Monday, October 8, 2007

Biji yang jatuh dan menghasilkan buah melimpah

Mengenang Yohanes Paulus II

“Jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah” (Yoh 12,24). Betapa kata-kata Yesus ini terasa sungguh kebenarannya, menyaksikan apa yang terjadi di Roma pada bulan april 2005 ini. Para wartawan di Roma menyebut hari-hari itu sebagai ‘hari-hari paling cemerlang kepausan Yohanes Paulus II’. Selama 26 tahun lebih tak pernah lelah ia mewartakan Injil. Dengan sakitnya ia juga tetap berusaha ‘berbicara’, lewat ‘penderitaanya’. Dan sekarang dengan kematiannya ternyata ia tetap memberi kesaksian, bahkan seolah-olah mampu “berbicara” jauh lebih kuat kepada dunia. Tak seorang-pun menduga sebelumnya, bahwa kematiannya mampu memanggil dan menyatukan begitu banyak orang. Terasa benar Sabda Yesus bahwa biji gandum yang jatuh dan mati - menghasilkan banyak buah.




Doa khusuk: “doakanlah kami yang berdosa ini sekarang dan waktu kami mati”
Anak-anak tahu Paus begitu mencintai mereka, dan mereka juga mencintai Paus
.

Kamis sore, 31 Maret tersebar berita bahwa keadaan Bapa Suci semakin gawat. TV-TV Italia dari saat itu melaporkan berita terakhir dari menit-ke menit. Puluhan stasiun TV dari banyak negara dalam sekejap telah siap dengan segala peralatan. Beberapa stasiun TV Itali bahkan hampir membatalkan semua programnya dan menyiarkan program khusus peristiwa-peristiwa sekitar Paus. Sore hari umat mulai mengalir ke lapangan Santo Petrus dengan lilin dan Rosario di tangan untuk berdoa. Jumat, 1 April tengah hari, Joaqin Navarro Valls, juru bicara Vatikan memberikan keterangan pers tentang keadaan terakhir Sri Paus. Dikatakan bahwa beliau dalam keadaan sadar penuh. Beliau ingat hari itu hari jumat, dan meminta doa jalan salib, praktek yang tak pernah lupakan semenjak imam muda. Beliau juga meminta asistennya membacakan bacaan dari Kitab Suci. Sore hari lapangan padat dengan umat, tua muda, dengan lilin dan Rosario di tangan, berdoa untuk dan bersama sang bapak. Berdoa secara pribadi, dan kelompok-kelompok kecil dan kemudian juga Rosario bersama. Doa Rosario, inilah yang rupanya satu-satunya diminta Paus pada mereka yang datang untuk menemani dia pada saat-saat sakrat maut. Terasa kemudian betapa doa sederhana itu punya makna yang dalam ‘lebih dari biasanya’ dan menyentuh. “Doakanlah kami yang berdosa ini sekarang dan waktu kami mati”.

Umat menyertai saat-saat terakhir Bapa Suci dengan Rosario


Maria memang punya tempat istimewa bagi hidup Paus ini. “Totus Tuus ego sum”, semboyan ke-pausannya, “diriku (semuanya) milik/untukmu.” “A man of Rosary”, manusia Rosario, tulis majalah TIME mendifinisikan Paus ini ketika mereka memilihnya sebagai Man of the Year pada tahun 1994. “Paus Maria”, tulis banyak wartawan Itali, melukiskan kedekatan Paus yang telah ditinggal ibunya sejak kecil ini dengan Maria”. Kita bisa mengingat secara khusus Paus mempersembahkan sebuah ensiklik Redemptoris Mater pada tahun 1987, lalu menulis Surat Apostolik Rosarium Virginis Mariae, menambahkan “Peristiwa Cahaya” dalam tradisi doa kita itu dan menyatakan Okt 2002-Okt 2003 sebagai tahun Rosario. Tak dapat disangkal kedekatannya dengan Maria dibentuk oleh pengalaman hidupnya, antara lain sejak kecil telah ditinggal ibunya, dan oleh tradisi religius Polandia yang kuat. Secara istimewa ia merasa dilindungi oleh Maria dalam usaha pembunuhan yang dialaminya pada tgl 13 Mei 1981 itu. Tentang peristiwa itu, dalam surat wasiatnya ia menulis, bahwa hidupnya diperpanjang oleh Allah, dan secara istimewa rahmat hidup diberikan lagi kepadanya. “Manusia pendoa,” tulis majalah TIME juga tentang dia. “Dia membuat keputusan-keputusannya di atas lututnya”, artinya dengan dan di dalam doa. Sungguh mengesan bahwa di tengah kesibukannya yang luar biasa itu, setiap hari Paus ini mampu menyediakan waktunya 4 jam untuk berdoa. Jika malam-malam, sekitar jam 11 kita melawati lapangan st. Petrus, ada satu jendela di atas sana sedang menyala. Itu adalah jendela kapel pribadi sri Paus dan di sana ia sedang berdoa setiap malam selama 45 menit.

Sore itu juga (1 April) di Basilika St. Yohanes Lateran diselenggarakan Misa bagi paus, dipimpin Kardinal Camilo Ruini, Vicaris Sri Paus untuk Keuskupan Roma. Misa dihadiri Presiden Italia, ribuan umat, terutama kaum muda. “Sahabat kaum muda” adalah difinisi yang diberikan oleh kaum muda sendiri pada Paus ini. Mereka ingat persis bagaimana ia ikut menyanyi dan bergerak bersama mereka, memainkan tongkatnya, ketika ia sudah mulai sakit dan kesulitan berjalan. Maka tak mengherankan ribuan anak muda menyerbu lapangan dan tidak sedikit dari mereka yang menunggu sampai pagi. Berdoa dan menyanyi, sambil melawan dinginnya malam. Beberapa kata-kata terakhir Paus yang “diterjemahkan” oleh Navarro Valls nampaknya juga ditujukan pertama-tama untuk kaum muda yang memenuhi lapangan St. Petrus: “Saya menunggu kalian dan kalian datang pada saya, untuk itu saya berterimakasih pada kalian.”

Sabtu sore lapangan kembali penuh dengan umat, dengan lilin, dalam keheningan dan dalam doa khusuk. Rosario sedang berlangsung. Pada saat itulah Bapa Suci di panggil Bapa Surgawi. Pk. 21.53 uskup agung Mgr. Sandri memberikan pengumuman kepada khalayak: “Pada pk. 21.37. telah berpulang ke rumah Bapa, Bapa Suci Yohanes Paulus II”. Keheningan besar meliputi lapangan. Namun kemudian tepuk tangan panjang membahana, 5 menit tanpa henti. Perjungannya telah usai. Lonceng Basilika Vatikan bertalu panjang, diikuti seluruh gereja di Roma, dan mungkin juga seluruh Italia. Umat menangis. Mereka menangisi bapak yang meraka kasihi. Tetapi juga dalam iman mereka bersyukur atas rahmat Tuhan dalam diri pribadi istimewa ini. Beberapa menit kemudian Carlo Azeglio Ciampi presiden Italia memberikan sambutan. Tak lama kemudian juga Presiden George Bush. Italia menyatakan hari berkabung selama 6 hari, juga Polandia tempat kelahirannya. Yang tak terduga, Kuba, negara yang kita kenal sebagai negara komunis menyatakan hari berkabung nasional selama 3 hari. Tak dapat disangkal rasa kehilangan yang mendalam dirasakan oleh semua. Di Roma terpampang di mana-mana Poster besar Paus dengan tulisan GRAZIE (“terimakasih”): “Roma piange e saluta il suo papa” (Roma menangis dan memberi salam kepada paus-nya). Sebutan untuk Paus dalam bahasa Itali adalah “Papa”, sebutan akrab untuk bapak, tetapi dengan aksen berbeda dan dengan artikel “Il” ‘si’ atau ‘sang’. Sang Bapak, Bapak bagi semua.



Kemudian, menurut informasi para asisten yang mendampinginya, sebelum menghembuskan nafas terakhir malam itu, Paus menjulurkan tangan ke arah jendela, tempat di mana selama 26 tahun ia berdiri dan memberikan berkat pada umat. Kali ini adalah untuk terakhir kalinya, dan kemudian menutup dengan “Amen”. “Kehilangan” adalah kata yang merangkum perasaan banyak, bukan saja orang katolik, tetapi bagi banyak yang tidak katolik. Banyak orang telah merasakan bahwa hidup orang ini telah menjadi berkat bagi mereka. Bahkan Mehmet Ahli Agca, yang pada 13 Mei 1981 menembak Paus, dari penjara di Turki menyatakan kesedihan yang mendalam dan ingin hadir untuk pemakaman. “Saya kehilangan saudara rohani saya”, kata Agca.

Yang paling menyentuh adalah wawancara-wawancara terhadap orang-orang tua, anak-anak kecil, orang-orang sakit dan cacat dan orang-orang tahanan di penjara. Wartawan TV Itali RAI Uno, menyebut mereka “Il popolo di Woytila”: masyarakat (milik) Woytila. Tak dapat disangkal, merekalah yang mendapat perhatian paling istimewa dari Paus ini. Betapa mereka merasa kehilangan seorang bapak dan teman, bahkan tak sedikit mengatakan “bagian dari keluarga mereka”. Terlebih pada tahun-tahun terakhir Paus, mereka merasa sungguh bahwa ia hadir sebagai teman dalam penderitaan. Di tengah polemik mengapa Yohanes Paulus tidak mundur ketika ia sakit, tak sedikit yang memberi kesaksian bahwa justru dalam kelemahannya, ia mampu memberi kesaksian lebih kuat. Dan merekalah yang paling merasakan. Nampak benar pula, ketika beliau semakin lanjut, nampak semakin dicintai, terutama oleh orang muda. Pernah saya jumpai sorang ibu sedang mencari poster paus. Nampak ia tertarik dengan satu poster bergambar Paus dengan ibu Teresa, tetapi kemudian berkata: “Ah, ini Bapa Suci masih terlalu muda”.

Tangis menjadi doa
Tua dan muda merasa kehilangan

Senin sore, 4 April jenazah sri paus dipindahkan dengan sebuah prosesi dari kapela Leoniana ke Basilika San Pietro, untuk memberi kesempatan umat untuk memberikan penghormatan terakhir. Di hadapan ratusan ribu umat, jenasah sri paus angkat oleh 10 petugas diikuti para barisan kardinal. Prosesi melewati lorong-lorong istana kepausan dan lalu melewati lapangan St. Petrus untuk kemudian jenasah semayamkan di Basílika, di depan altar utama.

Ciao Karol. Selamat jalan Bapa Suci.

Walaupun pemerintah kota Roma telah memberi peringatan agar tidak semua berduyun-duyun ke Roma, toh gelombang peziarah yang datang tak terbendung juga. Diperkirakan 3 sampai 4 juta orang hadir hari-hari itu. Penduduk Roma hari-hari itu menjadi dobel. Praktis mulai sore itu sampai hari Kamis, 24 jam penuh antrian panjang umat tak pernah putus. Kebetulan collegio, San Alberto tempat saya tinggal, ada di sekitar daerah Vatikan, sehingga saya bisa menyaksikan dari dekat apa yang terjadi hari-hari itu. Dimana-mana jalan sekitar Vatikan macet karena lautan manusia. Dalam Misa arwah di collegio kami (karmel) san Alberto romo prior mengatakan: semoga kita mampu merasakan peristiwa sebagai peristiwa penuh rahmat, menyaksikan peristiwa yang sedang terjadi hari-hari itu, menyaksikan bagaimana umat-umat sederhana memberikan kesaksian iman. Tak sedikit mereka dari tempat-tempat yang jauh, yang tak jarang dengan banyak kesulitan pengorbanan. Sungguh bagi mereka merupakan sebuah ziarah. Berjajar dalam doa, dengan kesabaran luar biasa. Bergerak pelan-pelan, dalam keheningan, berjam-jam tanpa ada yang mengeluh, menahan lelah dan kantuk - hanya untuk dapat memberikan penghormatan terakhir kepada Bapa Suci mereka 2 atau 3 detik saja. Tak sedikit mereka berdoa dalam kelompok-kelompok kecil. Setiap kali anak-anak muda menyanyi bersama atau meneriakkan yel-yel nama sri Paus dalam bahasa Itali: “Giovanni Paulo! Giovanni Paulo!”. Mereka yang berbahasa Spanyol tak kalah menyahut: “Juan Pablo Segundo! Juan Pablo Segundo!”.

Vatikan di suatu pagi. Barisan panjang, 4 hari - siang malam tanpa henti

Amat menarik mencatat bagaimana orang memberikan komentar mereka atas paus dan mengapa mereka datang. Seorang Ibu cacat kaki dengan “kruk” ikut berbaris, dan dengan tersenyum mengatakan: “Di rumah, biasanya jalan 100 meter saja saya sudah nggak kuat. Lihat, sudah 7 jam saya saya ikut berbaris dan saya sudah sampai di sini. Ternyata saya masih kuat”. Walaupun hampir setiap minggu siang, saya hadir dalam doa angelus dan jadi berkali-kali telah melihat paus kita ini, saya akhirnya memutuskan untuk ikut menggabungkan diri dalam antrian para peziarah itu, ingin merasakan apa yang mereka rasakan. Rabu Sore jam, setelah melihat Berita , jam 21.30 saya mulai masuk barisan panjang entah berapa kilo meter jauhnya dari pintu masuk Basilika. Berjalan setapak-demi setapak. Jam 2 malam ‘gerombolan’ saya melewati jembatan Vittorio Emanuele. Jembatan yang lebar dan kokoh itu rasanya ‘bergoyang-goyang’ karena kantuk mulai datang. Syukur pada Tuhan saya “berhasil” masuk basilika pagi harinya, hari Kamis jam 8 pagi. Sepuluh setengah jam! Namun itu masih kalah dengan beberapa anak muda yang menurut catatan wartawan “memecahkan rekor” antrian terlama: 20 jam.

Ada ratusan stasiun TV dan sekitar 3500 wartawan meliput peristiwa hari-hari itu, 20 ribu relawan dari seluruh Italia dan entah berapa ribu petugas keamanan. Ada lebih dari 4 juta botol aqua dibagikan secara gratis oleh pemerintah kota Roma. Puluhan tenda untuk layanan kesehatan dan ribuan tenda untuk tempat tidur peziarah. Kali ini Roma dan Itali mendapat pujian atas sambutan dan pelayanan mereka yang luar biasa.

Berjalan setapak demi setapak, berjam-jam dalam doa.

Upacara pemakaman berlangsug hari Jumat jam 10 pagi. Disebut-sebut sebagai salah satu upacara pemakaman terbesar dalam sejarah. Upacara dihadiri kurang lebih 200 pemimpin dunia, dan mampu “mempertemukan” di tempat yang sama mereka-mereka yang nampaknya hampir tidak mungkin bertemu. Mulai dari Bush presiden AS sampai Khatami, Presiden Iran. Dari presiden Suria sampai presiden Israel. Tak sedikit wartawan yang mengatakan: “Yohanes Paulus sedang melakukan mukjizatnya yang pertama. Mukjizat perdamaian.”

Lapangan St. Petrus dan Via Conciliazione, praktis hanya bisa menampung sebagaian kecil dari jutaan peziarah itu. Maka pemerintah Roma menyediakan 27 TV layar besar disebar di 11 piazza (lapangan) di kota Roma. Kota Roma hari itu disebut menjadi “grandissimo santuario” (tempat ziarah) besar. Ribuan umat mengikuti upacara dengan khusuk dari Piazza Risorgimento, Cavour, del Popolo, Navona, Spagna, Maria Maggiore, Basilika San Paulo, Basilika Yohanes Lateran, Colloseo, dan Tor Vergata.

Angin bertiup kencang ketika upacara berlangsung, sampai-sampai menutup Kitab Suci yang dibuka di atas peti jenazah. Wartawan berkomentar: “Roh Kudus menutup ‘buku kehidupan’ Yohanes Paulus. Hidup dan perjuangannya telah usai. Peti jenazahnya amat sederhana, tiada bunga dan tiada dekorasi lain - kontras dengan besarnya upacara hari itu. Kontras pula antara “keheningan besar” dengan “lautan manusia” itu. Roma hari itu “berhenti”. Tunduk berdoa dan bersyukur bersama atas orang besar ini. Namun pertama-tama Tuhanlah yang besar. Ialah yang berkarya lewat Karol Woytila, manusia yang sederhana ini untuk menggembalakan umat dan membawa berkat bagi dunia.

Bukan kematian, melainkan “merayakan kehidupan”.


Upacara pemakaman itu secara pas dilukiskan oleh Washington Post pada halaman pertamanya: “Life of Pope John Paul II celebrated”, hidup Paus Yohanes Paulus II dirayakan. Benar, bukanlah pertama-tama kematian, melainkan kehidupannyalah yang dirayakan. Menyaksikan upacara itu, rasanya kita sedang merayakan sebuah kehidupan. Yohanes Paulus II bukanlah manusia sempurna, tetapi ia telah menujukkan sebuah kehidupan, bagai roti Ekaristi, yang telah “dibagikan” bagi banyak orang. Hal itulah yang telah dirasakan oleh bayak orang. “Adesso tocca a noi”, “Sekarang giliran kami” begitulah tulis banyak anak-anak muda di banyak di banyak sudut di lapangan di jalan-jalan sekitar Vatikan. Mereka sadar penuh bahwa Gereja sekarang ini mengahadapi saat-saat yang tidak mudah. Tetapi semangat, keberanian dan penderitaan bapak mereka ini telah menabur semngat dalam hati mereka. Biji gandum jatuh dan mati, tetapi tumbuh kembali menghasilkan buah yang melimpah. Semoga.

dari Roma April 2005: Ig.Budiono, O.Carm.

1 comment:

Unknown said...

Suatu penuturan yang mampu membangkitkan kembali 'rasa hati' pada saat Paus yang tiada duanya ini berpulang. Rasa sedih dan kehilangan berpadu dengan rasa bangga serta rasa syukur. Ini mengingatkan saya kembali akan satu clip video yang pernah saya lihat (di internet). Clip yang relatif singkat ini merupakan suatu hasil refleksi yang dikemas menjadi semacam ungkapan hati Paus Yohanes Paulus II dari surga kepada umat manusia, khususnya kepada umatnya sendiri yang pernah ia gembalakan. Satu dari antara banyak kalimat yang berkesan dalam clip video berbahasa Inggris itu kira-kira demikian: ''...kalau nanti saatnya tiba kamu meninggalkan dunia ini, jangan takut karena kamu datang ke tempat di mana saya sudah menunggu kalian. Kita akan tinggal bersama...'
Budi,terimakasih untuk tulisan dan penuturanmu ini.