Thursday, August 7, 2008

DUNIA ASING

Dalam sebuah novelnya, novelis Jerman Herman Hesse bercerita tentang seorang anak bernama Sinclair. Si kecil Sinclair mengalami suatu dunia yang menyenangkan di rumah maupun di sekolah. Di rumah ia akrab dengan papa dan mamanya, akrab dengan saudara-saudaranya. Demikian pun di sekolah ia akrab dengan teman-teman dan gurunya. Rumah dan sekolahnya adalah tempat yang ia senangi. Namun ada tempat yang paling dia benci. Tempat itu terletak hanya 100 meter dari rumahnya. Di sana ada sebuah gardu tempat mangkal Frank Kramer, seorang pemuda berandalan. Setiap berangkat atau pulang sekolah, si kecil Sinclair pasti dicegat oleh Kramer, dan sering dikompas dengan paksa. Tak jarang pula ia dipukul tanpa alasan yang jelas. Sinclair tidak bisa tidak harus lewat tempat itu, satu-satunya jalan untuk pergi ke sekolah maupun pulang dari sekolah harus melewati gardu brengsek itu.

Dengan kisah ini, Hesse mau mengatakan bahwa dalam hidup kita ini ada semacam ‘dua dunia’. Ia menyebutnya ‘dunia asing’ dan ‘dunia akrab’. Dunia asing adalah suatu dunia yang membuat orang merasa tidak krasan, merasa takut, merasa tidak diterima, tidak aman, dan terancam. Sedang dunia akrab adalah suatu dunia yang membuat orang merasa krasan dan aman, merasa diterima, dan damai.

Apakah dunia kita sekarang semakin berkembang sebagai dunia akrab atau sebaliknya semakin menjadi dunia asing? Dunia asing dalam kehidupan kita dewasa ini nampaknya ada di mana-mana dan semakin luas, tidak sesempit dunia asing si kecil Sinclair yang di sekitar gardu Kramer. ‘Gardu-gardu’ yang menampilkan dunia asing bisa ada di mana-mana.

Dunia asing bisa ada di lingkungan sekitar kita, bisa ada di tempat kerja kita, di sekolah, bahkan di lingkungan Gereja, malahan pula juga di rumah, tempat kita sehari-hari hidup. Ada anak yang tidak krasan di rumah, berhari-hari tidak pulang dan lebih suka tidur di tempat mangkalnya, adalah sutu contoh bahwa rumahnya mungkin bagi si anak adalah dunia asing. Juga sekolah, tidak sedikit anak-anak sekolah itu lebih suka nongkrong di perempatan daripada duduk belajar di kelasnya. Mungkin kelas, guru-guru, teman dan pelajaran-pelajaran merupakan dunia asing pula baginya. Stress di tempat kerja, takut pada pimpinan, kenaikan pangkat dipersulit, karena ia minoritas, adalah contoh-contoh ‘dunia asing di tempat-tempat kerja. Antar tetangga tidak saling kenal, pagar rumah di buat tinggi-tinggi, karena takut barangnya dicuri tetangga, Natalan dan Idul Fitri tidak saling bersilaturahmi, walau rumah hanya dibatasi pagar tipis adalah contoh dunia-dunia asing dalam lingkungan kita. Dalam Gereja? Ada umat yang malas ke Gereja, kalau pun datang habis komuni langsung amblas, enggan ngobrol dengan sesama umat, enggan bertemu si Gembala, doa lingkungan pun enggan. Mengapa? Mungkin salah satunya karena Gereja belum dirasakan sebagai dunia akrab. Bagaimana dalam kehidupan masyarakat? Di perempatan ramai pun kita dikompas orang, orang ragu-ragu memarkir sepeda motor di halaman rumah, takut dikemplang orang. Saudari-saudari keturunan Cina diperas macam-macam, karena mereka dianggap bukan ‘orang pribumi’, ataupun orang-orang minoritas terpaksa nunduk-nunduk supaya bisa aman. Kita masih dapat menemukan contoh-contoh lain yang tak dapat dihitung jumlahnya.

Rasanya dunia semakin asing bagi kita. Dan dunia yang asing ini ternyata bukan ada di tempat yang jauh, tetapi begitu dekat setiap hari dengan batang hidung kita. Dunia rasanya semakin sulit menjadi tempat yang layak dihuni oleh siapa saja. Rasa damai, diterima dan aman, rasanya semakin mahal harganya. Dan untuk memperoleh damai kita harus membelinya dengan harga yang mahal. Membangun tembok yang tinggi, menggaji satpam, memasang gembok yang besar, nunduk-nunduk pada yang kuat dan yang lebih banyak, nyogok orang kuat, dsb. Hal-hal macam ini umum dan banyak dilakukan orang sekarang ini untuk memperoleh rasa aman, rasa aman yang sebetulnya semu.

Mengapa dunia asing sekarang ini semakin banyak kita temui? Mengapa dunia semakin sulit menjadi tempat yang layak dihuni? Henri Nouwen, seorang penulis rohani terkenal jaman kita ini pernah mengatakan bahwa tidak jarang kita ini tidak membangun ‘rumah yang bernafaskan kasih kasih’, tetapi ‘rumah yang menebarkan ketakutan.‘ Mungkin benar bahwa tempat-tempat kita hidup sekarang ini, entah rumah, sekolah, Gereja, tempat kerja, lingkungan, dan masyarakat semakin sedikit bernafaskan kasih. Yang lebih sering ditebarkan adalah ketakutan. Di lingkungan-lingkungan yang seharusnya paling akrab pun: rumah, sekolah, Gereja, lingkungan, nafas kasih semakin tipis. Orang semakin sibuk dan di kejar-kejar banyak urusan. Nafas kasih tidak sempat dihirup, sehingga juga semakin sulit mengeluarkan kasih. Terlebih dalam masyarakat luas yang dibalut begitu banyak persoalan dan krisis. Yang kita hirup adalah nafas-nafas ketakutan, sehingga yang kita tebarkan pun ketakutan.

Di tengah tantangan ini mungkin kita perlu lebih masuk dalam lubuk hati kita masing-masing. Jika kita sungguh mau masuk dalam lubuk hati kita masing-masing kita akan menemukan kerinduan yang amat dalam untuk hidup dalam damai, merasa diterima dan aman. Dan kemudian juga akan sadar bahwa dalam lubuk hati setiap orang juga terdapat dambaan yang sama. Tidak ada orang orang yang ingin hidup dalam situasi takut, tidak aman, terancam, terasing dan kesepian. Memang manusia itu fragile, rapuh, tidak cukup kuat bertahan sendiri tanpa kasih orang lain. Manusia tidak cukup kuat hidup dalam rumah yang miskin kasih. Sadar akan hal itu lalu kita didorong sedikit-sedikit membangun tempat hidup kita semakin menjadi komunitas, co-unus, tempat bersama-sama (saling) mendukung menjadi satu, dan bukan semakin menjadi dunia asing yang menakutkan.

Ig. Budiono

No comments: