Monday, October 8, 2007

Suara Hening di Puncak Horeb

Elia Pendengar Sabda dalam Keheningan

1. Pendahuluan: Elia inspirator hidup mistik

Sekitar awal abad 13 sekelompok peziarah Kristen dari Eropa datang ke Gunung Karmel. Mereka yang kemudian menjadi perintis Ordo Karmel ini, menetap dan bertapa di sana, mengikuti jejak Elia. Sang nabi hidup kurang lebih 20 abad sebelumnya, tetapi tradisi mengenai dia sebagai inspirator hidup mistik tetap bertahan sebagai sebuah tradisi yang hidup. Menarik pula bahwa tradisi ini hidup baik dalam tradisi Judaisme, Kristen maupun Islam.[1]

Dibanding dengan nabi-nabi lain, sumber Kitab Suci tentang Elia dapat dikatakan amat pendek. Sumber utama kita adalah 1 Raj 17-19 yang disebut para ahli sebagai “lingkaran Elia”.[2] Teks yang kira-kira berkaitan dengan tradisi mistik adalah 1Raj 17, 1-7 (Bersembunyi di Kerit) dan 1 Raj 19,9-13 (Teofani di Horeb). Namun bagaimana sumber yang begitu singkat ini bisa membentuk suatu tradisi yang kuat dan panjang mengenai Elia dalam tradisi mistik? Di sini kita akan mencoba mendalami teks pendek dalam kisah Elia di Gunung Horeb (1 Raj 19,9-13), terlebih ungkapan terkenal “angin sepoi-sepoi basah” yang cukup misterius itu.

2. “Suara Hening” di Puncak Horeb

Teks 1 Raj 19,9-13 adalah sebuah teks tentang teofani, yakni peristiwa penting Tuhan menyatakan diri. Dalam ayat 11-12 kita baca demikian:

11Lalu firman-Nya: "Keluarlah dan berdiri di atas gunung itu di hadapan TUHAN!" Maka TUHAN lalu! Angin besar dan kuat, yang membelah gunung-gunung dan memecahkan bukit-bukit batu, mendahului TUHAN. Tetapi tidak ada TUHAN dalam angin itu. Dan sesudah angin itu datanglah gempa. Tetapi tidak ada TUHAN dalam gempa itu. 12Dan sesudah gempa itu datanglah api. Tetapi tidak ada TUHAN dalam api itu. Dan sesudah api itu datanglah bunyi angin sepoi-sepoi basa.

Dalam Perjanjian Lama, angin besar, gempa dan api adalah gejala alam yang sering menyertai teofani ilahi. Hal yang baru dan mengagetkan dalam teks kita ini adalah rumusan pendek yang cukup misterius, dalam bahasa ibraninya qol demama daqqa, dan biasanya diterjemahkan dalam bahasa kita “bunyi angin sepoi-sepoi basa“.

Kata ibrani qol secara luas menunjuk pada sesuatu yang bisa ditangkap oleh telinga. Jadi qol bisa berarti: suara, bunyi, getaran, teriakan atau keributan. Sedangkan kata sifat daqqa berarti “lembut” atau “halus”. Persoalan yang kita miliki adalah berkaitan dengan kata demama yang di sini merupakan kata keterangan bagi qol (suara). Ungkapan qol demama dalam Kitab Suci hanya muncul satu kali dan hanya di sini. Kemungkinan di sini demama berasal dari kata kerja damam, yang berarti: “tenang”, “hening”, “diam”, “menjadi diam“, “berhenti“, atau “tak bergerak“.[3] Namun demikian, banyak terjemahan menterjemahkan demama di sini dengan “angin”. Barangkali para penterjemah memiliki alasan bahwa nampaknya kurang atau bahkan tidak masuk akal dalam satu frase menyatukan dua unsur yang saling bertentangan: “suara, bunyi, getaran, teriakan, keributan” dengan “tenang” atau “hening”. Jadi menurut mereka “suara angin” nampak lebih bisa diterima daripada “suara dari sebuah keheningan“. Namun di sini kami memilih terjemahan “suara sebuah keheningan“ yang nampak juga amat beralasan. Kita akan membahasnya di sini.

Di tempat lain dalam Perjanjian Lama demama muncul antara lain dalam Kel 15,16; Yos 10,13 dan Mzm 107,29.[4] Di sini terjemahan “diam” nampaknya juga lebih tepat. Di sini kita bisa menterjemahkan qol demama daqqa dengan “suara sebuah keheningan yang lembut”. Beberapa terjemahan modern juga mengusulkan terjemahan ini.[5] Dari teks kuno, Targum misalnya menterjemahkannya dengan qol di-mesabhin ba-hasay, ”suara mereka yang memuji Tuhan dalam keheningan.” Pada hakekatnya Targum adalah sebuah terjemahan agak bebas teks kitab Suci Ibrani ke dalam bahasa Aram. Namun bisa jadi Targum menangkap dengan tepat ungkapan yang ada dalam teks ibrani yang unik ini dengan memilih kata “keheningan”. Bisa jadi penulis kitab Raja-raja dengan sengaja memilih dua kata yang kontras ini, yakni “suara” dan “keheningan” untuk mengungkapkan sesuatu yang dalam. Terjemahan “angin” kiranya kurang menampakkan bobot makna dan kekayaan yang terkandung di dalamnya. Di sini penulis suci sedang berbicara mengenai sebuah suara yang didengar oleh sang nabi, tetapi bukan semacam suara dari suatu gejala alam seperti angin besar, gempa, atau api (atau bahkan suara angin sepoi-sepoi), melainkan sebuah suara dari “sebuah keheningan”.

Menarik bahwa pada awal dikisahkan munculnya tiga gejala alam: angin badai, gempa dan api, tetapi setiap kali diakhiri dengan refren: “tidak ada Tuhan dalam ….”. Secara logis kemudian kita menantikan sebuah rumusan yang serupa dengan subyek sesuatu dari fenomena alam,[6] tetapi dengan mengharapkan refren berganti dengan: “dan Tuhan ada di situ”. Tetapi teks memberi kejutan. Yang dikatakan kemudian adalah qol demama daqqa, “suara keheningan yang lembut”. Pada awal ada 3 gejala alam yang dahsyat: angin besar, gempa dan api. Tetapi yang terakhir (keempat) muncul sesuatu yang amat berbeda, sesuatu yang ‘biasa’, yakni suara keheningan. Gaya demikian (3+1) tidaklah asing dalam Kitab Suci untuk menggarisbawahi pentingnya hal yang terakhir itu. Teks selanjutnya juga tidak mengatakan bahwa “Tuhan ada di situ”. Yang dikatakan adalah: “Ketika (terjemahan LAI: “Segera sesudah”) Elia mendengarnya, ia menyelubungi mukanya dengan jubahnya, lalu pergi ke luar dan berdiri di pintu gua itu” (ay.13). Ungkapan ini adalah sebuah cara berkata yang halus namun mendalam bagaimana penulis suci melukiskan bagaimana yang Ilahi hadir.

Menarik untuk mencatat bagaimana reaksi Elia. Ia menyelubungi mukanya ketika mendengar suara itu. Ungkapan “ketika mendengar” adalah penting. Ia menutup muka sebagai reaksi atas “mendengar” (suara) itu dan bukan karena ‘terkena’ angin sepoi-sepoi sebagaimana sering ditafsirkan.[7] “Menyelubungi muka” biasanya adalah suatu pertanda penting adanya kehadiran ilahi. Allah adalah Maha dahsyat dan tak ada manusia yang mampu bertahan hidup jika melihat wajahNya (Kel 34,20). Karena itu Elia menutup wajahnya. Musa pun menutup mukanya di hadapan kehadiran Ilahi (bdk. Kel 3,6; 33,22-23).[8] Menarik bahwa Elia menutupi wajahnya ketika yang ada justru keheningan dan bukan ketika ada angin badai, gempa atau api. Kehadiran ilahi itu ia baca, ia ketahui dan ia dengarkan justru dalam keheningan itu. Ia mendengar “suara” justru dalam keheningan itu dan bukan ketika ada suara fisik yang kuat. Suara yang ia dengar itu tidak berwujud dalam suara-suara fisik yang biasa bisa kita dengarkan, seperti suara deru angin, suara halilintar atau suara yang lain, melainkan “suara sebuah keheningan”. Keheningan pada waktu itu bagi dia tidak kosong, sebaliknya keheningan itu bersuara/berbicara. Keheningan itu menyatakan kehadiran Allah. Jika kita menengok teks-teks sebelumnya dalam Kitab Suci ini adalah sebuah cara kehadiran/teofani yang tidak atau belum lazim.

Barangkali inilah yang menjadi dasar bagi tradisi mengapa Elia menjadi inspirator pagi hidup mistik/kontemplatif. Sang nabi dikenang karena ia menjadi penyaksi Sabda dalam keheningan. Beberapa penafsir toh melihat teks ini bukan sebagai sebuah teks yang berbicara tentang mistik. Menarik memang untuk dicatat bahwa peristiwa teofani yang dipaparkan dalam ayat 11-12 diapit oleh dialog antara antara Tuhan dan Elia. Dialog diulangi dua kali, kata demi kata dalam ay. 9-10.13b-14.

13bMaka datanglah suara kepadanya yang berbunyi: "Apakah kerjamu di sini, hai Elia?" 14Jawabnya: "Aku bekerja segiat-giatnya bagi TUHAN, Allah semesta alam, karena orang Israel meninggalkan perjanjian-Mu, meruntuhkan mezbah-mezbah-Mu dan membunuh nabi-nabi-Mu dengan pedang; hanya aku seorang dirilah yang masih hidup, dan mereka ingin mencabut nyawaku."
Dalam dialog yang kedua ternyata Elia kembali mengeluh kepada Tuhan, sambil mengaku bahwa ia tak punya kekuatan lagi. Jadi menurut pendapat para penafsir itu, di situ tidak terjadi perubahan apa-apa dalam diri sang nabi.[9] Namun kiranya kita tidak bisa menarik kesimpulan demikian. Sebab, dalam keluhan yang kedua ini dapat juga dibaca sebuah nuansa lain. Kata-kata keluhan yang sama persis ini dapat menyatakan makna yang berbeda. Dalam keluhan bisa ada sebuah iman yang mendalam. Pengalaman mistik tidaklah berarti segalanya beres. Hal itu berlaku juga bagi sang nabi. Terlebih lagi, tidak jarang tujuan sebuah doa yang mendalam adalah mengeluh, menceritakan penderitaan karena orang terpisah dari Allahnya. Elia sekarang seorang diri. Sang nabi sekarang dengan terus terang menyatakan ketidakberdayaanya dan menyatakan imannya bahwa pertolongannya hanya datang dari Tuhan saja.

3. Di Horeb Elia mendengar Suara

Dalam kisah terkenal ‘Yesus menampakkan kemuliaanNya di Tabor’, hadir Musa dan Elia (bdk. Mt 17,1-7; Mrk 9,2-13; Lk 9,28-36). Musa adalah tokoh yang dapat ditunjuk “merangkum” Perjanjian Lama. Sedangkan Elia, tokoh yang dinantikan akan datang lagi pada pada jaman Mesianis. Jadi, keduanya memiliki peranan mendasar dalam perjalanan iman Israel, masa lampau dan mendatang. Namun penting pula melihat kedua tokoh ini dalam kaitan dengan teofani. Musa dan Elia besar karena kehadiran mereka dalam teofani dan kini mereka berdua hadir dalam peristiwa tranfigurasi Anak Manusia.

a. Teofani dan Kehadiran Tuhan

Kita tak meragukan bahwa teks Elia ini adalah sebuah teks tentang teofani. Hal itu kiranya jelas, seperti juga dalam teofani pada Musa, dalam peristiwa yang dialami Elia di Horeb hadir angin badai dan halilintar. Seperti telah dikatakan di atas, angin badai dan halilintar mengambil peranan penting dalam kisah-kisah teofani bukan saja dalam Perjanjian Lama, melainkan juga dalam kisah-kisah Timur Tengah Kuno (misalnya, dalam tradisi Ugarit dan Sumeria). Pertama, angin badai dan halilintar adalah bahasa yang dipilih untuk mengungkapkan madah kemengangan atas musuh. Bagaikan angin badai, Tuhan memporak-porandakan musuh-musuh Israel.[10] Kedua, angin badai dan halilintar juga menjadi tanda berkat bagi Israel, karena angin membawa mendung dan mendung membawa hujan, dan hujan pada gilirannya membawa kesuburan bagi tanah. Bangsa Israel tahu persis apa artinya hujan bagi kelangsungan hidup mereka, karena tahu pula apa artinya “Allah angin badai” (bdk. Kel 15:27; Mzm 68:9–10. 10–11; Ul 33:28). Jadi teofani dalam angin badai menyatakan kehadiran Allah dalam peristiwa-peristiwa mendasar hidup manusia, yakni dalam peperangan dan dalam kehidupan sehari-hari. Keduanya berkaitan langsung dengan persoalan hidup dan mati mereka. Maka dapat dimengerti bahwa hadirnya ibadah kepada Baal yang merupakan konsekwensi dari perkawinan Ahab denga Izebel – menjadi ancaman bagi ibadah pada Yahweh. Baal, yang merupakan allah bangsa Ugarit dan Fenisia ini terkenel juga dewa angin badai dan halilintar. Di Karmel, Yahweh telah menyatakan bahwa Ia pun Tuhan atas angin badai, Tuhan atas kehidupan dan lebih unggul atas Baal.

Jika kita membaca kisah teofani dalam kisah Elia dalam latar belakang ini, pembaca Israel mesti terkejut. Angin badai, gempa dan api adalah gejala yang biasanya menyertai teofani, dalam kisah Elia justru dinegasi dengan 3 kali refren: “Dan Tuhan tidak ada di situ”. Yang ada sekarang adalah (suara dari sebuah) keheningan, qol demama daqqa. Cara rumusan yang amat pendek dan misterius mengingatkan kita pada pernyataan diri Allah yang memperkenalkan namanya kepada Musa dalam semak berapi: ehyeh asher ehyeh, “Aku adalah Aku” (Kel 3,14). Bagi Israel, nama mengacu pada sebuah kehadiran. Sekarang Allah menghadirkan diri dalam qol demama daqqa. Keheningan ini – sekarang dipilih oleh Yahweh sendiri untuk menyatakan dan menghadirkan diri.

Membandingkan apa yang terjadi di Sinai dan di Horeb, banyak ahli kemudian melihat adanya sebuah paralelisme antara Musa dan Elia. Pertama, Tuhan menyatakan diri kepada mereka di tempat yang sama. Horeb tidak lain adalah Sinai, karena keduanya menunjuk gunung yang sama. Sinai selalu memiliki peranan penting dalam perjalanan iman Israel selanjutnya. [11] Kedua, teofani itu terjadi dalam/dekat dengan gua (Kel 33,22; 1 Raja 19,9). Dalam pemikiran religius, gua selalu bersifat sakral, berkaitan dengan kehadiran yang Ilahi. Ketiga, keduanya tinggal di atas (Elia: dalam perjalananan menuju) gunung itu selama 40 hari, sebuah angka yang menyimbolkan sesuatu yang panjang dan menuntut kesabaran. Keempat, kedua teofani menampilkan skema yang sama, yakni suatu dialog dan kemudian perintah Tuhan (bdk. Kel 3,6; 1 Raja 19,13). Dialog dan perintah merupakan unsur mendasar sebuah teofani. Namun demikian, selain keempat parallelisme ini, Elia juga dilihat sebagai antitesis atas Musa. Pertama, teofani kepada Musa terjadi pada awal perjalanan, sementara pada Elia terjadi pada akhir perjalanannya. Kedua, Musa bersama umat Israel, sedangkan Elia berdiri sendirian. Ketiga, pada teofani kepada Musa, kehadiran Tuhan dinyatakan pertama-tama dalam guruh kilat dan awan pekat, sementara dalam teofani pada Elia, kehadiran itu dinyatakan dalam keheningan.

Beberapa penafsir melihat bahwa teofani Elia menambahkan beberapa dimensi baru pada pengalaman religius Israel. Peristiwa di Horeb itu diawali dengan sebuah perjalanan panjang Elia dan berakhir dengan pertemuan. Kiranya tradisi ini menggarisbawahi dimensi personal, pencarian dan perjalanan pribadi sang nabi berangkat dari situasinya yang sulit dan keputusasaannya. Setelah perjalanan panjang, ia sendiri berdiri dihadapan Allah. Di pusat pertemuan itu yang ada adalah hening. Namun justru di situ nabi “bertemu” dengan Yahweh. Ia mendengar suaraNya, bukan lewat suara yang menggelegar, melainkan keheningan. Barangkali ini adalah bahasa lain dari suatu keintiman dan kedekatan, pertemuan pribadi antara dua sahabat yang amat dekat.[12] Pertemuan dua pribadi dalam tarafnya yang paling dalam memang tidak bisa terwujud kecuali dalam keheningan.

b. Teofani dan peristiwa Sabda.

Teofani adalah pengalaman mendasar dan sentral bagi iman Israel. Teofani adalah tahap yang amat menentukan dalam sejarah mereka sebagai umat dan bangsa, karena teofani merevelasikan kehadiran Tuhan yang menyelamatkan (Exodus 3; 19; 33). Namun dalam teofani di Sinai, kita perlu melihat “angin badai” pertama-tama sebagai ‘latar belakang’ dan bukan sebagai inti revelasi. Sebab, apa yang muncul kemudian adalah “Tuhan yang bersabda”. Guruh-kilat dan awan pekat, api dan asap itu diikuti turunnya 10 Perintah Allah. Itulah puncak teofani, yakni peristiwa Sabda. Kehadiran Allah telah menyelamatkan Israel dari Mesir, dan kemudian Sabda inilah yang akan memimpin Israel dalam perjalanan selanjutnya. Seluruh kumpulan hukum Israel kemudian juga dinyatakan sebagai hukum yang diberikan Tuhan kepada Musa di Sinai. Atas dasar itulah hukum memiliki otoritas bagi Israel dan seluruh keturunan, karena “disabdakan” oleh Tuhan di Sinai. Jadi, di pusat teofani itu ada peristiwa Sabda.

Memang, sangat mendasar bagi iman Israel adalah iman akan Tuhan yang berbicara. Allah Israel adalah Allah yang berbicara dan bahkan bukan saja Allah yang dapat berbicara, melainkan Tuhan yang telah berbicara. Allah Israel bukanlah Allah yang bisu. Maka bisa kita mengerti jika kita temukan teks-teks yang memberi sindiran keras pada berhala-berhala asing: “Mempunyai mulut tetapi tidak dapat berbicara“ (bdk. Mzm 115,5; 135,16; Jer 10,5). Karena itu, panggilan utama Israel pun adalah mendengar Tuhan yang bersabda dan memberikan kesaksian bahwa Tuhan senantiasa berbicara dengan dunia. Dapat dimengerti pula, jika “Shema Israel” (“Dengarkanlah Israel”) menjadi salah satu ungkapan judaisme yang paling terkenal. Doa ini diucapkan oleh setiap orang Israel dua kali sehari, yakni setiap kali bangun dan menjelang tidur; diajarkan kepada setiap anak dan diucapkan oleh setiap dari mereka menjelang ajal. Mendengarkan suara/Sabda Tuhan adalah jantung kehidupan Israel.

Demikian, dalam injil Mateus, tranfigurasi di atas gunung itu diakhiri dengan suara dari langit: “Dengarkanlah Dia!” (Mat 17,5). Peristiwa di puncak gunung itu menegaskan kuasa Yesus untuk mengajar. Lewat pengajaranNya Tuhan sendiri sedang bersabda (bdk. 7,29). Dan Yesus meneruskan dalam kelanjutan revelasi Tuhan dalam perjanjian Lama yang disimbolkan/diwakili oleh Musa dan Elia. Maka dari sudut ini menarik bahwa kepada Elia, Tuhan merevelasikan diri dalam qol demama, “suara hening”. Semakin jelas bahwa kita bisa teofani di Horeb dalam “keheningan” itupun juga merupakan peristiwa Sabda. Kata qol, “suara” di situ menjadi kata kunci. Teks kita tidak berbicara hanya tentang keheningan, tetapi juga tentang suara. Dalam peristiwa sebelumnya (kemunculan angin besar, gempa dan api) tidak dikatakan tentang ‘suara’ ini. Tetapi ketika yang muncul keheningan, teks kita berbicara tentang “suara” dan nabi mendengarnya. Mengapa justru dalam keheningan ada suara? Inilah inti teofani di Horeb. Suara Allah justru terdengar dalam keheningan, dan hanya dalam keheningan suara itu terdengar. Maka kunci dari teofani di Horeb juga pertama-tama adalah soal “mendengar”. Nabi mampu mendengar “suara” itu. Tidak diterangkan ia mendengar suara apa dan apa yang dikatakan. Namun jelas suara itu mewujudkan kehadiran Allah, karena itu sang nabi menutup mukanya. Di situ mendengar suara/Sabda menjadi peristiwa sakral dan agung, karena manusia berdiri di hadapan Allah. Tidak dikatakan bagaimana sang nabi mampu mendengar suara itu, tetapi kiranya atas dasar itulah tradisi panjang menafsirkan Elia sebagai inspirator mistik. Dalam keheningan ada suara, yakni suara Allah. Keheningan adalah sesuatu yang paling lembut, sesuatu yang paling datar dan paling biasa, tidak menampakkan sesuatu dan tidak dan memperdengarkan apa-apa. [13] Hanya mistikus - orang yang yang terbiasa bergulat dengan sesuatu yang paling biasa, datar dan sederhana - yang mampu mendengarnya.


4. Makna Baru: Israel setelah Pembuangan

Dari seluruh teks Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, teks kita termasuk teks yang amat unik. Pertama, sulit menemukan di tempat lain dalam Perjanjian Lama teks yang berbicara tentang hal serupa. Jika benar sudah berasal dari abad VII S.M., teks ini dapat merupakan (minimal dalam dunia kitab Suci) salah satu “teks mistik” tertua.[14] Kedua, sebagai sebuah teks yang berbicara tentang teofani, teks ini menghadirkan sebuah kejutan lewat rumusan pendek qol demama daqqa. Yang ada dipuncak Horeb adalah “suara sebuah keheningan yang lembut”.

Iman Israel berdiri di atas keyakinan akan kehadiran yang ilahi. Tuhan itu hadir. Namun Israel setelah pembuangan tidak menjumpai lagi ‘pengalaman primordial’ sebagaimana dialami oleh nenek moyang mereka bersama Musa dalam masa pembentukan di pada gurun. Setelah pembuangan, monoteisme menuju kematangannya. Tantangan bukan lagi pertama-tama persaingan antara Yahweh dan Baal. Namun di manakah umat mencari Tuhan, rupanya tetap menjadi persoalan mendasar. Pada konteks itulah rupanya redaksi deuteronomis ‘menyisipkan’ kisah Elia dalam dalam Kitab Raja-raja.[15] Kisah Elia itu tetap aktual, dan kisah pendek tentang teofani itu terasa memiliki bobot yang istimewa.

Setelah kembali dari pembuangan (+ 538 S.M.), Israel belajar kembali membangun iman mereka akan Yahweh. Mereka harus belajar sesuatu yang lebih dalam, dan lebih dewasa pula dalam hidup spiritual. Tak mereka jumpai lagi teofani Tuhan dalam “badai, gempa dan api”. Kini mereka harus belajar menemui Tuhan yang dirayakan dalam ibadat dan mereka meditasikan dalam keheningan. Tuhan mereka kenal dan mereka abdi dalam lewat pembacaan dan lewat ketaatan pada Taurat. Tuhan mereka jumpai lewat hidup doa dan kesatuan mistik. Setelah Pembuangan tradisi tentang Sabat juga semakin kuat. Hari itu Israel berhenti dari aktivitas keseharian mereka dan mengkhususkannya untuk merenungkan hukum Tuhan dalam keheningan. Sabda dan keheningan menjadi pusat. Itulah gairah baru kehidupan iman Israel setelah pembuangan. Mereka belajar mengenal Yahwe sebagai Tuhan atas kehidupan, pertama-tama bukan dalam sesuatu yang dahsyat, angin badai dan halilintar, melainkan lewat Sabda dan keheningan.

Kiranya dalam konteks itulah kisah teofani Elia dapat dibaca dengan lebih baik. Teks ini memberi dimensi penting seiringan dengan pembaharuan dalam kehidupan religius Israel itu. Pertemuan umat Israel dengan Yahweh di Sinai adalah peristiwa primordial/mendasar bagi Israel. Peristiwa itu adalah pertemuan pertama yang membuat mereka “jatuh cinta” kepada Yahweh. Maka, Sinai adalah kata penuh daya dan menggetarkan bagi mereka. Peristiwa itu adalah sebuah pengalaman yang selalu diingat dan diimpikan. Teofani pada Elia di Horeb kemudian dapat dikatakan sebuah teks yang memberikan dimensi baru pada peristiwa Sinai Musa. Teks ini mungkin menyatakan suatu jalan mistik yang terbuka bagi semua orang, bagi banyak generasi selanjutnya. Bukan saja Musa dan Israel di padang gurun, dan bukan saja Elia, tetapi kini siapa saja bisa menjumpai Allah. Sebab, lewat Elia Allah telah menyatakan diriNya dalam keheningan dan keheningan hadir kapan saja dan di mana saja. Perjalanan mistik setiap orang, pertama-tama adalah pergulatan pribadi. Di situ manusia seorang diri bergulat dengan Allahnya. Mencapai taraf kedalaman hubungan pribadi. Di situ Yahweh hadir, di situ Ia bersabda. Di situ umat dapat menjumpai dan bertemu denganNya.

5. Penutup: Di manakah orang Modern mencari Tuhan?

Tradisi panjang mengenang Elia, karena pelajaran penting yang diberikannya. Keheningan bagi sang nabi tidaklah berarti ‘kosong dan tidak ada apa-apa’. Sebaliknya, dalam keheningan ada sesuatu yang amat berharga yakni suara Tuhan, suara yang Mahaagung dan dahsyat. Karena itulah ia menjadi inspirator bagi tak terhitung orang yang mencari Allah dan ingin bertemu Allah.

Dalam lubuk hati terdalam, kapanpun manusia memiliki hasrat mencari Tuhan. Pertanyaan kita adalah: “Di manakah kita mencari Tuhan?”[16] Rupanya ini adalah persoalan abadi manusia. Di tengah dunia penuh dengan hiruk pikuk dan yang semakin menawarkan spiritualitas yang instant dan superfisial, manusia perlu belajar sesuatu yang lebih dalam. Elia telah memberikan kesaksian bahwa ia mendengar suara Yahwe justru dalam, sesuatu yang paling lembut dan paling biasa, yakni keheningan. Ini adalah sebuah jalan mistik. Para mistikus telah belajar bagaimana jalan ini tidak pernah merupakan sebuah jalan yang mudah. Hal itu dilukiskan oleh pengalaman Musa, Yesus dan Elia dengan dengan perjalanan/tinggal 40 hari di padang gurun atau puncak gunung. Jalan mistik adalah jalan yang panjang, jalan yang menantang harapan orang dan menuntut kesabaran.

Ketika para karmelit pertama meminta pedoman hidup, Albertus, Patriark Yerusalem waktu itu dengan tepat sekali menulis “merenungkan hukum Tuhan siang dan malam” sebagai tiang bagi kehidupan mereka. Mereka belajar bagaimana melihat sabda dan keheningan itu bagaikan mutiara yang amat berharga. Tradisi Lectio divina kemudian mewujudkan secara lebih konkret Sabda dan keheningan itu dalam hidup sehari-hari. Di situ Sabda dan keheningan menjadi satu. Sabda hadir dalam keheningan, karena keheningan itu memperdengarkan Sabda. Dalam keheningan manusia mendengarkan, mengunyah Sabda berdoa dan menkontemplasikannya. Sabda kemudian pada gilirannya mengantar manusia – lewat usaha terus menerus - bertemu dengan Allah.

Roma, Juni 2004
Ignasius Budiono O.Carm.



BIBLIOGRAFI

Brown, F. – Driver. S.R. – Briggs. C.A., A Hebrew and English Lexicon of the Old Testament (Oxford 1952).
Cogan, M., 1Kings. A New Translation with Introduction and Commentary, AnB10 (New York 2000).
Devries, S.J., 1Kings , WBC 12 (Dallas, Texas 1995).
Go, P., “Daya Tarik Jakarta”, BK 330 (Juli 2005) 24-38.
Lust, J., “Elijah and the Theophany on Mount Horeb”, BETL 41 (1976) 91-98.
Masson, M., Elia L’Appello del Silenzio (Bologna 1993).
Seybold, K., “Elia am Gottesberg”, EvT 33 (1973) 13-17.


[1] Dalam Judaisme post biblis Elia tampil sebagi figur terpenting dan inspirator hidup mistik. Dalam tradisi Islam sebagai Nabi Ilyas (‘al Khadir’), sang penolong sekaligus simbol transformasi.
[2] Di luar 1 Raj, sumber lain tentang Elia antara lain: Mal 3,23-24; 1Kro 21,4-19; 2 Raj 9,39; 10,10.17; Sir 48,1-11.

[3] Barangkali dapat ditelusuri asal kata ”diam“ dalam bahasa Indonesia yang kemungkinan berakar dari bahasa Semit.
[4] “mereka kaku seperti batu” (Kel 15,16); “Maka berhentilah matahari” (Josh 10,13); “dibuat-Nyalah badai itu diam, sehingga gelombang-gelombangnya tenang” (Mzm 107,29).
[5] J. Gray, misalnya menterjemahkan: “a sound of a thin silence”; M. Cogan: “the sound of sheer silence”, juga NRSV: ”a sound of sheer silence”.
[6] Sebagaimana misalnya dipikirkan oleh J. Lust. Secara amat berbeda ia menterjemahkan qol demama daqqa dengan “suara yang menderu dan sambar-menyambar”. Jadi ada semacam eskalasi, dari angin besar, gempa, api dan puncaknya suara yang menderu dan sambar menyambar. Ia juga cenderung menterjemahkan “dan tidak ada Tuhan dalam ...” dengan “dan Tuhan belum ada dalam ...”. Bdk. J. Lust, “Elijah and the Theophany on Mount Horeb”, BETL 41 (1976) 91-100.
[7] Sementara orang menafsirkan bahwa angin besar, gempa dan api menakutkan Elia membuat ia tetap di dalam. Sedang angin sepoi-sepoi mengundang ia keluar.
[8] Dapat kita kita bandingkan juga dengan reaksi Gideon (Hak 6,22) dan Manoah (Hak 13,20-22).
[9] Bdk. Misalnya S.J. Devries, 1Kings, WBC 12 (Dallas, Texas 1995) 237.
[10] Bahasa ini nampak dalam teks-teks di mana Tuhan menyatakan diriNya. Bdk. Kel 15:7–10; Ul 33:2–3, 26–29; Hak 5:4–5; Hab 3:3–15; Mzm 68:7–8, 31–34. 68:8–9, 32–35. bdk. Kel 15:7–10; Ul 33:2–3, 26–29; Hak 5:4–5; Hab 3:3–15; Mzm 68:7–8, 31–34. 68:8–9, 32–35.
[11] Nama “Sinai” berasal dari tradisi Yahwis (J) dan Imam (P), sedangkan “Horeb” berasal dari tradisi Elohis (E) dan Deuteronomis (D).
[12] Lebih jauh Michael Masson berpendapat bahwa rumusan qol demama daqqa mengungkapkan bukan pertama-tama suatu fenomen alam (meteorologis, “angin”), melainkan terlebih sebuah pengalaman mistik batiniah. Bdk. M. Masson, Elia L’Appello del Silenzio (Bologna 1993), 18-19.
[13] Dalam teofani pada Elia dapat kita baca kesatuan antara Sabda dan keheningan. Keduanya sebenarnya berbicara tentang Allah. Sebab, pada hakekatnya Sabda keluar dari keheningan absolut Allah, dan Sabda mewujudkan dalam bahasa kehadiran Allah yang adalah Roh (keheningan). Dalam sebuah kementar Talmud tentang Sabat, dikisahkan komentar dari 3 orang rabbi. Yang pertama mengatakan bahwa umat Israel di Sinai mendengar hanya tiga kata pertama: “Aku adalah Tuhan”. Menurut Rabi kedua, umat mendengar hanya dua kata pertama: “Aku adalah”. Dan menurut rabbi ketiga, umat hanya mendengar huruf pertama (dalam bahasa Ibrani) alef, yang pada dasarnya tidak berbunyi: jadi yang ada adalah “hening”! Kisah ini hanya mau mengatakan bahwa Sabda itu sebenarnya muncul dari keheningan Allah dan tidak akan dapat mengatakan semua misteri yang ada dalam keheningan Allah.
[14] Bdk. M. Masson, Elia, 109.
[15] Redaktor Deuteronomis hidup sekitar jaman pembuangan Israel di Babilonia (586- SM).
[16] Menarik untuk kita renungkan pertanyaan penting yang diajukan oleh Rm. Piet Go beberapa waktu lalu dalam BERITA KARMEL: “Dimanakah umat mencari Tuhan: lebih dalam hal-hal ajaib, aneh-aneh, luar biasa bahkan paranormal, ataukah – seperti diajarkan Gereja – dalam Sabda dan Sakramen, dalam sesama dan semesta alam, dalam hidup sehari-hari yang serba biasa?” (Bdk. Rm. P.Go, “Daya Tarik Jakarta BK 330 (Juli 2005) 34.

No comments: