came back from Frankfurt, in '73, people started talking here a different language, as far as Christian faith and theology are concerned: for example, that this planet is a planet of poor, oppressed people, a planet of victims. It made no sense to me to say: "I believe in God", in the guise of Jesus of Nazareth, and not take the poor seriously. So I started doing theology along those lines. And then I realised that that was close to what people were beginning to call "liberation theology". Now, liberation theology is the type of theology which wants to look at God from the perspective of the poor of the world. It's a way of thinking about Christianity so that the will of God, the dream of God, the utopia of God, becomes true. I remember years ago, in a refugee camp in El Salvador, several times I went to say Mass. In the midst of so much tragedy, poverty and so on, all of a sudden I saw a peasant woman. And I said to myself spontaneously, when I looked at her face: "I have seen God". The depth of reality became present in the face of that woman: her dignity, her commitment to be there, her hope that maybe life would be better for her and for others; an experience of God. I think this is the origin of liberation theology. Maybe people understand better when they know what happens when communities, priests in their homilies, bishops like Romero in their pastoral letters, professors like us, act out of this instinct of liberation theology. What happened? Well, this university was bombed. A bomb exploded on our campus 25 times. The house where I live was bombed four times. Six Jesuits were killed. They were killed because they told the truth about the country. As Christians, they said: "God is against that." Why did they say that? Because they thought in a very specific way. And that specific way of thinking is called liberation theology. Liberation theology is a threat because it tells the truth about this world. And the truth is not told. Whoever tells the truth gets killed. Let's have this clear. Jesus was crucified himself. He offers us the good news: that following him life makes sense. Now following him, in situations like the Salvadorean one, might make it possible to be killed. As long as there is oppression, I hope that theologians will think of God from the point of view of the poor. As long as that happens, there will be liberation theology. E N D

Tuesday, August 19, 2008

"The Merton Prayer"

MY LORD GOD, I have no idea where I am going.
I do not see the road ahead of me.
I cannot know for certain where it will end.
Nor do I really know myself,
and the fact that I think I am following your will does not mean
that I am actually doing so.
But I believe that the desire to please you does in fact please you.
And I hope I have that desire in all that I am doing.
I hope that I will never do anything apart from that desire.
And I know that if I do this you will lead me by the right road,
though I may know nothing about it.
Therefore I will trust you always
though I may seem to be lost and in the shadow of death.
I will not fear, for you are ever with me,
and you will never leave me to face my perils alone.

In Thoughts in Solitude, Part Two, Chapter II consists of fifteen lines that have become known as "the Merton Prayer."

Thursday, August 14, 2008

"Ho scelto di stare con i poveri"


:: Elezioni 2008 Paraguay ::

Nonostante le minacce di morte, i duri attacchi che gli vengono da settori del Partito Colorado, che governa ininterrottamente il Paese da oltre mezzo secolo, la sospensione a divinis del Vaticano, e dopo la grande manifestazione a suo sostegno che si è tenuta il 29 marzo ad Asuncion
Fernando Lugo appare più forte e sicuro della possibilità di vincere la competizione elettorale per le Presidenziali del 2008. L'ex vescovo sembra aver compiuto già un piccolo miracolo: per la prima volta dopo 60 anni, e lo si sente per le strade, negli autobus, all'università, i paraguaiani sono ritornati a discutere di politica.


Di Manfredo Pavoni Gay - per Selvas.org

6-2-2007 - I movimenti sociali irrompono nella campagna elettorale 2008 in Paraguay. Fernando Lugo, vescovo paraguaiano, si candida alla Presidenza della Repubblica come avversario dello storico partito di governo Colorado. Ma la strada per l'elezione del monsignore è tutta in salita, anche grazie agli ostacoli imposti dalla Santa Sede.





Perché ha deciso di dimettersi da Vescovo cattolico?
Dopo 30 anni di onesto sacerdozio ho rinunciato alle mie condizioni formali di vescovo, proprio per poter mettermi al servizio di coloro che in questo Paese, vivono con fatica. La nostra costituzione vieta infatti la candidatura, ai ministri di culto. Questo non significa che mi sono dimesso dall'essere un credente cristiano, ma vista la situazione drammatica in cui è precipitato il Paraguay, credo che oggi posso dare un contributo più efficace facendo politica.


La manifestazione del 29 marzo è stata una delle più grandi manifestazioni in Paraguay dalla fine della dittatura del generale Stroessner. Come ci si sente il giorno dopo?
E' stata una grande manifestazione spontanea per dire che il Paese è a un punto di non ritorno. I partiti dell'opposizione non c'erano, ma c'erano i militanti di base di quei partiti. Poi c'erano i Movimenti come Tekojoja e il Bloque Social Popular. In un Paese come il nostro abituato a sopportare dittature militari, tortura, desaparecidos, questa grande mobilitazione rappresenta una speranza. Il nostro Paese oggi vive uno dei suoi momenti più critici. Il popolo vuole un cambio, non ne può più di morire per stupide malattie come il dengue che il governo per inettitudine ha sottovalutato falsificando anche le statistiche. Non vuole essere costretta a dover emigrare all'estero per mantenere le proprie famiglie - negli ultimi sei mesi grazie a questo governo sono emigrati trecentomila paraguaiani su una popolazione di 5 milioni di persone - non vuole più essere ucciso dai grandi proprietari terrieri o dalla polizia perché chiede un minimo di equità sociale. Non ne può più di una giustizia totalmente dipendente dal potere politico della “cupola colorada”, che da 60 anni governa nella totale impunità.

Ma senza un partito e con le divisioni dell'opposizioni crede davvero alla possibilità di essere eletto presidente del Paraguay?
Intanto io lavoro per costruire un programma politico convincente che metta ai primi posti questioni come una crescita equa - in un Paese dove 500 famiglie vivono nel lusso, circondati da un mare di povertà - una giustizia giusta e indipendente, e un processo di verità e riconciliazione. Per noi la questione della giustizia è centrale poiché senza giustizia aumenterà l'emigrazione, diminuiranno sempre più gli investitori stranieri che non hanno più fiducia del sistema Paese, e peggioreranno le condizioni economiche della popolazione. E' vero, non ho un partito politico, ma mi appoggiano ampi settori della popolazione. I contadini, gli studenti, le centrali sindacali i movimenti civici, e non è poco. Con la Concertacion (il fronte dell'opposizione) sono in costante dialogo e ho aderito a titolo personale visto che non ho un partito. Il mio obiettivo è unire, sommare tutte le componenti sane del Paese, per arrivare ad un cambio profondo che non sia soltanto la presa del potere. In un Paese diviso che rischia un processo di decomposizione del tessuto sociale, a me interessa unire, agglomerare forze diverse.



Monsignor Antonimi, il nunzio apostolico paraguaiano, in una recente omelia ha dichiarato che Gesù non faceva politica. Anche Papa Ratzinger in un discorso rivolto ai vescovi latinoamericani, ha detto recentemente che compito di un vescovo e fare proselitismo, non fare politica. Si sente sotto attacco?
Il servizio al prossimo attraverso la politica fa parte dell'azione evangelica, il cui fine è il bene comune. In questo senso anche Gesù faceva politica. La realtà latinoamericana è molto diversa da quella europea. Io ho scelto di stare con i poveri, credo non ci sia nulla di anticristiano in tutto questo.


In Paraguay lo accusano di voler importare il modello venezuelano...
Per me il valore più forte della rivoluzione bolivariana è la sua dimensione sociale, una migliore distribuzione della ricchezza per la parte più povera della popolazione. Il rischio è una dose eccessiva di statalismo e di personalismo, e la mancanza di pluralismo che è un pericolo per la democrazia. Il Paraguay ha una storia differente e dunque non è assimilabile alla situazione venezuelana. Il mio stile politico è quello che ho imparato in tanti anni di servizio evangelico, sarà l'ascolto, la partecipazione, la cooperazione per arrivare a soluzioni condivise.



Il neoliberismo ha prodotto atrocità nel mondo e in Americalatina. Che politica economica pensa di seguire se sarà eletto?
Cercherò di coniugare un'economia mista tra pubblico e privato tenendo conto che il Paraguay oggi soffre terribili disuguaglianze. Il 5% è proprietario del 90% delle terre di cui il 40 per cento restano incolte. La disoccupazione tra i giovani è del 20% il salario minimo è fermo a 200 dollari al mese. Non esiste un sistema pensionistico, né uno sanitario. Se devi fare un'operazione devi pagare: conosco tante famiglie che per curarsi hanno dovuto vendere il poco che possedevano. Ecco in questo contesto lavorerò per una crescita che abbia come orizzonte l'equità sociale. Bisogna pensare a un modello Paese che sia in grado di generare lavoro, risorse collettive e serenità sociale. La fame, la mancanza di educazione, la malattia, non sono questioni ideologiche. Non hanno colore. Un proverbio guaranì dice “Ruta hu ndoicolori”: vuol dire che “la strada asfaltata non ha colore”, non è patrimonio di nessun partito politico. In Paraguay dobbiamo lavorare in modo convergente per affrontare problemi complessi con soluzioni nuove. Possiamo aggredire la realtà e renderla più accettabile, più giusta, più equa mettendoci, in discussione tra di noi facendolo anche con allegria. Non permettiamo ai nostri sogni di diventare frustrazioni, questo Paese merita il nostro sforzo.

Thursday, August 7, 2008

YESUS BANGKIT JUGA HARI INI


Saya pikir
mereka telah membunuh Yesus,
tapi hari saya lihat Dia
mencium seorang lepra.


Saya pikir
mereka telah menghapus nama-Nya,
tapi hari ini saya dengar Dia
lewat bibir seorang anak kecil.

Saya pikir
mereka telah memaku tangan Nya,
tapi hari ini kulihat Dia
menyembuhkan luka-luka

Saya pikir
mereka telah meremukkan kakiNya,
tapi hari ini kulihat Dia,
berjalan di tenggah-tengah
orang miskin dan menederita

Saya pikir
dengan bom mereka telah
membunuhNya untuk kedua kalinya,
tapi kudengar Dia
berbicara tentang damai.

Saya pikir
mereka telah menyumbat suaraNya
yang penuh persaudaraan,
tapi hari ini kudengar dia berkata:
”Mengapa, saudara?”
kepada seorang yang menamparNya.

Saya pikir Yesus telah mati dalam hati manusia,
dikubur dalam kelupaan,
tetapi saya mengerti
bahwa Yesus bangkit juga hari ini
setiap kali ketika seseorang punya hati
untuk sesamanya.

Diterjemahkan dari karya L. Cammaroto

Yang terbaik darimu














Kebaikan yang kamu lakukan
bisa jadi dilupakan orang:
itu tidak penting, lakukanlah kebaikan.

Apa yang telah kau bangun
mungkin akan roboh:
itu tidak penting, bangunlah.

Orang-orang yang telah kau bantu
Mungkin tidak mengucapkan “terima kasih”:
Itu tidak penting, bantulah mereka.

Berikanlah pada dunia
Yang terbaik darimu,
Mungkin mereka akan melemparimu dengan batu:

Itu tidak penting,
Berikanlah yang terbaik darimu.

Ibu Teresa dari Kalkutta

Selidikilah Kitab Suci

Selidikilah isi Kitab Suci!
Jangan hanya membaca asal-asal saja,
tetapi carilah,
periksalah dan pelajarilah
kedalaman-kedalaman kalimatnya.

Allah sesungguhnya
telah mempersiapkan Kitab Suci untuk kita.
Akan tetapi, Ia telah menyembunyikan
arti ucapan-ucapannya.

Dia telah memberikan Kitab Suci kepada kita,
tetapi tanpa membuka tafsirannya yang tersembunyi.
Allah telah menyerahkan hal itu
pada dispilin dan ketertiban usaha-usaha anda,
untuk melatih akal budi anda.
Untuk melihat apakah anda
melayani Kitab Suci
atau mau memperkosanya
dengan melakukan kekerasan terhadapnya.

Severianus dari Gabala
+ 408 Masehi

What does Scripture Mean for You?


A Soviet Jew, Natan Sharansky was jailed in 1977
for speaking out in favor of the right to emigrate from the Soviet Union,
advocating free speech,
and refusing to cooperate with Soviet authorities.
He was subjected to a horrible ordeal,
including a periods of solitary confinement and near starvation.

When he was finally released in 1986,
the one possession he carried to freedom
was a copy of the Book of Psalms in Hebrew.
Shortly before his release,
Soviet guards had confiscated the book,
returning it only after Sharansky lay down in the snow
and refused to take another step!

DUNIA ASING

Dalam sebuah novelnya, novelis Jerman Herman Hesse bercerita tentang seorang anak bernama Sinclair. Si kecil Sinclair mengalami suatu dunia yang menyenangkan di rumah maupun di sekolah. Di rumah ia akrab dengan papa dan mamanya, akrab dengan saudara-saudaranya. Demikian pun di sekolah ia akrab dengan teman-teman dan gurunya. Rumah dan sekolahnya adalah tempat yang ia senangi. Namun ada tempat yang paling dia benci. Tempat itu terletak hanya 100 meter dari rumahnya. Di sana ada sebuah gardu tempat mangkal Frank Kramer, seorang pemuda berandalan. Setiap berangkat atau pulang sekolah, si kecil Sinclair pasti dicegat oleh Kramer, dan sering dikompas dengan paksa. Tak jarang pula ia dipukul tanpa alasan yang jelas. Sinclair tidak bisa tidak harus lewat tempat itu, satu-satunya jalan untuk pergi ke sekolah maupun pulang dari sekolah harus melewati gardu brengsek itu.

Dengan kisah ini, Hesse mau mengatakan bahwa dalam hidup kita ini ada semacam ‘dua dunia’. Ia menyebutnya ‘dunia asing’ dan ‘dunia akrab’. Dunia asing adalah suatu dunia yang membuat orang merasa tidak krasan, merasa takut, merasa tidak diterima, tidak aman, dan terancam. Sedang dunia akrab adalah suatu dunia yang membuat orang merasa krasan dan aman, merasa diterima, dan damai.

Apakah dunia kita sekarang semakin berkembang sebagai dunia akrab atau sebaliknya semakin menjadi dunia asing? Dunia asing dalam kehidupan kita dewasa ini nampaknya ada di mana-mana dan semakin luas, tidak sesempit dunia asing si kecil Sinclair yang di sekitar gardu Kramer. ‘Gardu-gardu’ yang menampilkan dunia asing bisa ada di mana-mana.

Dunia asing bisa ada di lingkungan sekitar kita, bisa ada di tempat kerja kita, di sekolah, bahkan di lingkungan Gereja, malahan pula juga di rumah, tempat kita sehari-hari hidup. Ada anak yang tidak krasan di rumah, berhari-hari tidak pulang dan lebih suka tidur di tempat mangkalnya, adalah sutu contoh bahwa rumahnya mungkin bagi si anak adalah dunia asing. Juga sekolah, tidak sedikit anak-anak sekolah itu lebih suka nongkrong di perempatan daripada duduk belajar di kelasnya. Mungkin kelas, guru-guru, teman dan pelajaran-pelajaran merupakan dunia asing pula baginya. Stress di tempat kerja, takut pada pimpinan, kenaikan pangkat dipersulit, karena ia minoritas, adalah contoh-contoh ‘dunia asing di tempat-tempat kerja. Antar tetangga tidak saling kenal, pagar rumah di buat tinggi-tinggi, karena takut barangnya dicuri tetangga, Natalan dan Idul Fitri tidak saling bersilaturahmi, walau rumah hanya dibatasi pagar tipis adalah contoh dunia-dunia asing dalam lingkungan kita. Dalam Gereja? Ada umat yang malas ke Gereja, kalau pun datang habis komuni langsung amblas, enggan ngobrol dengan sesama umat, enggan bertemu si Gembala, doa lingkungan pun enggan. Mengapa? Mungkin salah satunya karena Gereja belum dirasakan sebagai dunia akrab. Bagaimana dalam kehidupan masyarakat? Di perempatan ramai pun kita dikompas orang, orang ragu-ragu memarkir sepeda motor di halaman rumah, takut dikemplang orang. Saudari-saudari keturunan Cina diperas macam-macam, karena mereka dianggap bukan ‘orang pribumi’, ataupun orang-orang minoritas terpaksa nunduk-nunduk supaya bisa aman. Kita masih dapat menemukan contoh-contoh lain yang tak dapat dihitung jumlahnya.

Rasanya dunia semakin asing bagi kita. Dan dunia yang asing ini ternyata bukan ada di tempat yang jauh, tetapi begitu dekat setiap hari dengan batang hidung kita. Dunia rasanya semakin sulit menjadi tempat yang layak dihuni oleh siapa saja. Rasa damai, diterima dan aman, rasanya semakin mahal harganya. Dan untuk memperoleh damai kita harus membelinya dengan harga yang mahal. Membangun tembok yang tinggi, menggaji satpam, memasang gembok yang besar, nunduk-nunduk pada yang kuat dan yang lebih banyak, nyogok orang kuat, dsb. Hal-hal macam ini umum dan banyak dilakukan orang sekarang ini untuk memperoleh rasa aman, rasa aman yang sebetulnya semu.

Mengapa dunia asing sekarang ini semakin banyak kita temui? Mengapa dunia semakin sulit menjadi tempat yang layak dihuni? Henri Nouwen, seorang penulis rohani terkenal jaman kita ini pernah mengatakan bahwa tidak jarang kita ini tidak membangun ‘rumah yang bernafaskan kasih kasih’, tetapi ‘rumah yang menebarkan ketakutan.‘ Mungkin benar bahwa tempat-tempat kita hidup sekarang ini, entah rumah, sekolah, Gereja, tempat kerja, lingkungan, dan masyarakat semakin sedikit bernafaskan kasih. Yang lebih sering ditebarkan adalah ketakutan. Di lingkungan-lingkungan yang seharusnya paling akrab pun: rumah, sekolah, Gereja, lingkungan, nafas kasih semakin tipis. Orang semakin sibuk dan di kejar-kejar banyak urusan. Nafas kasih tidak sempat dihirup, sehingga juga semakin sulit mengeluarkan kasih. Terlebih dalam masyarakat luas yang dibalut begitu banyak persoalan dan krisis. Yang kita hirup adalah nafas-nafas ketakutan, sehingga yang kita tebarkan pun ketakutan.

Di tengah tantangan ini mungkin kita perlu lebih masuk dalam lubuk hati kita masing-masing. Jika kita sungguh mau masuk dalam lubuk hati kita masing-masing kita akan menemukan kerinduan yang amat dalam untuk hidup dalam damai, merasa diterima dan aman. Dan kemudian juga akan sadar bahwa dalam lubuk hati setiap orang juga terdapat dambaan yang sama. Tidak ada orang orang yang ingin hidup dalam situasi takut, tidak aman, terancam, terasing dan kesepian. Memang manusia itu fragile, rapuh, tidak cukup kuat bertahan sendiri tanpa kasih orang lain. Manusia tidak cukup kuat hidup dalam rumah yang miskin kasih. Sadar akan hal itu lalu kita didorong sedikit-sedikit membangun tempat hidup kita semakin menjadi komunitas, co-unus, tempat bersama-sama (saling) mendukung menjadi satu, dan bukan semakin menjadi dunia asing yang menakutkan.

Ig. Budiono

Daliyem, "Onthel" dan Anak-anaknya

Kompas: 01 Mei 2006

Siwi Yunita Cahyaningrum

Ke mana pun pergi, Daliyem (66) selalu ditemani sepeda onthel yang telah berkarat di beberapa bagiannya. Katanya, onthel itu usianya lebih dari setengah abad.

Usman (almarhum), yang sejak tahun 1958 menjadi suami Daliyem, membeli onderdil sepeda onthel satu per satu tahun 1952. "Akhirnya jadi onthel karena dirakit Bapak," tutur Daliyem.

Mungkin Daliyem tak pernah menduga akan membangun rumah tangga bersama Usman seperti merakit onderdil onthel satu demi satu. Pasangan ini memiliki 13 anak, tetapi menganut "paham" tak boleh ada anak terabaikan, apalagi telantar. Mereka pasrah dalam kesederhanaan. Daliyem hanya mengandalkan gaji sebagai guru SD, sedangkan Usman berprofesi sebagai hakim di Pengadilan Agama Wates, Kulonprogo, yang saat pensiun pada 1997 terakhir menjabat sebagai Kepala Pengadilan Agama Wates.

Jabatan suaminya tak membuat Daliyem risi mengendarai onthel. Dalam berbagai aktivitas, dari mengajar sampai jualan sayur, onthel tak lepas dari kehidupannya. Kini di rumahnya bahkan ada lima onthel yang dulu dipakai bersekolah anak-anaknya.

Daliyem mengaku tak mudah membesarkan, apalagi menyekolahkan, anak dalam kondisi ekonomi serba pas-pasan. Tahun 1970-an Daliyem dengan sabar dan adil membagikan jatah makanan kepada ke-13 anaknya. "Tak jarang anak-anak saya ajari makan singkong atau gaplek. Nanti kalau beras mahal agar mereka biasa makan singkong," ujar Daliyem.

Kini aktivitas sehari-hari Daliyem, selain mengurus rumah, adalah menjadi kader posyandu dan mengikuti pengajian kampung di Dusun Samparan, Desa Caturharjo, Kabupaten Bantul, tempat ia tinggal.

Sarjana semua

Sebenarnya 14 anak lahir dari rahim Daliyem, tetapi anak paling sulung meninggal ketika berusia sepekan. Ia mampu membesarkan seluruh 13 anaknya hingga lulus perguruan tinggi dan bekerja di masyarakat.

Didik Akhmadi Ak MCom (44), putra pertamanya, kini menjadi staf ahli DPR bagian anggaran sekaligus dosen di Universitas Indonesia, Ir M Zarqoni (42) lulusan Institut Pertanian Bogor (IPB), Dra Siti Endah Maronatun (40) lulusan Universitas Gadjah Mada (UGM).

Anaknya yang lain, dr Muromi Nurillah (38), dokter lulusan Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS), Anni Mutmainnah SP lulusan IPB, dan Dipl Ing H M Abdul Kholiq MSe (36) kini sedang melanjutkan studi di Jerman untuk meraih gelar doktor.

Selanjutnya ada dr Fitri Nurkhurrohman (34), disusul Lettu Tholib Fatkhurrohman SSi Apt (32) anggota TNI Angkatan Laut, Muhammad Dzulqornain ST, lulusan Institut Teknik Bandung (ITB), dan dua putri selanjutnya adalah dokter lulusan UGM, yakni dr Ana Fauziati (26) dan dr Eva Byuti Zumrudah (24). M Shodiq Abdul Khannan ST (24) kini pegawai negeri sipil di Kopertis V Yogyakarta dan si bungsu Mutiara Wati Wulansih (20) masih belajar di Jurusan Arsitektur UNS.

Selain dari orangtua, seluruh anak Daliyem juga membiayai pendidikan secara "tanggung-renteng". Jika anak yang lebih besar telah bekerja, ia "wajib" membiayai pendidikan adiknya. Begitu selanjutnya. Daliyem mengaku tak pernah mewajibkan penanggungan seperti itu. Kepada anak-anaknya sejak kecil ia tanamkan nilai kebersamaan. "Apa-apa harus ditanggung bersama," ujar Daliyem.

Biasa sederhana

Usman lahir dari keluarga petani, tetapi berkat kegigihannya ia berhasil menjadi hakim agama. Adapun Daliyem berasal dari keluarga buruh.

Bulgur, nasi tekat (campuran ketela dan kacang), serta baju bagor pernah mewarnai kehidupan keluarga ini zaman krisis tahun 1966. "Gaji suami dan saya hanya cukup memenuhi kebutuhan selama dua pekan. Terpaksa saya harus mencari penghasilan tambahan dengan berdagang sayur," ungkap Daliyem.

Pada tahun-tahun itu sebelum berangkat mengajar Daliyem berjualan sayur di Pasar Patangpuluhan, Yogya. Waktu itu pun sepeda onthel-nya yang tua dan ringkih sudah menjadi teman seperjuangan, sementara suaminya belajar di Pendidikan Hakim Islam Negeri Yogyakarta. Usman kemudian melanjutkan kuliah atas biaya negara di Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

"Sepulang sekolah atau kerja Bapak ikut berjualan di pasar," tutur Daliyem.

Daliyem mengaku terbiasa bangun ketika matahari belum menyingsing. Lalu ia menyiapkan sarapan sekaligus makan siang, berangkat bekerja, pulang ke rumah, dan kembali mengurusi anak-anak dan urusan rumah tangga. Setelah itu ia menyiapkan bahan pengajaran sekolah tempatnya mengajar hingga mengaji sampai larut malam.

Sungguh tidak mudah membesarkan begitu banyak anak di tengah ekonomi yang mengimpit. Apalagi rumah mereka seukuran 100 meter persegi yang diisi 16 orang (13 anak, suami-istri Usman, dan ibu dari Usman). Karena itu, Daliyem harus mencatat segala pengeluaran rumah tangga secara ketat.

Ketika Usman meninggal dua tahun lalu, praktis kehidupan keluarga ini ditopang anak-anak yang bekerja. Namun, Daliyem tetap seperti semula. Memang, ia tidak lagi berjualan sayur untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, tetapi memilih terlibat dalam segala kegiatan sosial di kampungnya.

Ia sampai hari ini tetap mengendarai sepeda onthel hasil rakitan suaminya. Barangkali sepeda kenangan itulah yang tetap mengingatkannya bahwa membangun rumah tangga mesti melewati proses kerja keras bersama-sama sebelum memetik hasil.

Bayaran Guru Desa 80 Kaleng Beras...

Kompas:15 Mei 2005

SUDAH enam bulan ini Raja Dima Siregar (37) mengajar lima kelas di SD Dusun Sigoring-goring tanpa gaji. Lelaki itu hanya dijanjikan akan mendapat bayaran beras sebanyak 80 kaleng (satu kaleng sekitar 16 kg) atau setara dengan 1.280 kg per tahun oleh para orangtua murid pada akhir tahun ajaran nanti.

MESKI demikian, satu-satunya guru di SD Dusun Sigoring-goring, Desa Pangirkiran Dolok, Kecamatan Binanga, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, itu tak mengeluh dengan apa yang ia dapatkan. Yang ia gelisahkan justru nasib anak-anak didiknya yang belajar dengan buku pelajaran kedaluwarsa.

Hingga kini murid-murid SD Dusun Sigoring-goring harus belajar dengan menggunakan buku-buku pelajaran kejar paket A, B, dan C terbitan tahun 1997, yang sebenarnya ditujukan untuk ujian persamaan.

Fasilitas SD satu-satunya di dusun itu sangat minim. SD tersebut hanya memiliki satu ruang kelas sehingga seluruh siswa mulai dari kelas 1 hingga kelas VI, bercampur dan gurunya hanya seorang.

Menurut Raja Dima, sekolah itu dibangun secara swadaya oleh masyarakat pada tahun 1982. Sejak dibangun, belum ada bantuan sedikit pun dari pemerintah.

Tahun ini SD yang berada di tepi hutan eukaliptus milik Toba Pulp Lestari itu hanya memiliki 27 siswa, yaitu kelas I sebanyak sembilan siswa, kelas II delapan siswa, kelas III tujuh siswa, kelas IV satu siswa, dan kelas VI dua siswa. Kelas V tidak ada siswanya. "Semakin tinggi kelasnya, siswanya makin sedikit karena banyak yang putus di tengah jalan. Anak-anak membantu orangtuanya bekerja sehingga jika dirasa sudah cukup bisa membaca, menulis, dan berhitung, mereka tidak pergi ke sekolah lagi," katanya.

Dusun Sigoring-goring berada jauh di pedalaman Sumatera Utara, diapit hutan register 40 Tapanuli Selatan dan hutan tanaman produksi milik PT Toba Pulp Lestari (TPL). Dusun itu dihuni 40 keluarga atau 285 jiwa, terpencil dari dusun lain, dan tak terjangkau listrik, apalagi telekomunikasi.

Untuk mencapai kota Kecamatan Binanga sedikitnya perlu 14 jam perjalanan darat dari Medan atau sekitar empat jam dari ibu kota Kabupaten Tapanuli Selatan, Padang Sidempuan. Dari Binanga ke desa itu, perjalanan menembus belantara sejauh 22 kilometer. Hanya mobil-mobil gardan ganda pengangkut kayu yang sanggup melintasi jalan lumpur menuju dusun tersebut.

MINGGU siang siswa SD Sigoring-goring tetap masuk sekolah. Mereka libur pada hari Kamis bersamaan dengan pekan di kota Binanga. Saat hari pekan, orangtua termasuk Raja Dima bisanya pergi ke kota untuk menjual hasil pertanian dan membeli barang kebutuhan selama seminggu.

Siang itu para siswa yang berseragam coklat bercampur dengan yang berseragam merah putih dan sebagian lainnya yang tidak berseragam. Hampir semua anak tidak memakai alas kaki, sedangkan Raja Dima hanya mengenakan sandal jepit.

Tak seorang siswa pun yang memiliki buku-buku pelajaran. Mereka hanya mengandalkan keterangan dari guru yang menggunakan materi pelajaran dari buku-buku yang sudah kedaluwarsa tersebut. Kendati demikian, anak-anak itu mencatat pelajaran di buku tulis mereka dengan semangat.

Bocah-bocah dusun tersebut belajar di dalam bangunan tunggal sekolah dari papan yang dibagi menjadi dua ruangan dan dibatasi sekat papan semiterbuka. Terdapat dua papan tulis yang dipakai secara bersama-sama oleh lima kelas.

Setelah menuliskan pelajaran untuk kelas I, Raja Dima kemudian menghapusnya dan ganti menuliskan bahan pelajaran untuk kelas II, demikian seterusnya. Raja Dima juga harus hilir mudik menerangkan pelajaran yang ditulisnya di dua papan tulis tersebut.

"Sekarang pertanyaan untuk kelas III, orang yang pekerjaannya mencari ikan di laut apa?" kata Raja Dima.

Suasana hening. Tak seorang siswa pun menjawab. Pertanyaan yang mungkin akan dijawab dengan mudah oleh anak-anak SD kelas I di kota itu terasa sulit bagi anak-anak dusun.

Raja Dima harus menjawab sendiri pertanyaannya. Dengan sabar ia menerangkan, ada dunia di luar sana yang digeluti oleh nelayan. "Nelayan ini harus bekerja keras untuk hidup, seperti bapak-bapak kalian yang menjadi petani. Bedanya, kalau petani bekerja di ladang dengan parang dan cangkul, nelayan bekerja di laut dengan jala dan pancing," katanya.

Raja Dima menjadi guru di sekolah tersebut sejak bulan Desember 2004. Guru sebelumnya mengundurkan diri pada bulan Oktober 2004 sehingga selama tiga bulan kegiatan belajar-mengajar di SD tersebut sempat terhenti. "Karena tidak ada yang mau mengajar, saya kasihan kepada anak-anak. Apalagi banyak orangtua murid berharap saya bisa mengajar anak-anak itu. Akhirnya saya jadi guru mereka," kata lelaki lulusan madrasah aliah negeri (MAN) di Gunung Tua, Tapanuli Selatan.

"Di sini guru dibayar dengan beras sebanyak 80 kaleng setahun. Jelas bayaran tersebut tidak memadai sehingga kebanyakan tidak tahan. Tetapi, saya tidak bisa menuntut bayaran lebih karena memang masyarakat di sini juga tidak mampu. Toh dua anak saya juga ikut sekolah di sini," kata lelaki yang juga alumni SD Sigoring-goring itu.

Untuk menutupi kebutuhan hidupnya, Raja Dima lebih mengandalkan kerja kerasnya sebagai petani. Lelaki muda berputra tiga ini menggarap sawah sekitar 2.500 meter persegi yang menghasilkan beras sebanyak 100 kaleng. Beras sejumlah itu biasanya cukup untuk makan sehari-hari dan sisanya dijual untuk biaya hidup. Semenjak dia menjadi guru, pengelolaan sawah lebih banyak dilakukan istrinya.

Untuk kebutuhan sehari-hari, Raja Dima dan warga desa yang lain mengandalkan hasil tanaman karet yang ditanam di tanah adat Desa Pangirkiran. Rata-rata per orang memiliki dua hektar yang ditanami 200 pohon.

Namun, semenjak enam bulan lalu ladang karet warga Desa Pangirkiran, termasuk milik warga Sigoring-goring, musnah dibakar bersamaan dengan pembakaran oleh perusahaan perkebunan nasional yang hendak membuka kebun sawit di kawasan tersebut. Dalam pembakaran itu, 17 rumah warga Sibenggol serta satu sekolah dan mushala ikut dibakar. Kini warga Sibenggol mengungsi ke dusun-dusun lain di Desa Pangirkiran, termasuk di Dusun Sigoring-goring.

Raja Dima dan warga desa lain yang terdiri dari enam dusun sempat melawan perusahaan tersebut. Namun, mereka kalah. Saat ini Dusun Sibenggol dan bekas ladang mereka telah dikelilingi parit oleh perusahaan tersebut. Tak seorang warga dusun pun yang berani ke sana karena tanah tersebut dijaga para centeng yang bersenjata.

"Kami miskin. Dan orang miskin dalam cerita negeri ini selalu kalah," kata Raja Dima. Ia mengaku sempat memimpin perlawanan dengan melakukan demonstrasi ke kabupaten. Bukti perlawanan itu, yaitu berupa bait-bait puisi Darah Juang karya Wiji Thukul, masih ditempel di dinding kelasnya.

"Di sini negeri kami, tempat padi terhampar, samuderanya kaya raya, tanah kami subur Tuhan. Di negeri kami ini berjuta anak rakyat tertindas duka, anak tani tak sekolah, pemuda tak bekerja... Puisi-puisi ini sepertinya mewakili suara kami. Saya mendapatkannya dari teman-teman dari Bina Keterampilan Desa yang mendampingi warga di sini. Biarlah puisi ini tertempel di kelas ini agar terus dibaca anak-anak kami sebagai bukti perlawanan orangtua mereka," kata Raja Dima.

Kini harapan Raja Dima memang kian pupus. Bayang-bayang kekalahan tak terelakkan. Masa depan suram anak-anak didiknya, termasuk anak-anaknya, menggelisahkannya tiap hari. "Entah mau jadi apa anak-anak nantinya? Tanah-tanah terus direbut bahkan rumah dan kebun dibakar habis. Tetapi, siapa juga yang peduli?" kata Raja Dima, seolah bicara pada dirinya sendiri. (AHMAD ARIF)

Wednesday, June 25, 2008

Wajah Yesus Sepanjang Sejarah

Kebesaran seseorang nampak dalam pengaruhnya dalam sejarah. Sama seperti besar kecilnya kapal, terlihat dalam sibakan ombak yang ditinggalkannya. Rabbi sederhana dari Nazaret ini, mau tidak mau harus diakui pengaruhnya dalam sejarah, baik dunia, maupun sejarah pribadi umat manusia. KehadiranNya telah membagi sejarah menjadi dua: sebelum dan sesudah Dia. Mulai abad pertama sampai sekarang, manusia tidak pernah selesai mencari, meneliti, bermeditasi dan kontemplasi, belajar, berdebat dan berdiskusi, untuk mengenal lebih baik pribadi ini. Ia tidak meninggalkan satu fotopun. Lewat karya ini, sepanjang 20 abad ini, manusia mencoba mengenal "wajahnya", mengenal dan mendekati sang tokoh yang sabdaNya tidak pernah akan tenggelam itu.

30s AD?30-40?c.200 c.230
c.250 3rd C 3rd C 320
c.350 c.360 c.360 c.360
4th C c.370 c.360 late 4th C
4th C 4th C late 4thC4th C
395 4th C 400 c.420
c.450 5th C 5th C c.500
c500-26c.550 c.550 6th C
6th C 6th C 6th C 6th C
705 late 8thC early8thC9th C
c.900 989 late 11thCc.1070
c.1090 c.1100 c.1140 c.1140
1147 c.1175 12th C 12th C
1180-901200-101200-20c.1230
c.1235 c.1250 c.1250 1262
1280 1293 c.1300 1308
early13Cc.1425 c.1460 c.1450
1468 1479 late 15thC 1490
1500 1506 1518-20 1521
1532 c.1541
1601-021607 c.1650 17th-18thC
late 19thC19th C1973 1986
1992 20th C1999 2001
2001 2004