Showing posts with label Kisah. Show all posts
Showing posts with label Kisah. Show all posts

Thursday, August 7, 2008

Daliyem, "Onthel" dan Anak-anaknya

Kompas: 01 Mei 2006

Siwi Yunita Cahyaningrum

Ke mana pun pergi, Daliyem (66) selalu ditemani sepeda onthel yang telah berkarat di beberapa bagiannya. Katanya, onthel itu usianya lebih dari setengah abad.

Usman (almarhum), yang sejak tahun 1958 menjadi suami Daliyem, membeli onderdil sepeda onthel satu per satu tahun 1952. "Akhirnya jadi onthel karena dirakit Bapak," tutur Daliyem.

Mungkin Daliyem tak pernah menduga akan membangun rumah tangga bersama Usman seperti merakit onderdil onthel satu demi satu. Pasangan ini memiliki 13 anak, tetapi menganut "paham" tak boleh ada anak terabaikan, apalagi telantar. Mereka pasrah dalam kesederhanaan. Daliyem hanya mengandalkan gaji sebagai guru SD, sedangkan Usman berprofesi sebagai hakim di Pengadilan Agama Wates, Kulonprogo, yang saat pensiun pada 1997 terakhir menjabat sebagai Kepala Pengadilan Agama Wates.

Jabatan suaminya tak membuat Daliyem risi mengendarai onthel. Dalam berbagai aktivitas, dari mengajar sampai jualan sayur, onthel tak lepas dari kehidupannya. Kini di rumahnya bahkan ada lima onthel yang dulu dipakai bersekolah anak-anaknya.

Daliyem mengaku tak mudah membesarkan, apalagi menyekolahkan, anak dalam kondisi ekonomi serba pas-pasan. Tahun 1970-an Daliyem dengan sabar dan adil membagikan jatah makanan kepada ke-13 anaknya. "Tak jarang anak-anak saya ajari makan singkong atau gaplek. Nanti kalau beras mahal agar mereka biasa makan singkong," ujar Daliyem.

Kini aktivitas sehari-hari Daliyem, selain mengurus rumah, adalah menjadi kader posyandu dan mengikuti pengajian kampung di Dusun Samparan, Desa Caturharjo, Kabupaten Bantul, tempat ia tinggal.

Sarjana semua

Sebenarnya 14 anak lahir dari rahim Daliyem, tetapi anak paling sulung meninggal ketika berusia sepekan. Ia mampu membesarkan seluruh 13 anaknya hingga lulus perguruan tinggi dan bekerja di masyarakat.

Didik Akhmadi Ak MCom (44), putra pertamanya, kini menjadi staf ahli DPR bagian anggaran sekaligus dosen di Universitas Indonesia, Ir M Zarqoni (42) lulusan Institut Pertanian Bogor (IPB), Dra Siti Endah Maronatun (40) lulusan Universitas Gadjah Mada (UGM).

Anaknya yang lain, dr Muromi Nurillah (38), dokter lulusan Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS), Anni Mutmainnah SP lulusan IPB, dan Dipl Ing H M Abdul Kholiq MSe (36) kini sedang melanjutkan studi di Jerman untuk meraih gelar doktor.

Selanjutnya ada dr Fitri Nurkhurrohman (34), disusul Lettu Tholib Fatkhurrohman SSi Apt (32) anggota TNI Angkatan Laut, Muhammad Dzulqornain ST, lulusan Institut Teknik Bandung (ITB), dan dua putri selanjutnya adalah dokter lulusan UGM, yakni dr Ana Fauziati (26) dan dr Eva Byuti Zumrudah (24). M Shodiq Abdul Khannan ST (24) kini pegawai negeri sipil di Kopertis V Yogyakarta dan si bungsu Mutiara Wati Wulansih (20) masih belajar di Jurusan Arsitektur UNS.

Selain dari orangtua, seluruh anak Daliyem juga membiayai pendidikan secara "tanggung-renteng". Jika anak yang lebih besar telah bekerja, ia "wajib" membiayai pendidikan adiknya. Begitu selanjutnya. Daliyem mengaku tak pernah mewajibkan penanggungan seperti itu. Kepada anak-anaknya sejak kecil ia tanamkan nilai kebersamaan. "Apa-apa harus ditanggung bersama," ujar Daliyem.

Biasa sederhana

Usman lahir dari keluarga petani, tetapi berkat kegigihannya ia berhasil menjadi hakim agama. Adapun Daliyem berasal dari keluarga buruh.

Bulgur, nasi tekat (campuran ketela dan kacang), serta baju bagor pernah mewarnai kehidupan keluarga ini zaman krisis tahun 1966. "Gaji suami dan saya hanya cukup memenuhi kebutuhan selama dua pekan. Terpaksa saya harus mencari penghasilan tambahan dengan berdagang sayur," ungkap Daliyem.

Pada tahun-tahun itu sebelum berangkat mengajar Daliyem berjualan sayur di Pasar Patangpuluhan, Yogya. Waktu itu pun sepeda onthel-nya yang tua dan ringkih sudah menjadi teman seperjuangan, sementara suaminya belajar di Pendidikan Hakim Islam Negeri Yogyakarta. Usman kemudian melanjutkan kuliah atas biaya negara di Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

"Sepulang sekolah atau kerja Bapak ikut berjualan di pasar," tutur Daliyem.

Daliyem mengaku terbiasa bangun ketika matahari belum menyingsing. Lalu ia menyiapkan sarapan sekaligus makan siang, berangkat bekerja, pulang ke rumah, dan kembali mengurusi anak-anak dan urusan rumah tangga. Setelah itu ia menyiapkan bahan pengajaran sekolah tempatnya mengajar hingga mengaji sampai larut malam.

Sungguh tidak mudah membesarkan begitu banyak anak di tengah ekonomi yang mengimpit. Apalagi rumah mereka seukuran 100 meter persegi yang diisi 16 orang (13 anak, suami-istri Usman, dan ibu dari Usman). Karena itu, Daliyem harus mencatat segala pengeluaran rumah tangga secara ketat.

Ketika Usman meninggal dua tahun lalu, praktis kehidupan keluarga ini ditopang anak-anak yang bekerja. Namun, Daliyem tetap seperti semula. Memang, ia tidak lagi berjualan sayur untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, tetapi memilih terlibat dalam segala kegiatan sosial di kampungnya.

Ia sampai hari ini tetap mengendarai sepeda onthel hasil rakitan suaminya. Barangkali sepeda kenangan itulah yang tetap mengingatkannya bahwa membangun rumah tangga mesti melewati proses kerja keras bersama-sama sebelum memetik hasil.

Bayaran Guru Desa 80 Kaleng Beras...

Kompas:15 Mei 2005

SUDAH enam bulan ini Raja Dima Siregar (37) mengajar lima kelas di SD Dusun Sigoring-goring tanpa gaji. Lelaki itu hanya dijanjikan akan mendapat bayaran beras sebanyak 80 kaleng (satu kaleng sekitar 16 kg) atau setara dengan 1.280 kg per tahun oleh para orangtua murid pada akhir tahun ajaran nanti.

MESKI demikian, satu-satunya guru di SD Dusun Sigoring-goring, Desa Pangirkiran Dolok, Kecamatan Binanga, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, itu tak mengeluh dengan apa yang ia dapatkan. Yang ia gelisahkan justru nasib anak-anak didiknya yang belajar dengan buku pelajaran kedaluwarsa.

Hingga kini murid-murid SD Dusun Sigoring-goring harus belajar dengan menggunakan buku-buku pelajaran kejar paket A, B, dan C terbitan tahun 1997, yang sebenarnya ditujukan untuk ujian persamaan.

Fasilitas SD satu-satunya di dusun itu sangat minim. SD tersebut hanya memiliki satu ruang kelas sehingga seluruh siswa mulai dari kelas 1 hingga kelas VI, bercampur dan gurunya hanya seorang.

Menurut Raja Dima, sekolah itu dibangun secara swadaya oleh masyarakat pada tahun 1982. Sejak dibangun, belum ada bantuan sedikit pun dari pemerintah.

Tahun ini SD yang berada di tepi hutan eukaliptus milik Toba Pulp Lestari itu hanya memiliki 27 siswa, yaitu kelas I sebanyak sembilan siswa, kelas II delapan siswa, kelas III tujuh siswa, kelas IV satu siswa, dan kelas VI dua siswa. Kelas V tidak ada siswanya. "Semakin tinggi kelasnya, siswanya makin sedikit karena banyak yang putus di tengah jalan. Anak-anak membantu orangtuanya bekerja sehingga jika dirasa sudah cukup bisa membaca, menulis, dan berhitung, mereka tidak pergi ke sekolah lagi," katanya.

Dusun Sigoring-goring berada jauh di pedalaman Sumatera Utara, diapit hutan register 40 Tapanuli Selatan dan hutan tanaman produksi milik PT Toba Pulp Lestari (TPL). Dusun itu dihuni 40 keluarga atau 285 jiwa, terpencil dari dusun lain, dan tak terjangkau listrik, apalagi telekomunikasi.

Untuk mencapai kota Kecamatan Binanga sedikitnya perlu 14 jam perjalanan darat dari Medan atau sekitar empat jam dari ibu kota Kabupaten Tapanuli Selatan, Padang Sidempuan. Dari Binanga ke desa itu, perjalanan menembus belantara sejauh 22 kilometer. Hanya mobil-mobil gardan ganda pengangkut kayu yang sanggup melintasi jalan lumpur menuju dusun tersebut.

MINGGU siang siswa SD Sigoring-goring tetap masuk sekolah. Mereka libur pada hari Kamis bersamaan dengan pekan di kota Binanga. Saat hari pekan, orangtua termasuk Raja Dima bisanya pergi ke kota untuk menjual hasil pertanian dan membeli barang kebutuhan selama seminggu.

Siang itu para siswa yang berseragam coklat bercampur dengan yang berseragam merah putih dan sebagian lainnya yang tidak berseragam. Hampir semua anak tidak memakai alas kaki, sedangkan Raja Dima hanya mengenakan sandal jepit.

Tak seorang siswa pun yang memiliki buku-buku pelajaran. Mereka hanya mengandalkan keterangan dari guru yang menggunakan materi pelajaran dari buku-buku yang sudah kedaluwarsa tersebut. Kendati demikian, anak-anak itu mencatat pelajaran di buku tulis mereka dengan semangat.

Bocah-bocah dusun tersebut belajar di dalam bangunan tunggal sekolah dari papan yang dibagi menjadi dua ruangan dan dibatasi sekat papan semiterbuka. Terdapat dua papan tulis yang dipakai secara bersama-sama oleh lima kelas.

Setelah menuliskan pelajaran untuk kelas I, Raja Dima kemudian menghapusnya dan ganti menuliskan bahan pelajaran untuk kelas II, demikian seterusnya. Raja Dima juga harus hilir mudik menerangkan pelajaran yang ditulisnya di dua papan tulis tersebut.

"Sekarang pertanyaan untuk kelas III, orang yang pekerjaannya mencari ikan di laut apa?" kata Raja Dima.

Suasana hening. Tak seorang siswa pun menjawab. Pertanyaan yang mungkin akan dijawab dengan mudah oleh anak-anak SD kelas I di kota itu terasa sulit bagi anak-anak dusun.

Raja Dima harus menjawab sendiri pertanyaannya. Dengan sabar ia menerangkan, ada dunia di luar sana yang digeluti oleh nelayan. "Nelayan ini harus bekerja keras untuk hidup, seperti bapak-bapak kalian yang menjadi petani. Bedanya, kalau petani bekerja di ladang dengan parang dan cangkul, nelayan bekerja di laut dengan jala dan pancing," katanya.

Raja Dima menjadi guru di sekolah tersebut sejak bulan Desember 2004. Guru sebelumnya mengundurkan diri pada bulan Oktober 2004 sehingga selama tiga bulan kegiatan belajar-mengajar di SD tersebut sempat terhenti. "Karena tidak ada yang mau mengajar, saya kasihan kepada anak-anak. Apalagi banyak orangtua murid berharap saya bisa mengajar anak-anak itu. Akhirnya saya jadi guru mereka," kata lelaki lulusan madrasah aliah negeri (MAN) di Gunung Tua, Tapanuli Selatan.

"Di sini guru dibayar dengan beras sebanyak 80 kaleng setahun. Jelas bayaran tersebut tidak memadai sehingga kebanyakan tidak tahan. Tetapi, saya tidak bisa menuntut bayaran lebih karena memang masyarakat di sini juga tidak mampu. Toh dua anak saya juga ikut sekolah di sini," kata lelaki yang juga alumni SD Sigoring-goring itu.

Untuk menutupi kebutuhan hidupnya, Raja Dima lebih mengandalkan kerja kerasnya sebagai petani. Lelaki muda berputra tiga ini menggarap sawah sekitar 2.500 meter persegi yang menghasilkan beras sebanyak 100 kaleng. Beras sejumlah itu biasanya cukup untuk makan sehari-hari dan sisanya dijual untuk biaya hidup. Semenjak dia menjadi guru, pengelolaan sawah lebih banyak dilakukan istrinya.

Untuk kebutuhan sehari-hari, Raja Dima dan warga desa yang lain mengandalkan hasil tanaman karet yang ditanam di tanah adat Desa Pangirkiran. Rata-rata per orang memiliki dua hektar yang ditanami 200 pohon.

Namun, semenjak enam bulan lalu ladang karet warga Desa Pangirkiran, termasuk milik warga Sigoring-goring, musnah dibakar bersamaan dengan pembakaran oleh perusahaan perkebunan nasional yang hendak membuka kebun sawit di kawasan tersebut. Dalam pembakaran itu, 17 rumah warga Sibenggol serta satu sekolah dan mushala ikut dibakar. Kini warga Sibenggol mengungsi ke dusun-dusun lain di Desa Pangirkiran, termasuk di Dusun Sigoring-goring.

Raja Dima dan warga desa lain yang terdiri dari enam dusun sempat melawan perusahaan tersebut. Namun, mereka kalah. Saat ini Dusun Sibenggol dan bekas ladang mereka telah dikelilingi parit oleh perusahaan tersebut. Tak seorang warga dusun pun yang berani ke sana karena tanah tersebut dijaga para centeng yang bersenjata.

"Kami miskin. Dan orang miskin dalam cerita negeri ini selalu kalah," kata Raja Dima. Ia mengaku sempat memimpin perlawanan dengan melakukan demonstrasi ke kabupaten. Bukti perlawanan itu, yaitu berupa bait-bait puisi Darah Juang karya Wiji Thukul, masih ditempel di dinding kelasnya.

"Di sini negeri kami, tempat padi terhampar, samuderanya kaya raya, tanah kami subur Tuhan. Di negeri kami ini berjuta anak rakyat tertindas duka, anak tani tak sekolah, pemuda tak bekerja... Puisi-puisi ini sepertinya mewakili suara kami. Saya mendapatkannya dari teman-teman dari Bina Keterampilan Desa yang mendampingi warga di sini. Biarlah puisi ini tertempel di kelas ini agar terus dibaca anak-anak kami sebagai bukti perlawanan orangtua mereka," kata Raja Dima.

Kini harapan Raja Dima memang kian pupus. Bayang-bayang kekalahan tak terelakkan. Masa depan suram anak-anak didiknya, termasuk anak-anaknya, menggelisahkannya tiap hari. "Entah mau jadi apa anak-anak nantinya? Tanah-tanah terus direbut bahkan rumah dan kebun dibakar habis. Tetapi, siapa juga yang peduli?" kata Raja Dima, seolah bicara pada dirinya sendiri. (AHMAD ARIF)

Saturday, June 7, 2008

Anak Cerdas

Ingin Jadi Wartawan, Buat Buletin Korap Cak
Cita-cita menjadi wartawan membuat BMZ menjadi bocah yang kreatif. Tulisan pada buletin yang dibuatnya seakan meneguhkan keinginannya menjadi seorang jurnalis. Namun, kreativitasnya itu berujung pada kasus pidana, karena dia kini tersangkut pencemaran nama baik.

Mardi Sampurno
---

Meski BMZ menyandang predikat tersangka dalam kasus pidana, namun tak sedikit pun rasa malu ataupun khawatir yang terlihat dari raut wajahnya. Tetap ceria dan gemar berceloteh tentang semua apa yang diamati. Begitulah ekspresi saat kali pertama Radar berkunjung ke rumahnya di Kompleks Perum Persada Bhayangkara, Singosari, Minggu (11/5) lalu. "Wah, masuk koran. Bisa terkenal dong," ujarnya sambil mengulurkan tangan kanan menyalami wartawan koran ini.

Khoirul Abadi, 44, ayah BMZ yang ikut mendampingi langsung merespons sikap anaknya. "Katanya ingin jadi wartawan, nah ini ada orangnya," sahut bapak tiga anak yang kesehariannya menjadi dosen di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).

Khoirul mengatakan, anak pertamanya ini memang bercita-cita menjadi wartawan. Tak heran jika selama ini banyak karya tulisan asal-asalan yang berbau karya jurnalistik.

Lihat saja buletin mini karyanya yang diberi nama Korap Cak! yang merupakan kepanjangan dari Korane Wong Sarap Cak. "Entah apa maksudnya, namun yang jelas itu hanya sekadar ungkapan tanpa makna yang menunjukkan kreativitasnya," ujar Khoirul.

Buletin ini sudah dibuat sebanyak dua kali. Buletin mini ini dibuat sangat sederhana berisi kumpulan esai dan tempelan guntingan gambar foto yang diambil dari koran atau majalah. Untuk karyanya itu, bocah yang hobi main sepak bola ini memanfaatkan kertas sisa milik ayahnya yang tak terpakai.

Dari buletin itu, sekilas bisa dilihat jika BMZ memang superkreatif sekaligus banyak hal yang lucu. Tampilan halaman depan salah satu buletinnya yang menampilkan guntingan foto pejabat sedang berceramah di depan warga.

Pada teks foto diberi tulisan HANYA BENGONG: Pakde Yit ngapusi wong-wong. Sedangkan judul berita tersebut adalah Pakde Ngapusi?. Inti beritanya, Pakde Yit sedang pidato di depan warga dan para perangkat desa bahwa sebentar lagi mereka bakal mendapat bantuan langsung tunai dari pemerintah. Namun saat itu warga sedang membutuhkan fasilitas mandi cuci kakus (MCK). Dirasa tak sesuai keinginan, BMZ menilai jika Pakde Yit ngapusi (membohongi, Red) warga.

Di buletin itu juga, tak lupa dicantumkan acara stasiun televisi yang diberi nama "Duren TV". Acara favorit pukul 04.00-05.00, yakni ketiban duren. Dan pukul 05.00-06.00 dilanjutkan acara makan duren.

Hal serupa juga ditunjukkan di rubrik olahraga. Dia memasang gambar mobil balap F-1 yang dikendarai Felipe Massa. Dalam gambar itu Felipe Massa membuka sedikit helmnya.

Dari gambar itu, teks foto berbunyi jika mobil Felipe sedang mogok dan pengemudinya mencoba menyembuyikan rasa malunya dengan membuka sedikit kaca helmnya.

Dalam beritanya, bocah pengemar busana T-shirt ini melakukan wawancara imajiner dengan Felipe di Australia. Salah satu kutipannya "My car is very bad!," ungkap Felipe, saat ditemui tim Korap Cak di Australia.

Tak lupa, di buletin itu dibumbui dengan iklan versinya. Baik itu iklan lowongan maupun iklan jasa. Bahkan, dia juga membuat 10 peribahasa yang dipelesetkan.

Contohnya: Air susu dibalas dengan airmail=Kebaikan sesorang dibalas dengan surat; Ma’lu bertanya ma’gue yang jawab=Ibumu tanya, ibuku menjawab; Nasir sudah menjadi tukang bubur=Nasir sudah dapat kerja; dan serigala berbulu ayam=Serigala terkena kutukan.

Karena kreativitasnya itu, BMZ yang kini siswa kelas II MTs ini didapuk menjadi pengurus majalah sekolah. "Saya sudah mengisi satu kali tulisan tentang tokoh-tokoh wanita penting di Indonesia. Sedianya bulan depan baru akan terbit," kata BMZ. Bahkan, karena kepiawainnya itu pula, dia kerap meraih peringkat 10 besar di kelasnya.

Disinggung tentang ulah usilnya menulis selebaran di gerbang sekolah Bani Hasyim, BMZ mengaku menyesal. "Saya harus banyak mengendalikan diri saya. Saya salah dan minta maaf kepada Pak Aji (Aji Dedi Mulawarman, Red)," pintanya.

Menurutnya, tak ada sedikit pun niatan untuk mengejek atau mempermalukan sekolah. Dengan tulisan itu, dia berharap bisa melihat teman-temannya tertawa. "Saya hanya ingin dua teman saya (Fj, 13 dan Kr, 9) tersenyum melihat tulisan itu," katanya.

Meski sudah sebagai tersangka, BMZ mengaku tak bersedih. "Saya tetap enjoy, karena kedua orangtua serta teman-teman sekelas saya mengatakan jika saya sekarang sedang diuji dan saya harus lulus menghadapi ujian ini," katanya lirih.

Ada satu hal yang ditakutkan ketika kelak menghadapi persidangan. Dia mengaku grogi saat duduk di kursi pesakitan sebagai terdakwa. "Yang pasti rasanya berbeda ketika duduk di bangku sekolah atau bangku di rumah. Katanya kursinya jika diduduki rasanya panas," katanya.

Sementara itu Khoirul mengatakan, anak pertamanya ini memang terlihat berbeda dengan beberapa teman sepermainannya. Sejak duduk di bangku madarasah, dia tampak cukup cerdas. "Dia selalu bertanya tentang apa yang dilihat," tegasnya.

Jika tak puas, dia mencoba membuktikanya sendiri. "Pokoknya mirip wartawan, banyak tanya dan selalu ngeyel untuk mempertahankan argumennya. Karena itu kami sempat kewalahan mengarahkannya," kata Khoirul.

Kesehariannya, bocah yang gemar membaca novel ini, meluangkan sebagian waktunya untuk membuka internet. "Kemungkinan dari situlah membuat dia banyak tahu tentang informasi terkini tentang banyak hal. Termasuk juga kemampuan berimprovisasinya yang menurut kami jauh dari anak-anak seusianya," tambahnya.

Khoirul menyadari peristiwa yang menimpa anaknya kali ini cukup berat. Namun dia mencoba mengambil hikmah dari semuanya. Khoirul berjanji akan mengawasi serta mengarahkan anaknya agar tidak mengulangi perbuatannya.

Seperti diketahui, BMZ dipolisikan oleh pengelola TK-SD Model Bani Hasyim, Aji Dedi Mulawarman, 25 Februari lalu ke Polsek Singosari. Tuduhannya melakukan pencemaran nama baik dengan cara menista melalui tulisan yang diatur dalam pasal 311 ayat 1 subpasal 310 ayat 2 KUHP. Bocah ini membuat poster pengumuman fiktif tentang informasi penjualan sekolah berikut gedung olahraga Bani Hasyim. Kini kasusnya ditangani Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Malang dan dalam waktu dekat bakal dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Kepanjen. (*/ziz)

JAWA POS Radar Malang, Selasa, 13 Mei 2008


Kisah Unik Soekarno

"Perintah pertama Presiden Soekarno saat dipilih sebagai presiden pertama RI,
bukanlah membentuk sebuah kabinet atau menandatangani sebuah dekrit,
melainkan memanggil tukang sate !!!

Itu dilakukannya dalam perjalanan pulang, setelah terpilih secara aklamasi sebagai presiden.
Kebetulan di jalan bertemu seorang tukang sate bertelanjang dada dan nyeker (tak memakai alas kaki).

"Sate ayam lima puluh tusuk!", perintah Presiden Soekarno, yang penggemar sate.
Disantapnya sate dengan lahap dekat sebuah selokan yang kotor.

Dan itulah, perintah pertama pada rakyatnya,
sekaligus pesta pertama atas pengangkatannya sebagai pemimpin dari 70 juta jiwa lebih rakyat
dari sebuah negara besar yang baru berusia satu hari.

* * *

Rasa-rasanya di dunia ini, hanya the founding fathers Indonesia yang pernah mandi air seni.
Saat pulang dari Dalat (Cipanasnya Saigon), Vietnam, 13 Agustus 1945,
Soekarno bersama Bung Hatta, dr Radjiman Wedyodiningrat dan dr Soeharto (dokter pribadi Bung Karno),
menumpang pesawat fighter bomber bermotor ganda. Dalam perjalanan, Soekarno ingin sekali buang air kecil,
tetapi tak ada tempat.

Setelah dipikir, dicari jalan keluarnya untuk hasrat yang tak tertahankan itu.
Melihat lubang-lubang kecil di dinding pesawat, di situlah Bung Karno melepaskan hajat kecilnya.
Karena angin begitu kencang sekali, tersemburlah air seni itu dan membasahi semua penumpang

Sumber: Harian Suara Merdeka