Saturday, September 6, 2008

Beriman dengan "Santai"


Minggu, 7 September 2008 | 03:00 WIB

ilham khoiri

Pada mulanya agama muncul sebagai ideologi yang membebaskan manusia dari berbagai persoalan hidup. Namun, setelah lama bergumul dengan sejarah kekuasaan sosial-politik-ekonomi, agama kerap menjelma sebagai rangkaian doktrin kaku, membelenggu, bahkan menakutkan. Bagaimana cara menyerap spirit awal agama yang membebaskan itu?

Cobalah beriman secara santai. Lampauilah formalitas agama, dan reguklah energi keimanan yang mencerahkan. Dengan begitu, nilai-nilai religius itu bakal menawarkan pengalaman pribadi yang menyentuh, terbuka, mengasah akal budi, sekaligus menumbuhkan gairah hidup yang lebih kreatif.

Seruan untuk ”beriman secara santai” semacam itu terasa saat membaca Pergulatan Iman (Nalar, Juli 2008). Buku setebal 216 halaman ini memang tak secara telak mengumbar kiat menemukan dimensi pembebasan. Namun, pengalaman keagamaan berbagai kalangan yang dirangkum buku ini bisa merangsang kita menelusuri ruang-ruang penghayatan yang lebih menggugah.

Pergulatan Iman adalah kumpulan wawancara dengan 29 tokoh seputar pengalaman keimanan. Mereka berasal dari aktivis perempuan, praktisi media, budaya, hukum, dan hak asasi manusia (HAM), politisi, pengamat ekonomi, politik, dan sosial. Mereka, antara lain, Munir (almarhum), Ahmad ”Dewa” Dhani, Dee Lestari, Ayu Utami, Wardah Hafidz, Gadis Arivia, Garin Nugroho, Andi Mallarangeng, Daoed Joesoef, Faisal Basri, dan Arief Budiman.

Menurut penyunting buku ini, Nong Darol Mahmada, semua wawancara itu hasil transkrip talk show program Jaringan Islam Liberal (JIL) yang dilakukan tahun 2002-2005. Wawancara tersebut disiarkan Kantor Berita Radio 68 H.

Santai

Bagaimana buku ini menawarkan cara beriman secara ”santai”? Meski diungkapkan dengan istilah berbeda-beda, sebagian besar pengalaman di sini menolak pendekatan agama yang legalistik (fiqhiyah), terlalu mementingkan ritual (syar’iyah), dan mau benar sendiri. Pemahaman formalistik itu dikhawatirkan mengentalkan sikap eksklusif, tak mampu menampung kenyataan hidup yang dinamis dan kompleks, dan akhirnya mengancam siapa pun yang berbeda pandangan.

Ambil contoh pengalaman aktivis HAM Munir. Lelaki yang meninggal di pesawat menuju Belanda tahun 2004 itu pernah menjadi Muslim radikal yang meyakini hanya kelompoknya yang paling benar, dan yang lain—termasuk fraksi lain seagama—sesat. Doktrin itu membuat dia selalu merasa terancam sehingga ke mana-mana harus membawa senjata tajam, siap terlibat konflik. Setelah bersentuhan dengan paham yang lebih moderat, Munir pun tersadar.

”Ekstremitas agama bisa menghancurkan peradaban manusia. Intoleransi, apa pun bentuknya, akan menghancurkan peradaban. Banyak orang beranggapan, mereka sedang membangun... tetapi, yang mereka bangun justru simbol-simbol yang menghancurkan peradaban,” papar Munir.

Aktivis Urban Poor Consortium (UPC), Wardah Hafidz, mencemaskan penafsiran agama yang sangat ritualistis. Katanya, ”Kalau orang menaruh tasbih di mobil lalu naik haji—walau merampas hak rakyat miskin, korupsi, dan membunuh—tetap dikatakan sebagai orang saleh. Di sinilah letak kemunduran masyarakat kita... sangat potensial jadi munafik.”

Dengan pengalaman berlainan, kritik serupa diungkapkan Gadis Arivia, Arief Budiman, Ahmad Dhani, aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM), Lies Marcoes-Natsir, pengamat politik, Eep Saifulloh Fatah, dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI periode 1978-1983 Daoed Joesoef. Bagi Daoed, agama yang diajarkan kepada dia sewaktu kecil adalah agama yang menakutkan.

”Kita tak boleh melakukan ini-itu dengan ancaman hukuman keras di neraka. Ketika saya bertanya, kenapa Tuhan begitu sadis, tangan saya dipukul dengan rotan yang ujungnya dibelah-belah,” papar dia.

Hampir semua narasumber mencemaskan penerimaan agama sebagai kewajiban sosial ketimbang penghayatan spiritual. Untuk kembali menyerap spirit agama yang mencerahkan, mereka berusaha menyemai nilai keagamaan secara pribadi, tanpa terjebak dalam aspek formalitas, langkah yang oleh Luthfi Assyaukanie diidentifikasi sebagai sikap kaum fideis. Lalu, apa yang mereka temukan setelah bersikap demikian?

Sejarawan dan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asvi Warman Adam, merasakan agama sebagai medium pembebasan. Aktivis hukum Bambang Widjojanto berharap agama bisa berdampak sosial lebih positif dan konkret, misalnya, untuk memberantas korupsi. Pengamat sosial Imam B Prasodjo menghargai Islam yang rahmatan lilalamin, mengasihi sesama, bukan menciptakan sekat-sekat yang memicu permusuhan.

Bagi Garin Nugroho, Islam ditantang untuk mewujudkan dirinya dalam keseharian. ”Seluruh pengalaman transendental ketuhanan diwujudkan dalam bentuk kehidupan sehari-hari, dalam bentuk cerita, puisi, dan sebagainya. Inilah yang menjadi nuansa paling indah dan menghiasi peradaban masa sekarang,” ungkap Garin.

Di luar itu buku ini juga menawarkan sisi-sisi unik yang jarang muncul dalam perbincangan seputar agama. Pengalaman keagamaan itu kerap begitu manusiawi, sekaligus juga mengejutkan: pelajaran mengaji yang kelewat ketat saat kecil, pemberontakan saat remaja, atau pilihan-pilihan rasional saat dewasa. Di sinilah ketegangan antara agama sebagai ajaran normatif yang berhadapan dan agama sebagai fakta historis kerap dibajak banyak kepentingan.

Buku ini semakin lengkap karena juga menyajikan pengalaman pemeluk agama lain di luar Islam. Ada Dee Lestari (yang waktu itu) memeluk Kristen lalu menemukan kesamaan semangat agama-agama secara makrifat. Ayu Utami yang Katolik terpesona kepada Tuhan, tetapi masih sulit mendamaikannya dengan kesenangan duniawi.

Relevan

Pergulatan Iman memperkaya literatur seputar pengalaman keagamaan yang personal, jujur, dan terbuka. Buku ini mengingatkan kita pada Pergolakan Pemikiran Islam, Catatan Harian Ahmad Wahib (Jakarta, LP3ES, 1981), yang membongkar pemahaman Islam dan Tuhan secara kritis.

Dalam konteks berbeda, feminis asal Kanada, Irsyad Manji, melancarkan gugatan terhadap formalisme agama lewat The Trouble with Islam Today (diterjemahkan dengan judul Beriman Tanpa Rasa Takut, April 2008, Nun Publisher).

Wacana keagamaan yang inklusif, membumi, toleran, dan bersemangat kekinian semacam itu selalu relevan bagi kehidupan masyarakat Indonesia yang plural. Wacana itu juga penting untuk mencairkan gejala puritanisme yang makin menguat belakangan ini.

Pengalaman pribadi dari berbagai kalangan dalam buku ini juga menyuguhkan alternatif di tengah dominasi otoritas tafsir oleh elite agama, katakanlah seperti kiai, pendeta, pastor, biksu, atau sarjana agama.

Lewat diskusi terbuka, pemaknaan agama bisa dilakukan secara lebih rileks. Sejauh dilandasi sikap rendah hati dan tidak memutlakkan kebenaran, perbincangan ini patut diteruskan untuk mendewasakan cara beragama kita yang masih kerap kekanak-kanakan.