Saturday, October 6, 2007

Tuhan dan Sejarah

Pemikiran Semit dan Asia: antara Pertautan dan Persilangan

Pengantar
Asia biasanya dihubungkan dengan “harmoni”, sebaliknya Semit (agama-agama monoteis), terlebih dengan menggilanya terorisme dalam satu dasawasa terakhir ini, semakin kuat diasosiasikan dengan fundamentalisme.[1] Persoalan ini memang bersifat mondial, tetapi di Asia Selatan dan Tenggara (terlebih Indonesia) fundamentalisme terasa amat krusial. Asia dan Semit adalah dua warisan kultural yang secara mendalam telah membentuk jiwa dan sejarah bangsa ini, bagaikan dua katup dalam jantung kita. Di satu katup kita menghidupi dari spiritualitas dan pemikiran Asia dan di katup lain agama dan dogma semitis (Islam dan Judaisme-Kristiani) mendominasi kehidupan formal. Hal ini bisa merupakan suatu kekayaan, tetapi di lain pihak bisa pula menumbuhkan unsur-unsur yang bertentangan dalam kepribadian kita.[2]
Lebih dari waktu-waktu yang lampau, saat ini dialog dan studi tentang pemikiran Semit dan Asia terasa sangat mendesak. Tantangan dunia modern menuntut bahwa studi dan dialog semacam ini tidak bisa tidak harus merupakan sebuah studi dan dialog kritis. Ini adalah sebuah tugas berat dan barangkali membutuhkan waktu panjang. Karena keterbatasan kompetensi, dalam tulisan ini kami hanya membatasi diri pada tiga pemikiran fundamental Perjanjian Lama yakni: monoteisme, nabi-revelasi-Kitab Suci, dan pemikiran tentang waktu (eskatologi), sambil melihat secara sekilas parallelnya dalam pemikiran Asia.[3] Tanpa mengingkari perbedaan-perbedaan penting yang ada di dalamnya, tiga hal ini nampaknya juga menjadi jantung pemikiran Kristen dan Islam. Kita akan berusaha melihat kontek sejarahnya untuk membaca lebih baik pemikiran- pemikiran ini, dan (tanpa mengingkari perbedaan besar yang ada) melihat kedekataannya dengan jiwa Asia.

1. Monoteisme

Biasanya secara spontan istilah Semit langsung dihubungkan dengan agama-agama monoteis. Iman akan satu Tuhan memang datang dari Judaisme, Kristen dan Islam dan segera yang membedakaanya dengan Asia. Agama-agama ini telah membentuk pemikiran dunia, sehingga iman akan satu Tuhan nampaknya telah diterima sebagai “sebuah kelaziman”. Namun akhir-akhir ini, terlebih dengan meledaknya terorisme, tidak sedikit orang, baik ahli maupun awam, beriman dan tidak beriman mulai mempertanyakan kembali iman ini. Monoteisme kemudian dipandang sebagai sumber yang melahirkan radikalisme dan fundamentalisme. Pada taraf yang paling jauh, beberapa pemikir kristen bahkan mulai berpendapat bahwa iman akan satu Tuhan sebetulnya tidak dapat diterima di tengah dunia yang pluralis.

1.1. Tuhan: Satu atau Banyak?
Kiranya kita perlu hati-hati membedakan secara hitam putih “Semit monoteis” dan “Hindu polyteis”. Sebab, pemikiran hindu mencakup sebuah periode yang panjang, terangkum dalam teks-teks suci dan praktek masyarakat yang tak dapat dikatakan “satu pandangan”. Teks-teks Veda (1.100-600 SM) memang dengan jelas menampilkan sebuah pemahaman Hindu tentang dunia diperintah oleh kuasa di atas manusia, yakni dewa-dewa di kahyangan (di atas) dan asura (di bawah). Mereka masing-masing mewujudkan kekuatan terang dan kegelapan, yang tak jarang bisa saling berlawanan. Menurut tradisi Hindu sebenarnya ada 33 dewa, tetapi dalam perkembangan kemudian tiga dewa yang paling dominan, yakni Brahma sebagai pencipta, Wisnu sebagai pemelihara, dan Shiwa sebagai perusak. Sampai di sini, Hinduisme nampak sebagai politeis. Namun kemudian, di lain pihak, pemikiran spekulatif Hindu yang mencapai puncaknya pada Uphanisad menunjukkan juga sebuah pandangan yang berbeda yang oleh sementara ahli disebut monisme.[4] Uphanishad tidak lagi berbicara pertama-tama tentang dewa-dewa, tetapi tentang individu (atman) dan tentang yang absolut (brahman). Setiap individu adalah bagian dari yang absolut. Namun, hidup manusia pada dasarnya buram karena ketidaktahuan, terpisah dari sumber abadinya, gelap karena hasrat yang terlekat pada dunia. Karena itu hal yang perlu adalah kesadaran yang mengantar individu menyatu dengan brahman. Dalam konteks ini dewa-dewi, kuasa dan manifestasi ilahi, kemudian diserap dibawah “Yang Satu”, “brahman”, prinsip yang memeluk segalanya.[5] Mereka adalah “yang lain” (other), tetapi tidak seluruhnya yang lain.
Dari pemahaman ini, rupanya dalam sejarah Hindu pemahaman tentang politeis ataupun monisme nampaknya tidaklah sederhana dan pandangan-pandangan itu tidak begitu saja dapat disatukan. Monisme nampak terlebih dalam wawasan dogmatis, dan unsur-unsur politeis tetap hadir terlebih dalam kehidupan nyata, yakni dalam kehidupan sehari-hari masyarakat biasa, dalam bhakti, di mana ada banyak kelompok dengan dewa/dewi utama yang berbeda.[6] Namun yang perlu dicatat, rupanya hal itu tidak menjadi sumber pertentangan. Iman akan satu Tuhan dalam monoteisme Semit, sebaliknya tidak jarang dihadirkan tanpa kompromi. Iman monoteis ini memang muncul dalam sejarah dan konteks yang berbeda. Karena itu, sangat penting untuk menelusuri konteks dan sejarah kelahirannya. Jika tidak, pesan mendasar kemunculannya bisa luput kita pahami.

2.2. Sejarah: Dari Monolatri ke Monteisme
Kebanyakan pembaca Kitab Suci Ibrani/Perjanjian Lama biasanya berpikir bahwa Israel sudah sejak awal mula telah memiliki iman monoteis. Namun studi studi literer dan arkeologi, serta dokumen Timur Tengah kuno membantu kita mengerti bahwa akan satu Tuhan ini terbentuk secara perlahan lewat periode yang amat panjang. Banyak ahli dewasa ini mendukung hipotese bahwa monoteisme dalam bentuk kematangannya baru muncul dengan periode pembuangan. Memang jika melihat latar belakang religius, budaya dan politik Timur Tengah pada waktu itu, sebuah kepercayaan hanya kepada satu Tuhan tanpa mengakui keberadaan allah-allah lain, nampaknya belum mungkin pada periode sebelumnya. Israel pada masa kerajaan paling jauh bersifat monolatri. Adalah sebuah kelaziman pada jaman itu, setiap bangsa memiliki allah mereka sendiri, tanpa mengesampingkan kenyataan bahwa bangsa lain memiliki allah mereka sendiri pula.
Studi arkeologis dalam satu setengah abad terakhir ini membantu kita memahami lebih baik bagaimana kurang lebih struktur masyarakat Timur Tengah kuno, termasuk Israel sebelum terbentuk sebagai sebuah bangsa. Masyarakat Timur Tengah kuno biasanya terbentuk dalam suku-suku, suku-suku terdiri dari klan-klan dan klan terdiri dari keluarga-keluarga besar yang lazim disebut ”rumah bapa” (beth ‘ab). Setiap keluarga ini biasanya memiliki allah mereka sendiri (family god), yang diwariskan turun-temurun dari bapak kepada anak-anak. Pada awal pendudukan/masuknya orang-orang Ibrani ke tanah Kanaan dibawah Yosua, nampaknya Yahweh belum menjadi allah seluruh kelompok yang kemudian membentuk Israel. Pada awalnya ia adalah allah dari kelompok tertentu saja. Lalu dari manakah datangnya Yahwe ini?
Beberapa teks Perjanian Lama memberi indikasi bahwa rupanya Yahweh allah yang datang dari selatan Palestina dari Sinai, Seir, Paran, atau Teman (bdk. Kel 33,2; Hak 5,4-5; Ab 3,3-7; Mzm 68,8-9). Jadi Ia datang dari daerah sekitar padang gurun Sinai, datang dari gunung. Yahweh inilah allah yang menyatakan diri kepada Musa di Sinai dan memintanya untuk maju ke hadapan Firaun (bdk. Kel 3,18). [7] Peristiwa ini menjadi awal bagi pembebasan orang-orang Ibrani dari perbudakan Mesir, peristiwa yang kemudian membuat kelompok ini mengakui bahwa “Yahweh lebih besar dari segala allah“ (bdk. Kel 18,10-11). Teks-teks ini memberi indikasi bahwa iman Israel pada awal pembentukan mereka bersifat monolatri. Mereka tidak menyangkal keberadaan allah-allah lain, namun mereka hanya menyembah Yahweh sebagai allah mereka dan memiliki hubungan khusus denganNya. Hubungan itu menemukan bentuk ekpresinya yang lebih penuh dalam konsep perjanjian: “Aku menjadi Allahmu dan kamu menjadi umatKu“ (bdk. Kel 6,6).
Tentang proses masuknya Israel ke Kanaan dan terbentuknya menjadi satu bangsa mamang ada banyak teori yang muncul. Namun hampir semua ahli sejarah Israel kuno sepakat bahwa sebenarnya kelompok yang keluar dari Mesir hanyalah bagian kecil dari suku-suku yang kemudian membentuk bangsa Israel sebagai sebuah kerajaan. Maka penting di sini mengamati proses intern yang dilakukan untuk menyatukan suku-suku ke dalam satu bangsa. Yang terjadi adalah usaha menyatukan suku-suku itu di bawah satu allah. Politik integrasi ini nampak misalnya dalam penyatuan berbagai bentuk ibadah kepada El dengan ibadah kepada Yahweh. Di kebanyakan suku palestina pada waktu itu El telah dikenal sebagai allah tertinggi, pencipta, abadi, penyembuh dan sumber kebijaksanaan. Yang terjadi kemudian adalah proses atribusi. Karakter-karakter yang dimiliki oleh El pelan-pelan dikenakan kepada Yahweh. Yahweh misalnya kemudian disebut ’El Elyon’, Tuhan yang mahatinggi (bdk. Gen 14,18-20), “El Elyon, pencipta langit dan bumi“ (Mzm 7,18; 9,3; 21,8; dsb.) yang sebelumnya adalah atribut milik El. Proses atribusi ini, perlu kita catat, terjadi amat pelan dan dalam waktu yang lama, dan alam politeis dunia sekitar Israel sedikit banyak mempengaruhi bagaimana Israel menghadirkan yang ilahi. Kita bisa mengutip beberapa teks yang memberikan indikasi kenyataan ini. Dalam Mzm 82 misalnya dikatakan “Allah berdiri dalam sidang ilahi, di antara para allah Ia menghakimi“ (ay.1; lih juga Mzm 89,6-8; Ayub 1,6). Teks-teks ini menghadirkan Yahweh, Allah Israel, sebagai bagian dari para allah, semacam panteon, tentu saja dengan menggarisbawahi bahwa Ia menempati posisi tertinggi.
Teks-teks Perjanjian Lama juga memberi indikasi bahwa setiap bangsa memiliki allah mereka sendiri-sendiri, “allah nasional“ (bdk. Kel 32,8; Mi 4,5; dst.). Stela (tugu) dari Moab dari pertengahan abad IX S.M, misalnya memberikan informasi lumayan jelas bahwa Israel memiliki Yahweh sebagai allah nasional mereka, sedangkan Moab memiliki Kamosh. Karena itu monolatri di Israel juga merupakan proses yang juga tidak mudah. Hal ini disebabkan pertama-tama karena Israel hidup ditengah bangsa-bangsa sekitarnya yang juga memiliki allah-allah yang berbeda. Dalam konteks itu para nabi Israel memiliki peranan besar dalam menjaga perjanjian. Sebuah contoh penting adalah “pertarungan” antara Yahweh dengan Baal dalam lingkaran Elia dalam kitab Raja-raja (1Raj 17-21). Pernikahan antara Ahab dengan Izebel, anak Itobaal, Raja Sidon membawa konsekuensi bahwa Israel harus memberi tempat pada ibadah kepada Baal, allah nasional Sidon. Persoalan menjadi sulit justru karena baik Baal maupun Yahweh sama-sama dikenal sebagai allah badai dan hujan. Kita ketahui hujan begitu vital bagi Israel dan bangsa-bangsa sekitarnya dengan tanah mereka yang tandus. Ibadah kepada Baal tentu saja kemudian menjadi godaan dan ancaman bagi ibadah pada Yahweh. Jadi tantangan Elia di gunung Karmel pada umat Israel, masih dalam konteks monoltri ini dan tidak lain bertujuan untuk menunjukkan ’siapa sebenarnya allah Israel’ (bdk. 1Raj 18,36.39).
Pembaharuan yang dilakukan oleh beberapa raja Yehuda, antara lain yang Yehezkia (727-699 SM) dan Yosia (SM) juga dalam konteks itu masih dalam konteks itu. Yehezkia, misalnya memperkuat kesatuan ibadah kepada Yahweh di bait Allah di Yerusalem, antara lain lewat ziarah ke Yerusalem (bdk. Yes 2,2-3). Dengan cara itu ia berusaha menyatukan seluruh bangsa dengan memperkuat identitas mereka sebagai “umat Yahweh“.
Peristiwa pembuangan ke Babilonia adalah peristiwa fundamental dalam sejarah Israel. Pada tahun 598 SM Yerusalem dikepung, dan sebagian penduduknya, terutama orang-orang penting dan kaum intelektual mengalami pembuangan. Sekitar 10 tahun kemudian (587-586 SM) dalam pengepungan kedua, Yerusalem dibakar dan Bait Allah dihancurkan, serta diikuti pembuangan kedua. Secara resmi Yehuda sebagai sebuah kerajaan berakhir. Israel sebagai bangsa mengalami krisis yang paling dalam. Namun justru dalam titik terendah itu, Israel secara paradoksal mengalami sebuah “pencapaian tertinggi“ dalam sejarah mereka. Sebab, di pembuanganlah Israel sampai pada pemahaman akan monoteisme. Bagaimana hal ini dapat dijelaskan?
Tradisi yang lebih tua dari imperium-imperium Timur Tengah kuno pada masa itu rupanya sudah mulai mengenal allah-allah sebagai “penguasa universal“. Mesir, misalnya mengenal Aton, Amun-Re atau Seth, Assiria memiliki Ninurta dan Ashur, sementara Babilonia Marduk. Nampaknya penguasa-penguasa universal ini pertama-tama adalah sebuah ekspresi dari kekaisaran-kekaisaran ekspansionis.[8] Sebab, kemenangan sebuah negara atas negara atas negara lain diartikan pula sebagai kemenangan allah mereka atas allah bangsa itu. Maka semakin luas daerah kekuasaan sebuah imperium, menunjukkan semakin besarnya kuasa allah mereka. Apa yang terjadi di tengah-tengah bangsa Israel di pembungan adalah sangat paradoksal. Di tengah kekalahan bangsa mereka itu, nabi-nabi dan para penulis Israel menemukan sebuah iman yang amat berbeda. Para jenius Israel ini membaca tercabutnya mereka dari tanah terjanji bukan sebagai akhir dari semuanya. Sebaliknya, sambil menyerukan pertobatan, para nabi Israel ini melihat harapan bagi Israel dalam situasi krisis yang dalam itu. Yahweh tetap setia pada mereka. Sebab, walau mereka ada di tanah pembuangan, Yahwe tetap hadir di situ bersama mereka. Hal itu menunjukkan bahwa Ia memiliki kuasa juga luar batas-batas Israel. Mereka tidak membaca peristiwa pembuangan sebagai kekalahan Yahweh atas allah-allah Babilonia, sebaliknya mereka justru menemukan Yahweh allah yang mampu hadir di mana-mana.
Jadi secara paradoksal dalam situasi krisis itu, dengan meminjam gambaran mengenai imperium-imperium raksasa tersebut, Israel mengenal kuasa universal Yahweh. Israel membaca ulang sejarah, terutama Exodus dan menemukan Yahweh dengan cara yang amat berbeda. Ia tidak lagi hanya milik mereka, bangsa lain juga perlu mengenal dia sebagai satu-satunya “Tuhan yang benar”, yakni Tuhan sebagai pembebas. Ungkapan-ungkapan yang paling jelas akan keyakinan baru ini dapat kita ketemukan dalam Deutero-Yesaya yang kemungkinan besar ditulis di tanah pembuangan. “Sebelum Aku tidak ada Allah dibentuk, dan sesudah Aku tidak akan ada lagi” Aku, Akulah Tuhan dan tidak ada juruselamat selain dari pada-Ku” (Yes 43,10-11; bdk. 44,6.8; 45,18). Dan Tuhan yang satu ini memiliki kuasa universal, seperti ditegaskannya: “Akulah Tuhan dan tidak ada yang lain; kecuali Aku tidak ada Allah. Aku telah mempersenjatai engkau, sekalipun engkau tidak mengenal Aku, supaya orang tahu dari terbitnya matahari sampai terbenamnya, bahwa tidak ada yang lain di luar Aku. Akulah Tuhan dan tidak ada yang lain” (Yes 45,5,6.lih. 45,12. 21-22).

1.3. Refleksi: Tuhan dan Pembebasan
Ada banyak hal yang bisa dibahasa tentang politeisme Asia dan monoteisme Semit dan tak dapat disangkal ada perbedaan penting antara pemikiran Asia dan Semit tentang yang ilahi. Namun demikian, dengan cara yang berbeda pada titik terdalam baik Asia maupun monoteis, sama-sama berbicara tentang “kesatuan” (oneness). Dalam Hinduisme, hal itu mungkin paling jelas terungkap dalam pemikiran monis Upanishad ketika berbicara tentang kesatuan segala sesuatu pada Brahman. Bahkan dalam konteks politeisme-pun tetap ada gagasan tentang kesatuan. Sebab, para dewa dalam keyakinan Hindu adalah imanen, dekat dan dalam harmoni dengan manusia dan alam.
Nampak ironis bahwa tak jarang monoteisme lebih menjadi sumber yang memisahkan daripada menyatukan. Untuk itu mungkin orang perlu menyadari kembali bahwa teks-teks monoteis Israel pertama-tama merupakan teks-teks yang bertujuan “ke dalam”. Teks-teks ini bertujuan pertama-tama meneguhkan pada Israel ketika iman mereka akan Yahweh mengalami ujian yang amat berat. Teks-teks tersebut bukanlah pertama-tama “senjata untuk penaklukkan atau pemaksakan”. Jika iman ini pun kemudian diwartakan, hal itu harus dilakukan dengan mengikuti logika yang sama, yakni dengan cara bagaimana Yahweh memperkenalkan diri kepada Israel, yakni sebagai Tuhan yang membebaskan. Inilah konteks lahir monoteisme, yang dapat dikatakan ketika pertama kali muncul sebagai sebuah “monoteisme dari bawah”. Iman itu lahir sebagai keyakinan sebuah bangsa yang tertindas. Yahweh, penguasa universal bukanlah pertama-tama dikaitkan dengan dimensi politik-militer, melainkan dengan keadilan moral, Tuhan pembebas dan bukan Tuhan penakluk.[9] Ia adalah Tuhan orang miskin, Allah orang tertindas, Tuhan dari sebuah tradisi panjang sebuah bangsa yang dibebaskan dari Mesir. Maka monoteisme dalam arti sessungguhnya sama sekali jauh dari domansi imperialistik dan ekspansif, melainkan pada inti terdalam adalah belaskasih bagi semua.

2. Nabi, Revelasi dan Kitab Suci

“Menurut Kitab Suci” atau “menurut Sabda Tuhan” adalah ungkapan yang paling dipakai sebagai dasar kaum fundamentalis dari ketiga agama semit untuk membenarkan segala tindakan mereka. Asia juga memiliki Kitab Suci mereka, tetapi pernyataan semacam ini kiranya tidak kita temukan. Apa artinya Kitab Suci? Apa artinya “Sabda Tuhan”? Dan mengapa mereka memiliki otoritas begitu mutlak dalam pemikiran Semit?

2.1. Kitab Suci: Sabda Tuhan atau kata-kata manusia?
Kenabian pernah sering dianggap sebagai salah satu unsur asli bangsa Israel kuno, sebagaimana diungkapkan Renan sampai akhir abad 19: “Ciri khusus Israel mulai dengan para nabi…. Dengan para nabi Israel menduduki suatu tempat tertentu dalam sejarah dunia”. Tetapi penemuan-penemuan teks-tesks kuno, terutama dari Mari membuat para ahli melihat kenabian di Israel bukan lagi sebagai fenomen terpisah, melainkan sebagai fenomen umum dunia Timur Tengah kuno, yakni bahwa ada orang-orang tertentu (terinspirasi) yang menyampaikan sabda atas nama allah mereka. Memang ada kesamaan mendasar kenabian di Mari dengan teks-teks biblis, misalnya menyangkut rumusan “Tuhan mengutus saya untuk …”. Hal itu menunjukkan kesadaran nabi-nabi tersebut sebagai utusan Tuhan (bdk. Kel 7,16; Yes 6,8; Yer 16,12).[10] Seperti telah dikatakan di atas, allah masing-masing bangsa/suku/klan dalam dunia Timur Tengah kuno memang memiliki peranan sentral. Jadi bisa dipahami, jika apa yang dikatakan sebagai “sabda allah”, akan memiliki otoritas besar, bahkan semacam memiliki daya tertentu. Hal ini juga berlaku bagi Israel. Musa dalam kitab Ulangan, misalnya mengingatkan umat agar jangan berpikir bahwa Sabda Yahweh adalah kosong (bdk. Ul 32,47). Ketika kata-kata kenabian itu ditulis dan dibukukan, tulisan-tulisan itu dipandang memiliki daya ikat mutlak, karena merupakan Sabda (inspirasi) Tuhan. Di sinilah Semit dan Asia rupanya amat berbeda.
Buku-buku kuno bangsa Cina misalnya tidak pernah dinyatakan sebagai suatu inspirasi sebagaimana dalam pengertian agama-agama Semit. Sejarawan, sastrawan, dan yang lain menulis buku-buku itu sebagaimana mereka digerakkan dalam akal mereka. Benar bahwa mereka mempunyai kesamaan semangat untuk membaharui manusia dan membaharui dunia, dilandasi kebenaran dan juga didasari oleh kesadaran akan misi tertentu. Namun penulis-penulis seperti Konfusius, Mencius, dan Mo-tzu misalnya, mereka tidak dicirikan sebagaimana para nabi Israel, dalam arti sadar akan inspirasi ilahi, untuk membawakan apa yang telah diwahyukan Tuhan pada mereka.[11]
Kebanyakan agama India memang mengakui beberapa tulisan suci sebagai autoritatif, yang diyakini diyakini bukan sekedar karya manusia, melainkan berasal dari sumber ‘dari atas’. Namun, mereka tidak pernah mengklaim adanya revelasi pada suatu peristiwa dan saat partikular dalam sejarah dalam mana yang ilahi menyatakan dirinya pada orang tertentu.[12] Teofani yang dilukiskan dalam Baghawat Gita, misalnya tidak perlu dipahami sebagai sesuatu yang memang terjadi dalam sejarah,[13] sebagai tradisi Israel memahami revelasi Yahweh di Sinai atau tradisi Islam mengerti laylatul qadar, pewahyuan Qur’an pada Muhammad.
Jadi Semit dan Asia nampaknya memandang Kitab Suci mereka masing-masing dengan cara yang berbeda. Dalam tradisi Semit, di satu pihak, karena diyakini Sabda Tuhan, Kitab Suci memang memiliki otoritas besar, tetapi dilainkan pihak memiliki bahaya besar untuk disalahgunakan dan melahirkan fundamentalisme. Hal yang sering dilupakan, berbeda dengan kitab-kitab Asia, dalam kitab-kitab suci Semit justru karena dimensi “historis”[14] merupakan karakter mendasarnya, studi kritis (literer dan historis) adalah tuntutan esensial pula.

2.2. Sejarah: Bagaimana (Mengapa) Kitab Suci Lahir?
“Bagaimana Kitab Suci lahir” adalah sebuah pertanyaan yang krusial, tetapi merupakan persoalan penting yang harus digarap secara kiritis untuk memahami Kitab Suci dengan lebih tepat.[15] Torah misalnya, biasanya dipercaya begitu saja bahwa Kitab-Kitab ini ditulis oleh Musa dan diturunkan kepadanya di Sinai. Tetapi kekompleks-an yang ada di dalamnya tidak bisa tidak membuat kita menyetujui bahwa ini adalah kumpulan buku dan tidak mungkin berasal hanya dari satu tangan saja. Ia mengandaikan bahwa kumpulan buku ini terbentuk dalam masa yang panjang dan dengan proses yang kompleks pula. Masa pembuangan Babilonia, yang merupakan periode vital dalam sejarah Israel, rupanya juga merupakan masa krusial berkaitan dengan “lahirnya” Kitab Suci Ibrani. Tentunya tradisi-tradisi tertulis baik hukum, bagian-bagian fundamental dari Torah, kronik kerajaan, maupun tulisan kebijaksaan kuno telah ada sebelum masa pembuangan.[16] Namun para ahli kebanyakan ahli sepakat bahwa kiranya kita tidak bisa berbicara tentang sebuah “Torah lengkap” pada masa itu. Torah dalam bentuk utuhnya kemungkinan baru terjadi pada jaman sekitar Pembuangan. Usaha mengumpulan, menyatukan dan meredaksi tradisi-tradisi tersebar ini lahir dari usaha mendifinisikan kembali dasar-dasar identitas mereka. Israel di pembuangan sadar membaca diri mereka tidak bisa lagi sebagai realitas politis, tetapi terlebih sebagai komunitas etnis dan religius.[17]
Dalam konteks inilah Torah dan tulisan-tulisan suci itu muncul dalam bentuknya yang semakin utuh.[18] Jadi Torah kemudian menjadi portable homeland, “identitas” yang bisa dibawa ke mana-mana, karena dapat dibaca dan dilakukan baik mereka yang tetap tinggal di tanah Palestina maupun keturunan mereka yang di diaspora. Jadi, krisis akibat pembuangan di Babilonia itu tidak mengakhiri keberadaan mereka, sebaliknya secara paradoksal justru melahirkan judaisme dengan Taurat sebagai identitas mereka. Kumpulan-kumpulan kebijaksaan kuno memiliki makna yang baru dan tulisan-tulisan para nabi yang sebelumnya tidak banyak mendapat tempat, kemudian menunjukkan otoritas yang semakin menentukan.

2.3. Refleksi: membangun relasi dan membawa berkat
Kenabian kemudian tak dapat disangkal menjadi salah sumbangan terpenting dunia Semit (Judaisme, kristen dan Islam) dalam dunia modern. Tak dapat dibantah, Kitab-Kitab Suci Semit adalah buku memiliki otoritas paling besar dalam sejarah manusia sampai sekarang ini. Namun keyakinan bahwa Kitab Suci adalah Sabda Tuhan tak jarang juga membawa unsur pemaksaan. Karenanya penting melihat kembali apa makna sebenarnya fenomen kenabian. Jika kita telusuri dengan baik, nabi-nabi Perjanjian Lama nampaknya berpusat pada tradisi yahwis umat. Pertama-tama mereka adalah jurubicara Allah, penyampai sabda, berbicara tentang masa depan, tetapi juga pendoa bagi umat dan penyampai warta pertobatan. Dengan itu nabi membantu umat untuk setia dan membangun hubungan yang benar dengan Yahweh sesuai perjanjian. Perjanjian ini adalah kunci untuk menafsirkan sejarah mereka, juga sejarah “post-biblis”. Maka ketika kata-kata kenabian itu menjadi tulisan, jantung Kitab Suci tetaplah sama, yakni bertujuan membangun relasi, memperteguh perjanjian. Dan perjanjian bertujuan tidak lain untuk membawa berkat bagi dunia.
Karena cirinya yang berbeda dari Kitab-kitab Suci Semit, Kitab-Kitab keagamaan Asia, rupanya kurang menjadi “sumber problem”, misalnya menjadi alasan untuk melakukan teror. Kitab-Kitab Suci, Semit secara mendasar terkait dengan dimensi historis. Sabda Tuhan jatuh lewat pribadi, peristiwa, jaman dan konteks tertentu. Namun ketika menjadi tulisan, Sabda itu menjadi independen, artinya mampu menjangkau bukan saja orang-orang penerima langsung, tetapi siapa saja dari generasi yang jauh kemudian dan di tempat-tempat yang berbeda.[19] Tentu daya ini menjadi berkat besar bagi manusia, karena warta kebaikan bisa menjangkau segala bangsa dan segala zaman. Namun, ke-indipenden-an ini, tak jarang juga mengandung bahaya, karena Kitab Suci lalu bisa “dikuasi” oleh pembaca, ditafsirkan menurut kecondongan mereka. Maka studi kritis adalah sebuah keharusan. Ini tidaklah berarti menyangkal validitas revelasi, tetapi menyadari bahwa rivelasi Tuhan itu terjadi dalam sejarah, dalam peristiwa manusia; Allah berbicara lewat mitos, cerita, puisi, kritik kenabian, kronik sejarah, dan bahkan kata-kata kebijaksanaan manusia dalam konteks sejarah dan dunia tertentu. Semuanya harus dibaca secara cermat untuk menemukan pesan yang sebenarnya. Semit memang telah menyumbang bagaimana membaca Kitab Suci dengan keseriusan, tetapi membutuhkan pula kekritisan, pemahaman yang lebih tepat tentang hakekat Kitab Suci dan kekompleks-an yang ada di dalamnya.

3. Sejarah dan Eskatologi

Problem fundamental ketiga dalam pertemuan Semit dan Asia adalah pandangan tentang waktu/sejarah. Secara hitam putih biasanya dikatakan bahwa Asia memandang waktu sebagai sirkular, sementara Semit linear. Pandangan Semit tentang waktu tak dapat disangkal telah merevolusi kehidupan manusia/dunia, tetapi di lain pihak, seperti yang akan kita lihat - melahirkan problem-problem yang amat besar pula.

3.1. Waktu: Sirkular atau Linear?
Mengapa sirkular dan linear? Pemikiran sirkular Asia rupanya lahir pertama-tama dari pembacaan terhadap ritme alam. Pergantian siang dan malam, musim panas dan dingin dan proses alam yang lain mengajarkan bahwa tidak ada awal dan tidak ada akhir dalam dunia, bahwa setiap kehancuran selalu diikui pula oleh suatu permulaan baru. Karena itu waktu dalam pemikiran Hindu adalah sirkular, berputar tiada henti, tidak ada awal dan akhir. Dalam level filosofis, setiap umur kosmis (kalpa) dipikirkan bertautan dengan rentang hidup dari penciptaan sampai desolusi, yang sama panjangnya dengan “satu hari Brahma”. Setelah disolusi besar, dunia disatukan dengan Brahma lewat involusi (malam Brahma) sampai kelahiran kembali. Demikian proses ini (karma) melahirkan suatu rangkaian kelahiran kembali dan sejarah menjadi sebuah “roda penderitaan” – yang menyebabkan manusia harus berusaha mencapai imortalitas dan keabadian. Maka “eskatologi” bagi setiap individu berarti pembebasan dari lingkaran penderitaaan, roda kematian dan kelahiran kembali yang tak pernah berakhir itu. Hal itu dirumuskan dalam istilah moksa dalam Hinduisme dan nirvana dalam pemikiran Buddhisme.
Judeo-kristen (dan Islam) memandang waktu sebaliknya sebagai linear, sebagai sebuah sejarah dengan awal dan akhir. Secara mendasar, gagasan ini memang berkaitan dengan pandangan Semit tentang Tuhan. Yang pertama, Tuhan Israel adalah “allah pribadi” dan yang kedua adalah “Allah yang menyejarah”. Tentang kedua ciri mendasar ini, Heschel mengutip Paschal, menjelaskannya dengan mengatakan: “Istilah Tuhan Abraham, Ishak, dan Yakob (Tuhan Israel) tidak bisa dimengerti seperti Tuhan-nya Kant, Hegel atau Schelling.” Israel mewarisi Yahweh, Tuhan Abraham, Ishak dan Yakub bukan sebagi prinsip-prinsip untuk dipahami, melainkan Tuhan pribadi yang hidup, bergulat dalam keseharian dan bahkan dan membuat perjanjian dengan mereka masuk di dalam waktu. “Time is eternity broken in space” kata Heschel.[20] Waktu (sejarah) adalah keabadian yang memecah dalam ruang, sehingga dunia ini berasal dari keabadian dan dalam perjalanan yang pasti untuk kembali keabadian. Tuhan menciptakan dunia dan menyatakan dirinya dalam suatu sejarah yang tak terulang. Setiap peristiwa adalah unik karena terjadi sekali, dan semua berjalan menuju kepenuhannya di akhir jaman.
Hans Küng dengan tak ragu memandang hal ini sebagai salah satu point yang paling membedakan antara keyakinan India dengan iman Judaisme, Kristen dan Islam.[21] Namun, lanjut Küng, berkaitan dengan pandangan waktu linear ini, agama-agama semit menjadi fanatik terutama ketika berkaitan dengan akhir dunia.[22] Küng sangat beralasan, sebab, dalam pandangan waktu linear ini - gagasan tentang yang baik dan jahat serta tentang retribusi (pembalasan) memainkan peranan sentral. Pada akhir jaman, sejarah akan direkapitulasi dan Tuhan akan hadir sebagai hakim pada hari kebangkitan (kiamat) untuk mengadili kebaikan dan kejahatan. Di timur, sebaliknya gagasan tentang “jahat” tidak pernah memainkan peranan sentral di dalamnya. Yang ada adalah antara baik dan kurang baik.[23] Jika ada gagasan mengenai restribusipun hal itu rupanya lebih sebagai cara pendidikan moral.[24] Suatu polaritas yang tajam antara baik dan jahat rupanya tidak pernah terjadi dalam pemikiran India, karena itu tidak begitu melahirkan fanatisme. Polarisme ini sebaliknya itu amat jelas dalam pemikiran Semit. Karena hidup hanya satu kali, agama-agama Semit – merasa memiliki misi kuat untuk menghancurkan kejahatan dan menyelamatkan manusia, dan tak jarang dengan mengorbankan prinsip harmoni dan cinta kasih. Lalu, dapatkah kemudian Semit dan Asia bertemu?

3.2. Sejarah: Penderitaan dan Apokaliptik
Problem apakah sudah sejak awal Israel kuno sadar akan sebuah sejarah yang linear telah menjadi bahan studi panjang para ahli. Kebanyakan berkeyakinan bahwa pandangan orang Israel kuno tentang waktu pertama-tama juga sirkular. Pandangan waktu linear rupanya juga terbentuk lewat proses yang panjang. Hal itu dapat dilacak dalam teks-teks awali tentang gagasan mengenai retribusi yang nampaknya lumayan yang dominan. Berkah akan diberikan pada orang benar dan hukuman pada orang jahat. Namun berkah dan hukuman itu terutama dihubungan dengan hidup di dunia ini (bdk Keb 3,5-8; 20,2f; 22-25; Yes 10,1-4.18-31; Hos 6,1-6; Mik 2,1-13; dsb.).[25] Hidup sesudah mati kebanyakan masih merupakan misteri bagi Israel kuno dan paling jauh adalah pandangan tentang sheol (bdk. Pkh 9,10; Mzm 6,5; 115,17; Yes 38,18; dsb). Gagasan mengenai akhir jaman dan paham tentang kebangkitan badan nampaknya “masih di atas awan”. Gagasan ini baru muncul lebih kemudian secara perlahan-lahan lewat pelbagai peristiwa penting dalam sejarah Israel, dan terutama dalam konteks penderitaan yang ekstrim.
Kata “kiamat” yang kita miliki berasal dari tradisi Islam (bahasa Arab) “yaum qiyamah”. “Yaum” berarti “hari” (Ibrani: Yom) dan “Qiyamah” berarti “kebangkitan” (Ibrani: kata kerja qum= bangkit). Ungkapan ini dipakai untuk mengungkapkan gagasan tentang Tuhan yang bangkit di akhir jaman, sebagai hakim untuk mengadili dunia. Pemikiran tentang Tuhan bangkit sebagai hakim barangkali dirintis oleh para nabi dalam konteks penindasan dan penghukuman. Menraik bahwa mereka berangkat dari gagasan tentang “Hari Tuhan” yang bagi orang Israel kuno sebenarnya adalah hari-hari festa, dan merupakan saat-saat yang dinantikan. Namun Amos menggunakan ungkapan itu dengan maksud yang berbeda, bahkan dapat dikatakan berlawanan. Sang nabi menggunakan ungkapan ini dalam konteks penghukuman, ketika ia menyaksikan ketidakadilan dan penindasan yang luarbiasa terhadap orang kecil. Sang nabi berseru bahwa hari Yahwe akan menjadi bagi para penindas itu bukan lagi hari festa, melainkan hari penghakiman bagi mereka (bdk. Amos 5,18-27).
Gagasan akan Tuhan sebagai hakim yang adil nampak semakin kuat dalam kitab-kitab Kebijaksanaan (misalnya Mazmur, Deutero-Yesaya, Ayub) dan tulisan-tulisan apokaliptis awal, dipicu oleh problem besar “orang benar yang menderita”. Tulisan-tulisan apokaliptis paling awal dari Joel (sekitar abad V-IV SM), misalnya mengangkat kembali gagasan tentang “hari Tuhan” pertama-tama untuk mewartakan pertobatan (Joel 1,15; 2,1.11; 3,1-5; 4,13-17.18.21) dan berita pembalasan atas musuh-musuh Israel. Namun perlu dicatat, walau menghadapi penderitaan, semua Kitab-Kitab ini menyatakan bahwa hukuman atas kejahatan selalu di tangan Tuhan.
Gagasan tentang akhir jaman tak dapat disangkal semakin matang dengan lahirnya kitab/teks-teks apokaliptis dalam periode Hellenisme. Keadaan politik Palestina yang lumayan tenang dibawah dinasti Tolomeus (323-200 SM) berubah besar ketika kekuasaan jatuh ke tangan Seleukus (200-175 SM) dan terlebih Antiokus Epifanes (175-163). Penderitaan luarbiasa orang-orang Yahudi dapat kita baca paling jelas dalam Kitab Makabe. Dalam konteks penderitaan yang amat berat itulah teks-teks apokaliptis seperti Yes 34-35; 62,1-6; 24-27; Yeh 38-39; Zak 9-14 dan Kitab Daniel lahir. Maksud penulis apokaliptis itu hanya memiliki satu tujuan yakni menguatkan saudara-saudara mereka agar harapan mereka tetap hidup, harapan akan kesetiaan Tuhan pada ciptaanNya di tengah-tengah teror dan penderitaan yang amat berat. Mereka meneguhkan iman agar mampu menanggung penderitaan itu dengan penuh kesabaran, sambil berharap akan kebangkitan.

3.3. Refleksi: harapan akan pemenuhan
Pandangan mengenai sirkular atau linear barangkali tidak dapat secara sederhana dipersatukan. Pandangan sirkular Asia rupanya lahir pertama-tama dari pengamatan terhadap alam, sementara pandangan linear Semit nampaknya lebih terbentuk dari pergulatan dengan peristiwa. Namun pada titik terdalam sekali lagi keduanya menyentuh hal yang sama dan problem terdalam manusia, yakni penderitaan. Di Asia, orang bergulat dengan waktu sebagai perputaran penderitaan dan melahirkan pandangan tentang moksa dan nirvana, sementara pengalaman Semit akan peristiwa ektrim penderitaan/sejarah pahit penindasan melahirkan dalam bumi mereka harapan akan akhir jaman. Jadi iman akan kebangkitan dalam dunia Semit pertama-tama lahir dari konteks itu; lahir dari harapan akan Tuhan yang adil yang di akhir jaman akan bangkit menghakimi akan menjadi hakim bagi segala mahkluk. Maka, sebenarnya iman ini lahir dari visi yang kuat akan keadilan, yang tidak membiarkan orang jahat dan orang benar mengalami nasib yang sama. Maka ironis jika pandangan tentang eskatologi ini, akhir-akhir ini justru menjadi sumber teror. Jelas terorisme ini tidak lahir dari pandangan eskatologis biblis (Semit) yang lahir pengalaman akan penderitaan dan kelaparan. Sebaliknya terorisme itu rupanya justru berasal dari kawasan yang kaya di Timur Tengah. Aksi-aksi itu lahir dari sebuah penafsiran akan akhir jaman yang sama sekali tidak dapat dipertanggungjawabkan, yang lahir ketidaksabaran dan berbuah kekerasan. Iman eskatologis biblis sebaliknya melahirkan ketahanan dan pengharapan di tengah situasi penderitaan dan kejahatan di dunia, berjuang sekuat tenaga demi kebaikan menuju kepenuhannya. Dalam iman ini, penghakiman ini tidaklah pernah ada di tangan manusia, melainkan di tangan Tuhan yang Mahaadil pada akhir jaman nanti.

Penutup
Arnold Toynbee pernah berkata bahwa agama-agama India sekalipun kurang heroik, tetapi tidak terlampau kejam ketimbang agama-agama yang berasal dari kawasan budaya Semitik (seperti Yudaisme, Kristen dan Islam) yang telah membantu mengembangkan fanatisme.[26] Pendapat Toynbee ini barangkali dapat dibenarkan. Namun pembacaan kritis sebetulnya akan membuat kita mengenal tradisi Semit dalam wajah sebenarnya yang jauh lebih ramah. Dari sini, Semit dan Asia sebetulnya bertautan sangat kuat, karena menyentuh problem dasar manusia dengan cara dan sumbangannya masing-masing. Daerah subur dan hijau mungkin telah telah membantu melahirkan di Asia pandangan yang kuat tentang harmoni, sementara padang gurun yang keras dan tandus telah menamkan pada jiwa Semit pandangan-pandangan yang radikal. Kita tidak hendak menilai manakah yang lebih baik. Mungkin manusia membutuhkan keduanya, bagaikan dua katup pada jantung. Semit mungkin menyumbang pada manusia bagaimana menghayati hidup dengan pilihan-pilihan radikal. Asia di lain pihak, menyumbang bagaimana menghayati hidup dalam harmoni dengan orang lain dengan penghormatan yang tinggi. Keduanya dapat saling belajar saling membantu mengenal dengan lebih baik kekayaaan tradisinya masing-masing bagi kemajuan kemanusiaan. Indonesia bersama beberapa negara Asia selatan-tenggara bisa menjadi tempat pertempuran “dua kubu” ini, tetapi juga bisa menjadi tempat sintesis, kedua katup jantung ini bekerja bersama secara harmonis.

Ignasius Budiono, O.Carm.



BIBLIOGRAFI

Becking, B. - Dijkstra, M., et al., Only One God? Monotheism in Ancient Israel and the Veneration of the Goddess Asherah (Sheffield 2001).
Baccari, L., La rivelazione nelle religioni (Roma 1996).
Bottéro, J., The birth of God. The Bible and the historian (University Park, PA 2000).
Coggins, R. – Phillips, A. – Knibb, M., eds., Israel's prophetic tradition. Essays in honour of Peter R. Ackroyd (Cambridge 1982).
Coward, H., (ed.), Experiencing Scripture in World Religions (Maryknoll, NY 2000).
Dhavamony, M., World Religions in the History of Salvation (Quincy, IL 2004).
Elliade, M., The Myth of Eternal Return. Or, Cosmos and History (Princeton, NJ 1974).
Gnuse, R.K., No other Gods. Emergent monotheism in Israel (Sheffield 1997).
Heschel, A.J., Man is not Alone (New York 121999).
Küng, H., Christianity and the world religions. Paths of dialogue with Islam, Hinduism, and Buddhism (London 1987).
________, Christianesimo. Essenza e storia (Milano 1997).
Lemaire, A., La nascita del monoteismo (Brescia 2005).
__________, Le scuole e la formazione della Bibbia nell’Israele antico (Brescia 1981).
Nardoni, E., Rise Up, O Judge (Peabody, MA 2004).
Pierre, B., “La redazione della Bibbia in epoca persiana”, Il Mondo della Bibbia 66/1 (2003) 15-17.
von Rad, G., Old Testament Theology, vol. 2 (London 71998).
Römer, T., “L’esilio a Babilonia. Crogiolo del monoteismo”, Il Mondo della Bibbia 47/2 (1999) 33-35.
Toynbee, A., Christianity among the Religions of the World (Oxford 1957).
Rowley, H.H., Prophecy and religion in Ancient China and Israel (London 1956).
Zwiwerblowsky, R.J., “Polytheism”, The Encyclopedia of Religion, Vol 11, M. Eliade (ed.) 435-439.
















[1] Istilah “Semit” dikenalkan A.C. Schlözer baru pada tahun 1781 dan diambil dari salah satu nama anak Abraham: Ham, Sem dan Yafet. Istilah ini sebenarnya lebih mengacu pada rumpun bahasa, yakni Ibrani, Aram, Arab dan bahasa-bahas semit lain. Walaupun secara geografis Negara-negara asal budaya Semit termasuk wilayah benua Asia, namun dalam pemikiran umum biasanya dibedakan dengan Asia Selatan dan Timur yang melahirkan spiritualitas/pemikiran Timur (Hinduisme, Budhisme, Konfusianisme, dsb.).
[2] Dalam satu dekade terakhir ini sudah tak terhitung kekerasan yang muncul di negara-negara Asia karena motif agama. Tak jarang lalu muncul pertanyaaan: Bagaimana orang suka damai berubah menjadi brutal dan tidak toleran?
[3] Penilaian yang lebih seimbang mungkin dapat dilakukan oleh mereka yang memiliki latar belakang ilmu tentang perbandingan agama.
[4] Suatu pandangan yang memandang segala sesuatu sebagai kesatuan.
[5] Bdk. R.J. Zwiwerblowsky, “Polytheism”.436.
[6] Bdk. R.J. Zwiwerblowsky, “Polytheism”, 439.
[7] Beberapa ahli berpendapat bahwa adoposi Yahweh sebagai allah mereka merupakan akibat dari pernikahan Musa dengan anak peremupuan dari seorang imam Median (Yitro)
[8] Bdk. R.K. Gnuse, No other Gods, 260
[9] Bdk. R.K. Gnuse, No other Gods, 260.
[10] Kata-kata kenabian itu diawali dengan rumusan: “demikian sabda …allah ini atau allah itu”. Bdk. A. Lemaire, La nascita del monoteismo, 82.
[11] Bdk. H.H. Rowley, Prophecy and religion in Ancient China and Israel, 5, 121ff, 142f.
[12] Revelasi dalam keyakinan India: lebih merupakan “what is latent in man”, tidak terikat pada waktu dan tidak terbatas pada orang tertentu dalam sejarah.
[13] Tulisan suci ini biasanya disebut sruti, artinya: apa yang terdengar. Karena itu, walaupun pemahaman dan penafsiran bukan tidak penting, menarik bahwa tekanan pertama-tama adalah pada pengucapan yang tepat. Bdk. Anantanand Rambachan, “Hinduism”, dalam H. Coward (ed.), Experiencing Scripture in World Religions, 102.
[14] Dengan historis di sini tidak dimaksudkan bahwa apa saja yang tertulis dalam Kitab suci terjadi seperti apa yang tertulis, melainkan pertama-tama bahwa teks-teks dalam Kitab Suci lahir dalam dalam konteks sejarah tertentu.
[15] Tak bisa disangkal proses pembentuakan Kitab Suci Ibrani, Perjanjian Baru dan Al Quran tentu berbeda, tetapi studi kritis kiranya merupakan tuntutan.
[16] Bdk. Misalnya pandangan umum para ahli mengenai 3 kumpulan hukum Israel kuno yang dianggap sebagai bahan dasar dari apa yang kemudian menjadi Torah, yakni: “Kodeks Perjanjian” (Kel 20,22-23,33); “Kitab Hukum Kekudusan” (Im 17-26) dan “Kodeks Ulangan (Ul 12,1-26,15).
[17] Bdk. B. di Pierre, “La redazione della Bibbia in epoca persiana”, 16.
[18] Dalam proses itu perla dicatat peranan besar sekelompok orang yang disebut para ahli sebagai “sekolah Deuteronomis”. Mereka membaca kembali teks-teks kuno yang mereka, sambil merefleksikan kembali ketidaksetiaan mereka akan Yahweh, dan menyusun bahan-bahan itu kembali dalam kesatuan dengan seluruh sejarah Israel. Karya sekolah deuteronomis ini mempersiapkan perjalanan mereka menuju “agama Kitab”. Kitab Ulangan 6,9 misalnya mengundang setiap keluarga Israel untuk menulis kalimat-kalimat Torah di atas pintu-pintu rumah mereka, yang sebelumnya praktek semacam ini hanya dilakukan pada tempat ibadah. Demikian, setelah hancurnya Bait Allah, setiap rumah bisa menjadi “Bait” tempat umat mendengarkan Sabda. Bdk. Bagaimana kaum muslim sejak awal menyebut orang-orang Yahudi sebagai “Kaum Kitab”.
[19] Penemuan tulisan dapat tidak dapat disangkal salah satu peristiwa terpenting dalam sejarah umat manusia. Tulisan telah menciptakan dunia baru. Berangkat dari abad 8 SM tersebarnya pemakaian tulisan melahirkan munculnya kitab-kitab kenabian (bdk. Nabi-nabi awal: Amos, Hosea, Yesaya dan Yeremia).
[20] Kata Heschel, keabadian (eternity) adalah kata lain dari kesatuan (unity). Maka, eskatologi dan monotesme adalah satu hal. Bdk. A.J. Heschel, Man is not Alone, 112.
[21] H. Küng, Christianity and the world religions, 196.
[22] Bdk. H. Küng, Christianesimo. Essenza e storia, 636.
[23] H. Küng, Christianity and the world religions, 183. Dalam pemikiran politeis kehadiran keburukan dalam arti tertentu “dapat dimengerti”, karena keburukan dapat diatribusikan pada para dewa. Karena ada banyak dewa terjadinya konflik kepentingan adalah sangat mungkin. Bdk. R.K. Gnuse, No other Gods, 246.
[24] Bdk. Karma dalam pandangan Hindu.
[25] Dalam keyakinan ini nampak kemudian pentingnya kekayaan, umur panjang dan anak dalam teks-teks yang lebih tua dalam Perjanjian Lama. Kekayaan dan umur panjang adalah tanda berkah dari hidup benar, sedangkan anak selain berkah adalah juga penerus kehidupan/generasi.
[26] Toynbee, A., Christianity among the Religions of the World, 17.

No comments: